Motinggo lahir dari pasangan Djalid Sutan Raja Alam dan Rabi'ah Ja'kub yang berasal dari Minangkabau. Ibunya berasal dari Matur, Agam dan ayahnya dari Sicincin, Padang Pariaman. Sedangkan kakeknya dari pihak ayah adalah kepala nagari Matur terkenal sebagai menantu dari Sentot Alibasyah Prawirodirdjo, tokoh terkenal dalam Perang Diponegoro.
Setelah menikah, orangtuanya pergi merantau ke Bandar Lampung. Di sana ayahnya bekerja sebagai klerk KPM di Kupangkota, sebuah kelurahan di Telukbetung Utara, sedangkan ibunya mengajar agama dan Bahasa Arab. Ketika usianya mendekati 12 tahun, kedua orang tuanya meninggal dunia. Sepeninggal orang tuanya, Motinggo diasuh neneknya di Bukittinggi hingga ia menamatkan SMA di sana. Motinggo kemudian melanjutkan Motinggo lahir dari pasangan Djalid Sutan Raja Alam dan Rabi'ah Ja'kub yang berasal dari Minangkabau. Ibunya berasal dari Matur, Agam dan ayahnya dari Sicincin, Padang Pariaman. Sedangkan kakeknya dari pihak ayah adalah kepala nagari Matur terkenal sebagai menantu dari Sentot Alibasyah Prawirodirdjo, tokoh terkenal dalam Perang Diponegoro.
Setelah menikah, orangtuanya pergi merantau ke Bandar Lampung. Di sana ayahnya bekerja sebagai klerk KPM di Kupangkota, sebuah kelurahan di Telukbetung Utara, sedangkan ibunya mengajar agama dan Bahasa Arab. Ketika usianya mendekati 12 tahun, kedua orang tuanya meninggal dunia. Sepeninggal orang tuanya, Motinggo diasuh neneknya di Bukittinggi hingga ia menamatkan SMA di sana. Motinggo kemudian melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tetapi tidak tamat, karena lebih aktif melibatkan diri dengan para sastrawan di Yogyakarta dan mengikuti kegiatan teater bersama Kirdjomuljo, Nasjah Djamin, Subagio Sastrowardoyo, dan WS Rendra.
Motinggo merupakan nama pena Bustami yang berasal dari Bahasa Minang: mantiko. Kata tersebut memiliki makna antara sifat bengal, eksentrik, suka menggaduh, kocak, dan tak tahu malu. Namun "mantiko" dalam diri Motinggo bukanlah berkonotasi negatif. Untuk itu dia menambahkan kata bungo (bunga) di belakang nama samarannya itu, sehingga lengkap tertulis Mantiko Bungo (MB). Dari inisial MB inilah akhirnya berkembang nama Motinggo Busye. Selain nama pena dan nama pemberian orang tua, sesuai Adat Minangkabau, Motinggo juga memiliki nama dewasa (gelar) yaitu Saidi Maharajo.
Awal karier Motinggo dalam dunia tulis menulis, dimulai ketika perwira Jepang Yamashita datang ke rumahnya memberi mesin ketik. Mesin itu akhirnya menjadi sahabat Motinggo untuk mencurahkan ide-idenya. Selain itu, persentuhannya dengan buku-buku sastra Balai Pustaka, telah menumbuhkan minatnya untuk terjun di dunia sastra. Dramanya, Malam Jahanam (1958), mendapat Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama Bagian Kesenian Departemen P & K tahun 1958 dan cerpennya, "Nasehat buat Anakku", mendapat hadiah majalah Sastra tahun 1962. Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke bahasa asing, antara lain Bahasa Ceko, Inggris, Belanda, Perancis, Jerman, Korea, Jepang, dan Mandarin. Motinggo banyak menulis novel pop yang belum lazim pada masa itu sehingga banyak menerima kecaman dari masyarakat.
Sebagai penyair, karya-karyanya masuk dalam antologi penyair Asia (1986) dan antologi penyair dunia (1990). Sepanjang hidupnya Motinggo telah menulis lebih dari 200 karya yang sampai saat ini masih tersimpan di Perpustakaan Kongres di Washington, D.C. Pernah menjadi redaktur kepala Penerbitan Nusantara (1961-1964) dan Ketua II Koperasi Seniman Indonesia. Selain terlibat dalam dunia sastra dan drama, Motinggo juga menyukai melukis. Pada tahun 1954, sebuah pameran lukisan di Padang pernah menampilkan 15 lukisan karya Motinggo. Selain dikenal sebagai penulis naskah drama, pelukis, penyair, cerpenis, dan novelis, Motinggo juga adalah seorang aktor dan belakangan ia juga terjun sebagai sutradara film.
sumber: Wikipedia Riwayat Hidup di Cover Buku "Dosa Kita Semua"...more