This valuable title, in print for over thirty years, provides a lasting contribution to our understanding of Javanese society. Insight comes through an analysis of wayang (Javanese shadow plays), not just as theater but in a broader social context. The revised edition has been completely reformatted and the quality of the rich artwork has been enhanced. 1997. 104 pages. 65 illustrations.
Benedict Richard O'Gorman Anderson was Aaron L. Binenkorb Professor Emeritus of International Studies, Government & Asian Studies at Cornell University, and is best known for his celebrated book Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, first published in 1983. Anderson was born in Kunming, China, to James O'Gorman Anderson and Veronica Beatrice Bigham, and in 1941 the family moved to California. In 1957, Anderson received a Bachelor of Arts in Classics from Cambridge University, and he later earned a Ph.D. from Cornell's Department of Government, where he studied modern Indonesia under the guidance of George Kahin. He is the brother of historian Perry Anderson.
Jika aku di dunia kasta Maka aku adalah putri seorang Brahmana Akan menikah dengan seorang Brahmana Dan dituntut melahirkan para Brahmana kecil Lalu mati sebagai Brahmana Tidak terlalu buruk, Jika saja tidak terdengar begitu sempurna Dan membosankan!
Jika aku seorang Jawa Dan karena aku perempuan Maka aku harus memilih Kunti yang melahirkan putra para Dewa Drupadi dengan kelemah-lembutannya Srikandi si pejuang Subadra sang istri muda Atau Dursilawati pecinta pria-pria tampan
Tapi aku bukan seorang Brahmana Juga bukan seorang Jawa Walau merayu pria-pria tampan Sepertinya pilihan yang menarik.
Ketika membacanya, saya kepikiran waktu diskusi di buku Bharatayuddha saya di forum goodreads ini. Uraian Anderson di sini menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Tiwik.
Lakon wayang yang memiliki pluralisme moralitas pada saat buku ini dituliskan sedang mengalami perubahan: menjadi sesuatu yang semata oposisional. Padahal dalam pengamatan Ben Anderson ketika itu ada toleransi Jawa yang berbeda, dengan hadirnya pluralisme moralitas itu. Bukan semata Kurawa vs Pandawa tetapi juga masalah pantes, yang menjadi salah satu konsep kunci dalam toleransi ala Jawa.
Perubahan itu dicurigai datang dari pengaruh "asing" maupun konstelasi politik lokal yang sering menggunakannya sebagai propaganda kepentingan kelompok. Di sini muncul Arjuna yang melankolis, Yudhistira yang tidak diidolakan oleh masyarakat luas karena dianggap kurang berperan dengan "hanya" kebijaksanaannya, dibandingkan kesaktian saudaranya yang lain. Kecintaan Wibisana kepada kebenaran kurang digemari dibandingkan dengan nasionalisme "benar salah negaraku-nya" Komabakarna. Padahal sebelumnya setiap tokoh menempati kepantesannya sendiri-sendiri bahkan untuk tokoh semacam Baladewa yang emosional dan sering dikerjai Kresna saudara mudanya itu demi membela kepentingan Pandawa. Kresna yang memiliki nuansa Machiavelian dalam pemikirannya ditafsirkan semata realisme politik yang kejam.
Dalam buku terjemahan yang tipis yang saya baca sepanjang perjalanan kereta berhiaskan hijaunya sawah, betapa saya malu untuk bilang wayang yang saya pahami sama dengan wayang yang dahulu pernah disaksikan pada zaman sebelum Anderson menulis buku ini. Parahnya pergeseran penting ini tidak disadari.
Semangat itu lenyap, bersisa kerisauan Anderson yang bisa jadi hanya bermodal awal kuriusitas akademis. Kerisauan yang keluar dari mulut orang luar, bukan dari mereka yang mengaku pewaris budaya ini.
jawa, filosofi abu2 (semua filosofi begitu bukan??? lol)
wayang. dari kecil (bacaan wajib di rumah)gw tertarik karena pembedaan karakter dari jenis sanggulnya (hehe) warna mukanya dan menunduk/tidaknya tokoh tersebut (semakin menunduk bisa jadi semakin bijak, atau sekedar self esteem yang rendah??)
karna dan kumbakarna. konflik umum yang dilalui orang2 indonesia (indo itu jawa gak sih? hehehe). dan entah kenapa moral inilah yang dianggap popular, karena konflik tadikah?
kresna. katalisator yang berdalih mempertahankan equilibrium semesta (semesta=politik?). bisa jadi dianalogikan negara adidaya untuk saat ini.
buku ini diterbitkan pertama kali tahun 65, kamana aja orang jawa saat itu yaa? (ikut PON? persiapan coup d'etat?)
menarik melihat persepsi seorang Anderson yang simpel namun menjiwai. begitulah moral jawa terbentuk, hei negara jawa.
The book was pretty alright with information about different characters of Javanese mythology and stories as well as the Javanese versions of the Mahabharata and the Ramayana. Sadly, the spelling system used to read the Javanese names was using the confusing Republican Spelling System which renders y as j and j as dj and c and tj and u as oe as well as for some reason the author elected to use 'å' for a's that may be pronounced as 'o's in some dialects (at least this is what I think is the intent) but 'å' is never used in written Javanese. I also personally thought the author didn't focus enough on Islam compared to Christianity which received many notes throughout the book despite Islam having many more followers. I also found the Mahabarata and Ramayana supplied in the text to be too hard to understand and I suspect it was condensed heavily which, in my opinion, made it difficult to read. One thing which in some ways redeemed the text was its pictures. They are beautiful and show the intricacies of the wayang puppets. If you would buy this book or decide to read it, I would probably recommend to just do it for the sake of the illustrations of the puppets. Overall, I think this text could have been much better, but I appreciate the author's attempt to record this. The wayang puppets are why you would want to read this not the included Mahabharata or Ramayana. Your much better different translations and tellings of those Javanese versions of the stories.
Det er tydelig at Anderson skrev denne da han fortsatt var to år unna å få doktorgraden sin, for verket er både tørt og litt uoversiktlig. Anderson innrømmer selv at han ble mye morsommere etter at han fikk tenure, og den vanlige humoren hans glimrer med sitt fravær, med unntak av ordet "embourgeoisement", som gjorde meg veldig glad. Boka er informativ og nøye, men ikke veldig engasjerende, og også vanskelig å følge. Den har derimot flotte illustrasjoner, og jeg lurer veldig på hvordan han fikk dem fra én bok og trykte dem i sin egen før fotokopimaskiner.
Cerita jawa kuno yang sedikit menambah wawasan akan karakter wayang sebagai pribadi orang jawa serta memahami lebih dalam karakter perilaku dan psikologisnya dalam kehidupan kontemporer
Om Ben menulis buku ini dengan data yang begitu komplit.Sebagai peneliti yang dibesarkan dalam kultur barat, ketajaman analisa om Ben dalam memetakan karakter tiap tokoh wayang jawa patut diacungi jempol. Ia dengan gagah berani dan sarkastik mengkritik para ilmuwan barat; yang dianggapnya terlalu simplifistik dalam memetakankarakter tokoh-tokoh dalam wayang jawa. Apabila para ilmuwan barat lain mengangap konflik Pandawa dan Kurawa dalam kisah mahabarata merupakan konflik antara baik dan jahat, maka Om Ben memiliki pendapat yang berbeda. Dalam pandangan Om Ben tiap tokoh dalam Pandawa dan Kurawa mewakili karakter baik dan buruk. Dengan kata lain, Om Ben menganggap tiap tokoh Pandawa dan Kurawa adalah representasi dari sifat setiap manusia. Dengan argumen seperti ini, tentu wajar apabila kita bertanya mengapa kedua belah pihak -- yang sebenarnya bersaudara -- ini harus berperang?
Pertanyaan ini mampu dijawab Om Ben dengan baik. Menurut Om Ben, Pandawa dan Kurawa memang harus berperang karena kedua belah pihak percaya bahwa mereka sudah ditakdirkan untuk berperang. Namun, peperangan ala Baratayuda jawa bukanlah perang kebaikkan melawan kejahatan. Perang Pandawa melawan Kurawa merupakan wujud pelaksanaan kepantesan atawa kerap disebut sebagai tanggung jawab oleh para manusia modern.
Perang Baratayuda-- demikian perang ini biasa disebut-- tentu bukan arena pertanggungajawaban para sudra. Perang ini merupakan arena pertanggungjawaban para ksatria dalam membela negara. Pelaksaaan tanggung jawab seperti inilah yang menjadi dasar toleransi jawa. Pandhita menjaga umat, ksatria menjaga negara, waisya menjaga ekonomi, sudra menjaga hidup sehari-hari (Mungkin budaya ini juga yang membuat oligarki dan feodalisme masih bercokol kuat di negara ini)
Dalam pandangan saya, kejelian Om Ben dalam menganalisa karakterisktik tiap tokoh dalam wayang Jawa adalah representasi dari kemampuan beliau dalam memamahami liyan. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam tradisi rasionalitas barat tentu tidak mudah bagi Om Ben untuk dapat memahami logika jawa yang dipenuhi dengan simbol. Apalagi Om Ben mampu mengkaitkan kompleksitas karakter tiap tokoh wayang jawa dengan keterbukaan dan toleransi mereka terhadap budaya asing-- ia menjelaskan bahwa manusia jawa percaya jika setiap manusia beserta unsur budaya yang dibawanya memiliki elemen baik atatupun buruk dan kita hanya berhak mengolahnya bukan menolaknya.
Membaca buku ini membuat saya teringat akan tulisan Denys Lombard. Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya pernah menulis bahwa etnis Jawa adalah etnis yang mengalami begitu banyak persilangan budaya. Etnis Jawa menerima dan mengolah berbagai macam bentuk budaya. Budaya Jawa, kata Lombard menerima dan menyerap kebudayaan Cina, Eropa, Hindu, Islam, hingga Kristen Eropa. Di sisi lain, penerimaan etnis jawa terhadap budaya asing disertai dengan syarat bahwa budaya tersebut harus mau berakulturasi dengan tradisi jawa. Dengan kata lain, orang jawa akan toleran terhadap budaya asing selama budaya tersebut bisa "menjawa" (nilai tawar orang jawa terhadap tradisi luar besar juga ya)
Tentu saja buku ini tidak bisa mewakili kondisi komunitas Jawa kontemporer. Patut diingat bahwa buku ini ditulis sebelum tahun 1965. Pada periode tersebut kaum agama dengan tafsir modernis belum menguasai ruang-ruang publik di Pulau Jawa. Di masa itu pula orang masih bisa dengan bebas menjadi kejawen tanpa ada ancaman di PKIkan. Kehadiran buku ini mampu menjawab rasa penasaran saya terhadap kultur komunitas Jawa pra 1965. Lebih dari itu, buku ini membuat saya kembali optimis bahwa masih ada antropolog yang mampu menggunakan logika emik dengan cara mendedah obyek kajian non manusia.
Living in Jakarta for the past few years has sent me into a frenzy of learning anything and everything about Indonesia and its incredible level of cultural diversity. While it may be diverse to levels incomprehensible, Java is considered (often to the dismay of Indonesia's various ethnic groups) to be the cultural heart of the country. It is from this island which many of Indonesia's oldest cultural traditions have landed and subsequently radiated outward to its most far flung provinces and locales.
Anderson's work here, though, is far more focused on cultural norms, values, and traditions which are specific to the Javanese themselves. Their intricate belief systems, weaving elements of Hinduism, Buddhism, local religions, folk tales, and personality traits, are well represented in that most ancient form of Indonesian theater: Wayang puppetry. In this short analysis, Anderson seeks to unpack Javanese culture through the lens of Wayang and helps the reader to make sense of the complex and sometimes (seemingly) contradictory aspects of Javanese culture. In short, he helps readers and visitors to this beautiful country to understand the cultural and behavioral aspects that make foreigners tilt their heads in confusion, squint, and say "...huh?"
For me, this was an insightful work which helped me to understand Indonesia's unique take on Islam. As it is practiced here (not by all, but by a large majority), Islam is in many ways quite different to what most of the non-Islamic world would categorize as "Islamic." Indonesia, as with any country who adopts a new religious belief system on a whole-sale level, has woven intricate bits of Javanese lore, belief, and character into their newfound religion. The fact that Wayang still exists and is widely embraced is a testament to this.
Esoteric as it may be, this short book is a real eye-opener into the fascinating world of Javanese culture and the role which mythology and the supernatural still play in the lives of many. The book is rather old now, but its points still ring true to this day. Recommended for anyone interested in Javanese culture and seeking a deeper understanding of the island and its inhabitants.
"Dunia politik adalah arena perebutan kekuasaan (menghalalkan segala cara). Segenap sumber daya dan tingkah laku politik diarahkan untuk mendapatkan kekuasaan. Dalam mencapai tujuan tersebut, kalau perlu bahkan mengorbankan keadilan dan kebebasan bersama warga negara." } Niccolò Machiavelli
Javanese people always boast about their tolerance. but what is tolerance for them? what constitute tolerance? When I read this book, I thought of the use of Yogya's new tagline: city of tolerance, and I was wonder whether it purported the kind of tolerance explicated.
Menceritakan sisi lain Jawa, yaitu toleransi. Anderson menggambarkan keagamaan Jawa melalui tokoh-tokoh pewayangan yang karakternya mengandung unsur dualisme. Karena menurut Anderson, dunia wayang adalah potret kehidupan orang Jawa dan panggung perpolitikan yang luar biasa.