Jump to ratings and reviews
Rate this book

Burung-Burung Manyar

Rate this book
Novel Burung-burung Manyar dapat dibaca sebagai bentuk proyek pasca-kolonial. Novel ini berusaha untuk mencari penyimpangan yang terjadi dalam penulisan sejarah Revolusi Indonesia. Sejarah dalam novel Burung-burung Manyar diceritakan secara mengalir dengan beberapa masukan anekdot. Sejarah tidak disampaikan dengan nada otoriter.

Sejarah dicerita melalui kisah cinta seorang yang bekerja mendukung kemerdekaan Indonesia, Larasati, dan Satadewa alias Teto, orang Indonesia yang bekerja dalam angkatan perang Belanda.

Menjelang akhir novel, terdapat kejutan yang menggelitik. Teto atau terbangkitkan jiwa nasionalismenya, dengan menjadi relawan membongkar kecurangan perusahaan tempatnya bekerja yang merugikan Indonesia.

320 pages, Paperback

First published January 1, 1981

373 people are currently reading
4857 people want to read

About the author

Y.B. Mangunwijaya

43 books271 followers
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya was an architect, writer, Catholic priest, and activist. Romo Mangun (Father Mangun) was publicly known by his novel "Burung-Burung Manyar" which was awarded Ramon Magsaysay Award for South-East Asia Writings on 1996.

Not only active in the fiction genre, Romo Mangun also wrote many non-fiction and architectural works such as "Sastra dan Religiositas" [tr.: Literature and Religiosity] which won The Best Non-Fiction prize in 1982.

Bibliography:
* Balada Becak, novel, 1985
* Balada dara-dara Mendut, novel, 1993
* Burung-Burung Rantau, novel, 1992
* Burung-Burung Manyar, novel, 1981
* Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa, 1987
* Durga Umayi, novel, 1985
* Esei-esei orang Republik, 1987
* Fisika Bangunan, buku Arsitektur, 1980
* Gereja Diaspora, 1999
* Gerundelan Orang Republik, 1995
* Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa, novel, 1983
* Impian Dari Yogyakarta, 2003
* Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta, 2000
* Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan: renungan filsafat hidup, manusia modern, 1999
* Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, 1999
* Menjadi generasi pasca-Indonesia: kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, 1999
* Menuju Indonesia Serba Baru, 1998
* Menuju Republik Indonesia Serikat, 1998
* Merintis RI Yang Manusiawi: Republik yang adil dan beradab, 1999
* Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein, 1999
* Pemasyarakatan susastra dipandang dari sudut budaya, 1986
* Pohon-Pohon Sesawi, novel, 1999
* Politik Hati Nurani
* Puntung-Puntung Roro Mendut, 1978
* Putri duyung yang mendamba: renungan filsafat hidup manusia modern
* Ragawidya, 1986
* Romo Rahadi, novel, 1981 (he used alias as Y. Wastu Wijaya)
* Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, novel trilogi, 1983-1987
* Rumah Bambu, 2000
* Sastra dan Religiositas, 1982
* Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat, 1999
* Soeharto dalam Cerpen Indonesia, 2001
* Spiritualitas Baru
* Tentara dan Kaum Bersenjata, 1999
* Tumbal: kumpulan tulisan tentang kebudayaan, perikemanusiaan dan kemasyarakatan, 1994
* Wastu Citra, buku Arsitektur, 1988

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
1,740 (42%)
4 stars
1,474 (36%)
3 stars
634 (15%)
2 stars
136 (3%)
1 star
63 (1%)
Displaying 1 - 30 of 425 reviews
Profile Image for Daniel.
1,179 reviews842 followers
June 23, 2016
Ke.pa.rat.

Keparat karena buku ini sungguh benar-benar bagus dan menyentuh.
Keparat karena saya menitikkan air mata di akhir buku.
Keparat karena saya baru baca buku ini sekarang.

Burung-Burung Manyar merupakan roman kehidupan Setadewa, seorang "anak kolong" yang dibesarkan oleh ide-ide kebencian terhadap Jepang, dan kecintaan yang berlebihan dengan Belanda, dan menghujat kemerdekaan republik Indonesia. Ia jatuh cinta dengan Atik--yang sayangnya, menjadi sekretaris Sutan Syahrir, yang tentu saja mendampakan kemerdekaan Republik Indonesia. Keduanya berpisah, tetapi akhirnya bertemu kembali, dipenuhi dengan sesalan Setadewa.

Huhuhu... Ini benar-benar bagus. Narasi-narasi yang ditulis oleh Pak Romo Mangunwijaya benar-benar mantap dan menohok, beberapa kali menyentuh saya. Pergolakan batin Setadewa begitu terasa hingga saya bisa bersimpati dengan tokoh ini meskipun ia sangat membenci berdirinya Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Banyak sekali nilai-nilai kehidupan masyarakat dan kutipan-kutipan yang bisa dipetik dari buku ini.

Serius. Ini keren. Banget.
Profile Image for Indri Juwono.
Author 2 books307 followers
August 24, 2009
Ini bukan hanya tentang cinta. Ini manusia. Bahwa manusia memiliki sifat yang tergambarkan oleh judul-judul babnya dari tulisan Romo Mangun ini.

Masa transisi, masa pasca kemerdekaan. Anak harimau mengamuk. Elang-elang menyerang. Hingga burung kul mendamba. Untuk siapa Teto berjuang? Untuk negaranya kah? Bukan, ia membenci sang proklamator. Ia hanya berjuang untuk dirinya sendiri. Karena ia benci Jepang, yang telah merenggut ayah dan ibunya darinya. Teto yang kehilangan keluarga, membuat dirinya menjadi pribadi yang dingin.

Kasihan Teto, diombang-ambing antara pilihannya sendiri di KNIL dan cinta platonisnya pada Atik. Dia memilih meninggalkan Atik, tapi setiap saat selalu didera akan penyesalannya. Mungkinkah ini memang kesombongan laki-laki yang sulit untuk mengakui adanya cinta? Selalu diulur dengan harapan si gadis akan kembali namun lupa kalau terulur terlalu jauh akan terputus?? Perang, perbedaan idealisme, perbedaan ideologi dapat membuat seseorang melepas cintanya. Teto tidak sendiri, Komandannya pun terjebak dengan cintanya kepada ibunya. Inilah yang membuatnya juga kuat tetap dalam perintah KNIL.

“Pendeta masa kini adalah para ahli matematika dan sarjana-sarjana dalam kedudukan-kedudukan perhitungan kunci,” jawabnya tenang, pasti, ningrat.

Teto tumbuh menjadi salah satu dari itu. Anak kolong itu, yang hidupnya terombang-ambing antara perang dan cinta, yang tidak tahu harus memilih yang mana di masa mudanya, tenggelam dalam hal-hal rasionalitasnya. Namun nasib memang bergulir sebagaimana digariskan. Hidup tidak bisa dihitung, ditebak, selalu ada tanpa batas untuk nasib. Seperti satu dibagi nol.

“Apa kau kira orang yang dipimpin itu selalu lebih lemah?” Matanya bening dan lebar penuh pertanyaan. Kuteruskan ,“Jana tidak dipimpin. Dialah yang memimpin, Atik. Hanya kau yang tidak tahu. Susahnya kau wanita terlalu pandai. Tetapi terlalu emosi juga.”
Profile Image for Nanto.
701 reviews102 followers
December 4, 2014
Cerita roman tentang Tetto dan Ati ini memang menarik. Termasuk salah satu karya Romo Mangun yang saya baca.

Cerita Tetto yang anak kolong dari seorang bapak yang perwira KNIL dari Resimen Mangkunegaran (?) dan ibu Belanda. Perjalanan panjangnya mempertemukan dengan Ati yang masih saudaranya. Kisah Tetto yang kemudian mengalami pasang surut seiring dengan perubahan jaman: Kolonial Belanda, pendudukan Jepang, Revolusi Kemerdekaan, pasca-pengakuan kedaulatan.

Kisah Tetto yang paling menarik pilihannya yang masuk KNIL dan ikut Belanda ketika Revolusi Kemerdekaan. Pilihannya itu didasari dari kebenciannya kepada Jepang yang dianggapnya bertanggung jawab atas kematian bapaknya yang menjadi pejuang bawah tanah semasa pendudukan dan ibunya yang menjadi "tahanan" di rumah seorang pewira jepang. Republik muda yang diproklamasikan Soekarno-Hatta dianggapnya bentukan Jepang, dan pastilah pilihannya!

Momen paling dramatis dari pilihannya itu adalah dia berseberangan dengan Ati yang menjadi palang merah dari pihak republik. Keduanya mengenang masa revolusi itu, ketika Ati akan menyampaikan disertasinya. Di depan Gedung Negara, Yogya, keduanya ingat bahwa saat itu Tetto turut sebagai perwira yang akan menangkap Soekarno. Sementara Ati adalah perawat yang mengurusi tentara republik.

Perang sering mengguncang kemanusiaan dan posisinya tidak terelakan. Demikian juga revolusi yang sama juga menciderai anak bangsanya sendiri. Gambaran ini saya peroleh dari sekelumit kisah dalam buku ini tentang "tentara" republik yang kerjanya malah menambah beban penduduk di kampung tempat mereka bergerilya. Kisah lain saya peroleh dari bapak saya sendiri. Cerita tentang serdadu Belanda yang senang memboncengi anak-anak kecil di alun-alun selatan Keraton Kasunanan Surakarta. Meski secara kemanusiaan dia baik, dia mesti dibunuh oleh kaum republiken. Para tetua di sekitar situ cuma bisa bilang agar jangan pembunuhan itu menimbulkan "pembersihan" dari Belanda yang nantinya akan menyengsarakan rakyat yang tidak tahu menahu. Demikian juga kisah Tetto dan Ati terpisah karena pilihan yang berbeda dalam Revolusi Kemerdekaan, bukan semata kebangsaan ato rasial.

Usai Revolusi, meski mereka masih dapat bertemu kembali tidak dengan kisah mereka sebelum revolusi. Disertasi Ati sendiri tentang kebiasaan Burung-bung manyar dalam masa kawin. Tabiat burung manyar yang jantan dalam menarik si betina adalah dengan membangun sarang yang sebagus-bagusnya. Si betina lalu memilih dari sekian jantan yang sarangnya "berkenan" bagi dia. Jantan yang tidak terpilih, akan mengacak-acak sarang yang sudah dibangunnya. Aih tragisnya...!

Romo Mangun membangun roman dan perubahan zaman dengan begitu apik. Seapik kado yang pernah dikirimkan ke Rosihan Anwar saat wartawan senior itu berulang tahun ke 70. Ucapannya dalam surat kepada Rosihan Anwar sebagai berikut, "Saudara Rosihan Anwar tersayang! Dengan hormat, dari bepergian jauh saya terlambat membaca di Kompas tentang HUT Anda 70 tahun. Luar biasa! Beter te laat dan nooit. Maka dengan gembira saya ucapkan Selamat Berulang Tahun 70 tahun. Tanggal 10 Mei adalah hari Jerman invasi ke Nederland, awal kerontokan Nederlandsch Indie. Dan Anda aktif partisipasi dalam Revolusi dulu, di garis terdepan maupun belakang. Berbahagialah Anda memperoleh kesempatan sangat berharga itu dari Tuhan." Dalam surat itu juga dilampiri sebentuk sajak dalam bahasa Inggris karya Rod McKuen, seperti ini:

A Kind Of Loving

I sing songs for people I can't have
people I meet once and will never see again.

It is for me a kind of loving.

A kind of loving, for me.
I make words for people I've not met
those who will not turn to follow after me.
It is for me a kind of loving.
A kind of loving, for me

Sumber: http://kompas.com/kompas%2Dcetak/9902...

Yah, akhirnya dari sumber web yang sama dengan sajak di atas, saya hanya menutip kembali akhir ucapan Rosihan Anwar dalam Obituarinya untuk Romo Mangun, "Saya ceritakan di sini semua ini bukan karena mengenai urusan ego saya, bukan karena saya narsisus - mencintai diri sendiri secara berlebihan - seperti kata seorang ilmuwan Indonesia yang belajar di Jerman, melainkan karena hendak menggambarkan betapa agungnya kedermawanan dan kebaikan hati Romo Mangun. Romo Mangun, beristirahatlah dalam kedamaian. R.I.P."

Note:
1. sajak Rod McKuen yang lain juga dapat dilihat di sini http://www.geocities.com/SoHo/Worksho...
Profile Image for Edy.
273 reviews36 followers
January 13, 2010
Buku roman percintaan yang sangat indah, romantis, dewasa, toleran dan penuh suasana humor yang "njawani". Cinta dalam hal ini dikemas menjadi sebuh perjuangan untuk membahagiakan orang yang dikasihi. Adegan pertemuan antara Teto dan Ati di beranda rumah seorang bangsawan Solo, bagiku merupakan "adegan paling romantis sedunia yang pernah ada" dari buku-buku yang pernah kubaca ataupun dari film yang pernah kutonton. Aku kagum sama beliau seperti kekaguman Gus Dur dalam joke-nya; Romo Mangun ini novel2nya banyak cerita tentang perempuan, walau beliau nggak pernah menyentuh perempuan he..he.." Aku baca buku ini lebih dari 5 kali namun tidak bosan dan aku senantiasa menemukan mutiara kehidupan baru ketika membacanya. Menurutku buku ini masterpiecenya karya Romo Mangun.
Profile Image for Missy J.
625 reviews106 followers
August 7, 2023
I have wanted to read this book since 2014. Finally, last year I managed to find a copy of it. I'm glad that I bought this. Mangunwijaya penned a novel that showcases the chaos of the transition to Indonesian independence. On the surface, it's a love story of a former KNIL soldier Teto and his childhood friend Atik. But there's so much history seeping through these pages.

The book is divided into three sections. In the first part, we learn about the Japanese invasion during WWII and the two protagonists. Teto is the son of a Javanese aristocrat and an Indo woman of Dutch descent. The Japanese destroy Teto's family forever, which impels him to join the KNIL, the Royal Netherlands East Indies Armies, who try to remain Dutch control over the islands. Atik, on the other hand, joins the freedom fighters underground, striving for Indonesian independence. Teto and Atik find themselves on opposite sides. Can their love survive?

Atik and her family are full of compassion for Teto even though they don't agree with his decision. Yet they can understand why he behaved the way he did. In the second part of the book, we find ourselves during the Indonesian Revolution. The Japanese have admitted defeat and the Dutch are trying to get back to the islands and re-establish control. It's very chaotic.

Finally, the third part of the book moves to the late sixties to the seventies. The author skipped 1965. We find ourselves in post-independence Indonesia, where utopia didn't bloom. Instead, multinational corporations rule the country with the power to destroy an entire nation. Daily economic struggles consume most of people's lives that ideals are put to the side. Corruption is at an all-time high. I was seriously considering to give this book five stars, but the ending was somehow too tragic.

Mangunwijaya employs an elegant language throughout the book. Sometimes it gets very colloquial, but there's always a touch of humour even though the setting is during a dark period of time. I really found it interesting how Mangunwijaya managed to balance the narrative. We hear the revolutionary perspective through Atik and the colonial perspective through Teto. On top of that, the author peppers the story with real-life events and doesn't forget to add the voices of the ordinary people (in this case Javanese villagers).

There's also a good balance between the story and poetic musings of weaverbirds (and other types of birds). The males of weaverbirds compete amongst each other by building elaborate nests to attract a female. The female weaverbird decides which nest she likes and the males who don't get chosen end up destroying their nests. They will build new ones and try their luck again. Mangunwijaya really breathed a lot of life into the characters, which makes this time of history more accessible to the reader. Unfortunately, people don't read a lot these days. This is really a gem for Indonesia.

...Memang zaman revolusi. Tetapi di Desa Juranggede khususnya untuk kaum perempuan, semua masih sama saja: usaha makanan cukup, pekerjaan dapur dan cuci di kali. Melahirkan anak dan menyusui, revolusi atau bukan revolusi, zaman merdeka atau zaman Belanda. Harapan hati hanyalah agar zaman merdeka ini lekas selesai dan datanglah zaman damai. Tetapi omong.omong begitu katanya amat terlarang, entah mengapa. Karena itu, orang sebaiknya diamlah.

Aku telah menyerahkan segala-galanya. Tetapi mereka mengingkari janji.
Profile Image for mahatmanto.
543 reviews38 followers
October 18, 2021
ini cara rama mangun mengisahkan babak peralihan.
berada dalam babak peralihan, kemungkinan yang terjadi adalah percampuran identitas di sana sini, di kedua belah pihak. pinjam-meminjam, tukar menukar peran, tukar-menukar posisi.
demikianlah maka sekujur novel yang mengambil setting peralihan antara sudah dan belum merdekanya indonesia ini penuh dengan pertukaran identitas tadi.
ada orang belanda tapi pro indonesia. dan sebaliknya, ada orang indonesia tapi pro belanda. demikian pula identitas karakter dalam wayang [suatu semesta simbolik yang dikenal oleh sebagian pembaca novel rama mangun] dipertukarkan dan dipermainkan.
jadi,
membaca novel ini, bisa menemukan 2 lapis kisah: kisah yang dinarasikan di permukaan, itu yang pertama. tapi juga ada kisah lain, yakni kisah pertukaran identitas, yang disimbolkan oleh penggunaan nama, pemeranan tokoh yang semuanya bermuara pada kesimpulan bahwa revolusi indonesia adalah pengalaman kultural yang dahsyat. mengubah sampai ke lapis-lapis dasar struktur identitas kita. karena itu, demikian pesan yang saya tangkap lewat strategi berkisah rama mangun ini: hargailah nation indonesia yang sudah terbentuk sebagi buah revolusi tadi.

sampai di sini saya tertegun.
indah sekali cara rama mangun menyampaikan pesannya!
terima kasih rama...

[terbayanglah cara boris pasternak menggarap problem kultural yang sama: revolusi bolzhevik dalam doktor zhivagonya]
Profile Image for Gede Suprayoga.
170 reviews6 followers
May 6, 2018
Apa Arti Menjadi Merdeka?

Buku ini memberikan refleksi mendalam atas pertanyaan di atas. Melalui tokohnya Sutadewa atau dipanggil Teto, pembaca diajak untuk menyelami kondisi piskososial bangsa Indonesia yang baru merdeka. Dari sudut pandang seorang anak keturunan campuran (Indonesia dan Belanda) ini, kita diajak menyelamai masa sesudah pendudukan Belanda sebagai masa dengan berbagai krisis. Pertama, karakter terjajah tidak dengan mudah dilepaskan. Sikap inferior dan mental yang kurang independen (hanya bisa diperintah untuk bekerja) adalah karakter bangsa Indonesia yang terjajah. Kedua, pemerintahan pada bangsa yang baru belum sepenuhnya mampu mengayomi rakyatnya. Diceritakan seorang petani yang kehilangan sapi, tetapi justru didenda atas kesalahannya. Ketiga, sebagai negara yang kaya akan sumber daya kolusi dan korupsi antara perusahaan asing dan pemerintah adalah hal yang jamak. Teto adalah seorang non-WNI yang berusaha untuk membongkar kejahatan tersebut, meskipun ia harus mempertaruhkan segalanya, kekayaan dan jabatannya pada perusahaan asing tempatnya bekerja. Terakhir, bangsa yang merdeka ini tidak memiliki jati diri. Penulis menggambarkan dengan arsitektur kota yang dibentuk serampangan, anak-anak muda yang lupa akan sejarah generasi sebelum mereka.

Buku Burung-Burung Manyar adalah novel dengan teguran keras bagi generasi penerus bangsa untuk memberikan arti pada kemerdekaan. Penulis menuliskannya ketika mengisahkan pandangan Teto atas anak-anak muda yang melupakan sejarah perjuangan dan minim akan pandangan cita-cita ke depan. Sementara itu, Teto, sebagai non-WNI, diceritakan lebih berani. Ia mempertaruhkan jabatannya dan rela dipecat karena masih memiliki kepedulian atas bangsa yang masih baru ini dengan membongkar praktik korupsi yang melibatkan perusahaannya dengan pemerintah Indonesia. Satu pesan dalam novel ini adalah: Kemauan dan keberanian adalah penggerak bagi para generasi muda untuk melakukan apa yang dianggap benar!

Novel ini adalah cermin. Merdeka adalah proses yang panjang yang dalam perjalanan mencapainya ada saja sandungan dari bangsa sendiri. Identitas ambigu Teto dan pergulatannya dengan sangat telak menghunjam arti kemerdekaan di kalangan bangsa Indonesia sendiri. Suka atau tidak suka, novel ini merefleksikan realitas dan angan-angan yang masih (jauh) dari kenyataan.
Profile Image for Mutia Senja.
75 reviews10 followers
October 2, 2023
Buku pertama yang membuat saya mengenal aneka jenis burung, dari kepodang hingga anggang gading. Ada 24 nama burung termasuk manyar, sebagai judul. Saya melihat tahun 1934 sampai 1978 sebagaimana mendengar kakek bercerita. Emosi yang disampaikan tenang, kadang datar seperti pertemuan Teta dengan Sang Ambasador, lebih sering menggambarkan kemarahan yang sulit dijelaskan.

Atik dan Teto, misalnya. Saya menerima kenyataan jika penulis membuat mereka saling mencintai. Namun yang membuat saya tak memahami keduanya adalah situasi yang ribut itu justru mendukung keduanya memiliki keterikatan yang hanya sebatas rindu sebagai teman yang pernah tinggal serumah. Tak lebih dari itu. Hingga bab demi bab, keterhubungan mereka seolah dibuat makin kuat dengan seolah hanya ingin meyakinkan pembaca. Boleh yakin atau tidak, toh Teto dan Atik punya kehidupannya masing-masing.

Selanjutnya, novel akrab karena lebih banyak menggunakan setting di Magelang dan Yogyakarta. Ada beberapa mitos Jawa yang saya catat, yaitu tahayul malam Selasa Kliwon (hal 170), adat melamar (hal 142), keberhasilan manusia (hal 306). Cerita wayang juga disinggung dalam satu paragraf saja tentang pengandaian watak Atik dan Teto yang berbeda cara pandang (hal 220).

Sampai halaman 280, saya dikejutkan dengan status Atik sekaligus paham mengapa novel ini berjudul "Burung-burung Manyar". Perasaan pembaca yang campur aduk semacam ini justru membuat novel ini berkesan di hati pembaca. Hingga halaman terakhir, saya dibuat berduka dengan mendadak. Tak ada amarah, tapi penerimaan. Tak dapat dipungkiri, kadang masalah akan berakhir saat pemerannya menghentikan langkah.

Masih banyak yang saya alami saat membaca buku ini. Cerita-ceritanya membawa kita menjauh ke tahun di mana orang-orang terdahulu mengatasi peperangan fisik dan batin yang pelik. Sambil baca, saya menyempatkan memutar lagu "als de orchideeen bloeien", yaitu lagu populer zaman Belanda yang berarti "bila anggrek memekar". Ya, saya pun tahu lagu ini juga dari buku ini. Terima kasih Y.B. Mangunwijaya dan para pendahulu yang berhati mulia. Swargi langgeng. ♡
Profile Image for Mikael.
Author 8 books84 followers
May 5, 2010
bildungsroman prajurit KNIL cemen yg cinta mati dgn teman masa kecilnya di kraton mangkunegaran yg sekarang bekerja sebagai asisten syahrir di pihak rikiblik. apa daya konferensi meja bundar membuat kisah cinta mereka jadi pear-shaped. di waktu tua, saat montague sudah menjelma dari belanda menjadi freeport dan capulet menjadi keluarga sakinah beranak tiga, prajurit KNIL cemen bertemu lagi dgn juliet yg cintanya masih membara dan tidak keberatan poliandri. tapi apakah prajurit KNIL cemen masih tetap akan cemen dan lari dari peluang berbahagia atau kali ini ia menolak menjadi burung manyar jantan yg dengan pasrah merusak sarang yang sudah dibuatnya buat manyar betina yg menolaknya semena-mena? hanya di insert investigasi.
Profile Image for Olive Hateem.
Author 1 book259 followers
October 22, 2017
Dibagi menjadi 3 bagian besar dengan periode waktu antara 1934-1944, 1945-1950 dan 1968-1978, roman Burung-burung Manyar bercerita tentang kehidupan Teto (Setadewa) dan Atik (Larasati).

Secara keseluruhan, buku ini memiliki cerita yang begitu indah dan menyentuh. Seperti biasa, narasi-narasi Romo Mangun masih tertulis dengan sangat baik. Ada banyak nilai kehidupan sarat makna yang dapat diambil oleh pembaca. Membaca Burung-burung Manyar setidaknya membuat saya kembali melihat harga kehidupan yang biasanya saya ajak bercanda.

Review lengkap: https://anoddstardust.wordpress.com/2...
Profile Image for Naomi Jayalaksana.
93 reviews
October 29, 2007
Pertama kenal buku ini dari bapak. Waktu itu saya baru umur 10-an tahun. Sambil nemenin anak-anaknya tidur siang, bapak suka bacain buku ini. Ingat betul, gimana saya dan kakak jadi kecanduan lagunya Teto kecil waktu pawai keliling tangsi sama temen-temennya. Kami tak pernah berhenti tertawa, dan meminta bapak untuk mengulang-ulang bagian lagu yang kocak itu. "Dreng..deng..deng...Pak (---saya lupa) makan dendeng celeng...". Sebagai mantan anak kolong, saya merasa menemukan sebagian pribadi saya pada diri Teto.

Saya ingat menangis, saat teto sedih karena terpisah dari ibunya...Pasti dia bingung sekali. Tidak bisa membayangkan seorang anak terpisah dengan ibu yang ia kasihi. Tak pernah terbayangkan sebelumnya, saya akan mengalami hal yang sama, ketika saya tidak lagi bisa merasakan hangat nafas ibu dan belaian sayangnya saat ia berpulang ke rumah Bapa. But she's happy now, and I should be happy for that!

Ini yang paling saya ingat dari tulisan Romo Mangun -- tentang kehangatan keluarga dan perjuangan hidup yang tidak mengenal kasta.
Profile Image for Jonathan Sihotang.
5 reviews
September 30, 2022
Bila hendak diukur, pembaca akan menemui lebih banyak kepedihan, dalam "roman" Burung-Burung Manyar, dibanding dengan romansa itu sendiri.

Tapi, mungkin hanya melalui perlakuan yang demikian, tokoh-tokoh dalam roman picisan setebal kurang lebih tiga ratus dua puluh halaman ini, dapat berkongruen dengan keadaan di sekitarnya: Teto, yang tidak akrab dengan rasa jijik, akhirnya punya kejijikan dengan dirinya sendiri. Atau, Atik yang mulanya pasti dikira "lurus-lurus" saja, dalam beberapa lembar terakhir cerita, justru "menyelingkuhi" ekspektasi pembaca.

Burung-Burung Manyar bukan fiksi sejarah biasa. Aforisme tipis-tipis yang dapat dijumpai dalam monolog tiap karakternya, terlampau bermakna--tidak berlebihan bila dianggap hampir menyamai kelas-kelas kuliah umum filsafat!
Profile Image for Fadillah.
830 reviews50 followers
July 2, 2022
“Dan semakin bencilah seluruh jiwaku kepada segala yang berbau Jepang. Termasuk pengkhianat - pengkhianat: Soekarno-Hatta. Dan seluruh bangsa yang disebut Indonesia, yang membongkok-bongkok kepada Jepang dan berteriak-teriak di alun-alun oleh hasutan Soekarno: "Inggris kita linggis! Amerika kita seterika! Dai Nippon, banzai!" sejak itu, aku bersumpah untuk mengikuti jejak Papi: menjadi KNIL, membebaskan negeri yang indah ini dengan rakyatnya yang bodoh, pengecut tetapi baik hati itu, segala orang di kolong jembatan dan mental-mental serba kampungan dari hasutan dan pengaruh jahat yang menyebut diri nasionalis, tetapi mendukung bandit- bandit yang membuat Mamiku menjadi gundik”.
- Buah Gugur : Burung-Burung Manyar by YB Mangunwijaya
.
.
Knowing that the book was published in 1981 and the author basically lived through 3 different period of Indonesian History : The Late Occupation (1934-1944), The National Revolution (1945-1950), and The Early New Order (1968-1978) - it actually reflect how well the book was written. The major theme of this book is the struggle against colonialism. In the mentioned period, we can see that Japan And Dutch were competing to hold Indonesia. Just like most post-colonial literature, Nationalism discourse took place along the story whereby we were introduced to Teto and Atik, the Main Characters, for the novel. They have known each other since they were kids as they are part of Javanese Royalty. We already saw Teto’s stance on Dutch Colonizer. He has no problem with their way as his father enjoyed the privileges and in a way that he was not being oppressed in any way compared to the common folks during that time. Atik, on the other hands, grew to be a bright young lady that abhor the system. Hence, fate decided to separate them to the opposing sides during the Japanese Occupation Time. Teto went to join KNIL (the Dutch colonial army). The choice made by Teto was chided by Atik as she is all in supporting the Indonesian forces fighting for independence. They are friends but their contrasting ideology made the friendship is such an unlikely pair - just like a fire and water. They both fought for what they stand for with zeal. Teto being an Anti Republic is an example that not all citizens were keen to gain an independence. But i wonder will he still be an anti republic and support dutch to take back Indonesia if he was not born of Royalty? If he was just a son of farmer, will he hold the same sentiment? I dont think so. As for Atik, She knew both Japan and Dutch are Bad but she decided to choose who can give them a self governing country and independence. At the end of the day, This book brought us an intense journey of these 2 characters, before and shortly after Indonesia's proclaimed independence day. We have seen their character’s growth through separation, loss, death and ultimately reconciliation at the end of the story. I would want to give this 4 stars but i felt its too long winded for my liking but it did not discredit that Yb Mangunwijaya (or known as Romo Mangun) is a great writer. I love all the bird analogy that he made in this book.
Profile Image for febriani.
109 reviews6 followers
July 22, 2015
Burung-Burung Manyar (The Weaverbirds) Burung-Burung Manyar is opened with an episode of the Javanese adaptation of Mahabharata. The main story is divided to three sections, each took place in three different periods in Indonesian history: The Late Occupation (1934-1944), The National Revolution (1945-1950), and The Early New Order (1968-1978). Having written more than 20 years ago (1981), the classical Indonesian literature feel is incredibly thick here. There is many Javanese and Dutch terms that are explained on the footnotes. This reprinted edition also contains footnotes that explain old terms in Bahasa Indonesia that are already uncommon nowadays. There is still many old terms left unexplained, though. But then again, if they were explained, this book would consist of mostly footnotes. After a while, I became familiar with the terms and storytelling style. With the classic feel under the historical setting, I felt like time travelling to the periods where the story took place.
 
The Late Occupation 
 
The story in this period centers around the Keraton Mangkunegaran. It shows the feudalistic life of Javanese royal society, where women must show her deep submission to her husband. It was opened by the male protagonist's narration, Teto, during his childhood. Then the female protagonist, Atik, was introduced. It was a happy, rather funny childhood of army and royal family. A few chapters later, things turned grim since the Japanese occupation began. The Japanese occupation grew strong hatred towards Japan for Teto. Atik's family also felt the same hatred, but they were also learned the civilized side of Japanese culture outside the fascist military in the World War II through music and movies. They also realized how the Javanese royal's tradition also has its civilized and cruel side.
 

Indonesia will not be a cruel independent state. - Atik

 
The National Revolution
 
After the declaration of Independence Day, Teto became a lieutenant of NICA, whereas Atik became a pro-revolution who adores Soekarno, Sutan Sjahrir and the rest of the Republicans. Despite their growing love, they keep opposing each other's political stance. In Teto's view, Indonesia needs some more time to mature as a nation before they gain its independence. He detests the Republicans who seemed like hypocrites who obeyed the Japanese to gain their own will through political maneuver. In Atik's view, it was more like "now or never". Life free or die hard.
 

You have to be able to read between the printed lines. Otherwise, you are just a mere captive of the texts. - Atik

 
In this period, we were introduced to Verbruggen, a Dutch Mayor who proposed Teto's mother in the past (obviously rejected). Having brought Teto to become a lieutenant in significantly short time and took an influence in Teto's character development, he became one of the important characters in this book. He has a foul mouth, but a fair amount of wisdom in contrast. We were also introduced to Karjo and Samsu the Setankopor (The Briefcase Demon) who will be shown again in the next period.
 
This period was ended in the midst of the devastating result of the two Politionele Acties (Agresi Militer Belanda) that brought both Indonesia and the Dutch military force much grief and loss, as shown on both Teto and Atik's side. Meanwhile, they began to realize how they long for each other. However, the harsh reality kept drifting them apart, much that Atik began to reconsider her long wait for Teto's proposal.
 
The Early New Order 
There is quite much time skip from the previous period to the last period. After the Roundtable Conference, Teto quitted from NICA and studied Mathematics in Europe to be a computer expert. In addition, he gained a new nationality, which was not mentioned explicitly in the book (though I assume that he became a Dutch). He became the Production Manager of a multinational oil company. In this period, he visited Indonesia for the third time since he got the new nationality. He visited his new best friend, John Brindley, an European Ambassador who keeps pet snakes in his garden. Afterwards, he attended Atik's dissertation defense. Accepting Atik's family's invitation, Teto decided to stay at their place for a while. How will Teto and Atik's relationship develop, after years of separation and opposing ideals?
 
In this period, Teto seems to already calmed down significantly. He grew up and accepted the loss he has been experienced since ever. He also began to accept the changing era and acknowledged his own mistakes. Like the rejected male weaverbird, he rebuild his nest - his life and dignity - after passing through the phase of anger and denial, where he furiously destroyed his rejected nest (ideals).
 
Beside showing the societal and political aspects that were occuring in the corresponding periods, Romo Mangun (the author's nickname) also took us back to experience the changing ecological condition of Java in the 40s to the 70s. The scene where Atik fed the birds and watched their behavior told me how diverse the city birds in Java back then. It shows how srigunting, jalak, gelatik, manyar and kutilang were still commonly wild in the cities in the 40s. The diversity gradually decreased and finally the wild weaverbirds became rare in the 70s. Nowadays, there is mostly sparrows and occasionally a few more kinds of city birds roaming in the cities of Java. The other kinds of birds are mostly kept as caged pets today.
 
There are many things that I like from this book. I like how I got to refresh my memory on the history of Indonesia through the three periods shown in this book. Even instead of refreshing my memory, I felt more like diving those periods, experiencing the events occurred there from the Republicans and the Dutch armies' side. The narration style, of which I assume adopted the way people talk in the corresponding periods, really helped to live up the atmosphere. I also like how this book shows how people from different sides in this book perceive the three periods that were used as time settings. It taught us to sympathize with those different sides, even if they are commonly seen as the antagonists.
 
This book ends beautifully, leaving a bittersweet feeling that seemed to have accumulated since the second period. However, it felt a bit odd when I realize how Karjo and Samsu was not furthermore involved in the story. What is the purpose of their presence, other than to describe the society and political issues in their corresponding periods? Overall, I enjoyed reading this book a lot. I would love to recommend this book to anyone who enjoys historical literary fictions.
 
The international edition of this book, The Weaverbirds, was published by Lontar Foundation in 1991. Unfortunately, the edition is already considered rare now. I hope Lontar Foundation will consider to reprint this book in the future so that this book can be accessible to more readers.
 
Anyway, I have not encountered footnotes in fictions for ages until I began to read this book. Is it because I have not been an avid reader for some time until recently, or it is indeed already uncommon nowadays?
Profile Image for Hanif.
110 reviews71 followers
September 27, 2019
Sepanjang membaca buku ini saya merasa tidak nyaman. Narasinya tidak beraturan dan karakter Teto tidak mengalami perkembangan yang berarti, sangat angsty dari awal hingga akhir. Saya rasa buku ini juga sedikit seksis.
Profile Image for Rinaldo.
272 reviews49 followers
March 28, 2018
5/5

Membaca Y.B. Mangunwijaya (atau lebih dikenal sebagai Romo Mangun) adalah membaca kisah manusia dan kemanusiaan. Mendiang Romo Mangun dikenal sebagai tokoh religius yang sangat humanis dan empatik. Kedua nilai ini terlihat jelas dari kualitas prosa tulisan beliau yang sarat akan empati.

Mengambil latar dari tahun 1930an hingga 1970an, novel ini menggambarkan potret historis Indonesia dari jaman pra kemerdekaan hingga pertengahan Orde Baru. Ada satu hal yang menarik bagi saya, bahwa periode 1930an hingga 1940an sejarah digambarkan dengan detail, sedangkan tahun 1950an dan 1960an seakan dilewati begitu saja. Saya menangkap kesan bahwa Rm. Mangun enggan mengangkat konflik PKI (Partai Komunis Indonesia) dalam bukunya karena pada saat buku ini ditulis, topik tersebut merupakan hal yang tabu. Juga saya menangkap kesan bahwa buku ini menghindari kritik ataupun komentar sosial terhadap rezim Orde Baru. Kembali lagi, pada saat itu kritik terhadap rezim Soeharto merupakan sesuatu yang tabu.

Kisah dan Penokohan
Kisah utama buku ini sendiri adalah tentang perjalanan hidup seorang militer dan akademisi dengan latar belakang blasteran ningrat Jawa dan Belanda bernama Teto (Setadewa). Ia besar sebagai anak kolong di Magelang, Jawa Tengah. Bangga dengan latar belakang keluarga dan pendidikannya, Teto tumbuh dengan arogansi dan narasi tentang superioritas kaum Belanda dan blasteran dibandingkan inlander atau pribumi Indonesia.

Teto sendiri bukanlah karakter yang menyenangkan atau baik hati. Ia penuh dengan kepahitan, kemarahan, machismo, dan kegelisahan. Didikan dan latar belakang ini membuat Teto bergabung dengan badan militer Belanda KNIL dan berseberangan dengan pujaan hatinya. Atik, yang juga teman masa kecil Teto, bergabung dengan kaum Nasionalis yang dipimpin oleh Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, dan Sjahrir.

Penjajaran dan studi tokoh Teto dan Atik ini menarik karena keduanya berasal dari latar belakang yang mirip, yaitu ningrat Solo. Namun keduanya tumbuh dengan didikan dan ideologi yang sangat berbeda. Di mana Teto merasa bahwa Indonesia tidak siap merdeka dan tokoh-tokoh kemerdekaan adalah pengkhianat bangsa sekaligus antek Jepang, Atik berjuang dengan ideologi bahwa tanah air adalah sesuatu yang ideal dan layak diperjuangkan.

Tanah Air dan Sarang Burung Manyar
Tanah air adalah salah satu konsep utama dalam Burung-Burung Manyar. Dalam sepanjang buku ini, konsep tentang tanah air dan identital nasional (dan dalam skala kecil rumah dan keluarga) berulang kali dibicarakan dan diperdebatkan oleh banyak tokoh dari berbagai latar belakang. Teto sebagai karakter utama telah kehilangan keluarga dan rumahnya berkali-kali sepanjang pergantian pemerintahan dan gejolak politik Indonesia.

Berbagai kepahitan beserta perjumpaan Teto dengan berbagai tokoh selama puluhan tahun membentuk sinisme dalam dirinya terhadap konsep tanah air. Layaknya seekor burung manyar jantan yang harus berkali-kali membangun sarang, perjalanan hidup membawa Teto berpindah-pindah tempat dan memulai ulang segalanya dari titik nol.

Sebagai orang yang tinggal berpindah-pindah, saya juga dapat bersimpati dengan Teto, Atik, dan sarang burung-burung manyar. Sebagai warganegara Indonesia keturunan Tionghoa yang dibesarkan dalam lingkungan yang plural, saya memahami sungguh idealisme Atik tentang tanah air yang humanis dan empatik. Namun di sisi lain, sebagai seseorang yang besar di kabupaten Magelang dan kini tinggal di negara Barat yang cenderung lebih liberal sekaligus manusiawi, saya juga menyadari betapa rendahnya penegakan HAM dan rasa kemanusiaan di Indonesia. Saya sungguh paham kepahitan Teto terhadap mental inlander yang masih terasa hingga kini.

Saya akan menutup ulasan ini dengan kutipan yang saya rasa sungguh mengena dan merangkum buku ini:

Tanah air ada di sana, di mana ada cinta dan kedekatan hati, di mana tidak ada manusia menginjak manusia lain.

Profile Image for risal.
25 reviews6 followers
August 26, 2021
Terlalu dragging, butuh perjuangan berat untuk menuntaskannya.

Dengan segala hormat pada kebesaran nama seorang Romo Mangunwijaya, juga pada segala penghargaan yang dimenangkan oleh novel ini. Namun, saya harus jujur di awal bahwa saya tidak menyukai buku ini.

Bukan, bukan karena penokohan Teto yang berhasil membuat pembaca benci setengah mati karena ketidaktegasannya sebagai seorang lelaki atau kecupetan cara berpikirnya. Justru hal tersebut menunjukkan bahwa Romo Mangun berhasil membangun sebuah karakter. Bukan pula karena seksisme, patriarkisme, atau militerisme yang kental mewarnai cerita. Saya percaya bahwa setiap penulis berhak membawa pemikiran apa pun dalam karyanya, demi memberikan pengalaman yang berbeda pada pembaca. Justru hal tersebut juga menunjukkan keberhasilan Romo Mangun membangun konflik baik eksternal maupun internal selama masa peralihan kemerdekaan. Yang membuat saya tidak menyukai novel ini adalah gaya berceritanya!

Di awal, saya dibuat excited dengan narasi lucu Teto sebagai sudut pandang orang pertama.

Sebab terus terang saja Papi blo'on tampangnya. ... Benar-benar Jowu deh. Kayak penyapu pupuk-andong dari Khementee Makhelang, yang setiap pagi dan petang membersihkan aspal-aspal kerajaan dengan sapu bertongkat panjang yang berpelat besi pengerok pupuk anugerah kuda, sreg-sreeg, siyuh-siyuh, siyuh, sreg-sreeeg, siyuh-siyuh-siyuh. (hal. 5)

Pun dengan Atik kecil yang terlihat cerdas.

Atik belum pernah melihat badak dan ingin sekali melihatnya, walaupun ibunya berkata: seperti kerbau biasa. Hanya tanduknya di hidung. Ah mosok. (hal. 20)

Namun, sayang seribu kali sayang. Semakin ke belakang, narasi yang disajikan semakin bertele-tele. Mau ngomong A saja, harus berputar dulu sampai X, Y, bahkan Z. Terlebih banyak pleonasme bertebaran. Dan itu semua sangat menggangguku sebagai pembaca. Novel yang hanya 261 halaman harus kutelan selama seminggu!

Meski begitu, saya menikmati pergolakan batin tentang kemerdekaan yang ditampilkan secara jujur. Misalnya, ketika Pak Trunya mengatakan lebih memilih dijajah Belanda ketimbang merdeka. Ya, salah satunya karena ada manusia semacam Setankopor di barisan republik. Pun, saya mendapat insight baru terkait cinta mengingat novel ini memang novel roman.

Namun, gaya bercerita yang bertele-tele, scene sidang doktoral Atik, dan kemunculan tokoh-tokoh serta cerita sampingan yang tidak terlalu relevan dengan alur cerita rasanya belum bisa saya maafkan. Saya ingin menutup curahan rasa sebal ini dengan kutipan favorit saya selama membaca buku ini:

Pendeta masa kini adalah para ahli matematika dan sarjana-sarjana dalam kedudukan-kedudukan perhitungan kunci. (hal. 177)
Profile Image for Damar.
2 reviews2 followers
Read
June 20, 2025
buat yang cari ulasan, skip aja. ini cuma semacam curcol tentang knp burung-burung manyar (bbm) amat berpengaruh buat saya.

baca bbm circa 2015, waktu fase hidup lg chauvinis2nya karena konsep nasion(alisme) di kepala saya cuma terbangun dari buku sejarah/ppkn sekolah, pidato2 hipernasionalistik soekarno (kenapa dulu ga baca hatta ya?), dan, mungkin seperti kebanyakan golongan nasionalis-optimis dengan latar sosial kelas menengah urban di generasi saya, talks-nya anies baswedan yg banyak seliweran di youtube itu.

di kepala naif saya waktu itu, gagasan menjadi repoeblik jang merdeka adalah aspirasi tunggal dari masyarakat pra-repoeblik. kata lainnya: proses menjadi repoeblik selalu tentang kita-boemipoetra vs mereka-asing. dan agar jadi kita-boemipoetra yg baik di mata negara, gen y seperti saya tinggal jaga dan rawat semangat “vs mereka-asing” itu dgn macem2 cara. obrolan panjang di warung kopi? boleh, asal pake bahasa indonesia, atau, kalaupun mau codeswitch, tolong pastikan dengan bahasa yg terdaftar sebagai mulok di daerah masing2. nulis di media atau blog? boleh aja, asal sesuai PUEBI, kalo bingung tinggal mention @ivanlanin di twitter. meracau di twitter? boleh dong. lebih bagus lagi kalo bisa sampe twitwor sama @veronicakoman!

sampe saya ketemu teto.

tokoh yang aspirasinya (nyaris?) absen dari dari buku sejarah/ppkn sekolah, pidato2 hipernasionalistik soekarno, dan talks-nya anies baswedan tadi.

sejak kenal teto plus bumbu2 persiapan kemerdekaan yg dirangkai dalam bbm, bangunan konsep dan spirit nasion(alisme) puritan yg udah nyaman nongkrong di kepala saya ambruk, rontok, dan pelan2 terusir. teto adalah kita-boemipoetra dan mereka-asing secara sekaligus. lahir di tanah jawa sekaligus enggan mendefinisikan dirinya sbg anggota dari bangsa dan/atau negara indonesia. dulu konsep ini asing buat saya.

dan teto tentu gak sendirian: tentang siapa itu kita-boemipoetra dan mereka-asing ternyata gak lebih dari ekses peristiwa realpolitik. harga nkri bukan mati, boleh nego, tergantung keperluan tuan-puan yg lagi gontok2an di medan realpolitik tadi. dan, gak terlalu mengejutkan, konsep ini masih relevan sampai hari ini (cebong vs kampret, misal), bahkan mungkin sampe homo sapiens sepenuhnya lenyap dari alam semesta.

robohnya konsep dan spirit atas bangsa yg puritan tadi akhirnya memudahkan saya buat lebih memahami tegangan sosiologis di dalam suatu bangsa dan/atau negara. inilah alasan kenapa bbm jadi begitu penting dan berpengaruh buat saya: ia memberikan pondasi yg solid dalam perjalanan saya berikutnya ketika menyelami literatur terkait (ke)indonesia(an) dan/atau (ke)bangsa(an).

thanks, romo.

rest in power.
Profile Image for Sigit Revolusioner.
24 reviews
January 23, 2017
Burung Burung Manyar. Sebuah roman cinta, patriotisme, dan hakikat hidup manusia. Saya suka, bagaimana Romo Mangun membawakan sejarah sebelum, pasca, dan sesudah kemerdekaan. Sejarah dituturkan secara mengalir mengikuti roman percintaan Teto dan Antik. Dari buku ini pula, saya jadi "ngeh" , tidak semua rakyat benar benar menginginkan kemerdekaan. Para petani misalnya (hal...) yang berkeluh tentang jaman revolusi yang serba kacau, para tentara yang membunuh, memperkosa, serta menjarah hasil hasil pertanian maupun ternak mereka. Dengan alasan demi revolusi kemerdekaan. Para bandit bandit yang malah lebih sering mengacu daripada ikut berperang melawan KNIL.
Sementara di sisi roman percintaan, Romo Mangun benar benar mampu membangun alur cerita yang bikin saya galau. Hahaha. Apa jadinya saya jika jadi Teto ataupun jadi kapten Verbruggen?
Di sisi hakikat hidup manusia, tergambar jelas pada bagian akhir. Dimana Atik menjawab pertanyaan profesor penguji tentang Burung Burung Manyar.
Saya suka bagaimana Romo Mangun memilih filosofi Burung Burung Manyar ini untuk dijadikan dasar dari Roman ini. Dalam masa kawin. Burung Burung Manyar Jantan akan membuat sarang yang indah dan menarik untuk merebut burung manyar betina. Sementara burung betina mempunyai hak prerogatif untuk memilih siapa yang akan ia kawininya. Bagi yang terpilih tentu senangnya, namun bagi yang tertolak mereka akan merusak dan mengacak ngacak sarangnya. Aich, tragisnya....!
Disini kita diajarkan bukan tentang berebutan jodoh, namun tentang kualitas menghadapi kekasih yang tidak terjangkau. Burung Manyar jantan tidak merebut si betina dari rivalnya, tetapi menerima dan menghormati pilihan si betina. Boleh sedih, membongkar dan merusak sarang yang dibangunnya dengan susah payah, dengan dedikasi sepenuhnya serta dengan hati seluruhnya. Tetapi jantan yang tak terpilih tetap menghormati kedaulatan si betina. Terbukti tidak menganggu masa kawin si betina dengan yang dipilihnya. Burung Manyar jantan yang tertolak setelah merusak sarang yang ia buat, akan pergi dan mencari betina lainnya. Membangun sarang kembali untuk menarik betina lainnya.

Kita dapat sedih dan marah membongkar segala yang kita anggap gagal, namun semogalah kita memiliki keberanian juga untuk memulai lagi dengan penuh harapan.

Bintang 5/5 untuk buku ini...
Profile Image for tnty.
111 reviews2 followers
January 7, 2018
""Tik, serius. Bagaimana seandainya, ini hanya... hanya seandainya. Bagaimana seandainya Teto tidak berminat padamu, jangan lagi melamar. Kan, bertepuk tangan sebelah tidak bisa."
"Kalau dia tidak melamar, sayalah yang melamar."
Terkejut Bu Antana mendengar ucapan yang menurut adat tidak semestinya itu.
"Apa itu tidak memalukan, Tik?"
"Memalukan? Ah, Ibu. Kan Atik tidak mencuri, tidak bohong, tidak berbuat eh... tidak... zina?"
"Ya, tetapi bagaimana seorang putri, kok, melamar?"
"Biasa, melamar. Keleting Kuning melamar Ande-Ande Lumut. Kan hikayat Jawa itu punya arti: ngunggah-unggahi asal baik-baik caranya, diakui sah, atau istilahnya: berusahalah."
Ibunya menggeleng-gelengkan kepalaya.
"Bagaimana andai ayahmu tahu itu?"
"O, Ayah pasti setuju dengan Atik.""
-- Hal. 214

Beberapa tahun lalu, jauh sebelum isu feminisme menjadi tren seperti sekarang ini dari belahan dunia Barat, sastrawan tanah air dan juga seorang laki-laki telah menciptakan tokoh-tokoh perempuan yang kuat dan berkharakter, mereka adalah Y.B. Mangunwijaya penulis buku ini dan Pramoedya Ananta Toer. Dan itupun hanya yang saya tahu. Mereka mungkin tidak bermaksud untuk ikut-ikutan tren jadi feminis, mereka memiliki pemikiran sendiri yang mungkin berasal dari kekaguman dan realita di sekitar mereka tentang sosok perempuan yang menginspirasi, tidak lebih tinggi ataupun lebih rendah dari laki-laki, dan memiliki kualitasnya tersendiri. Jika dalam kasus Pramoedya, Beliau hanya ingin membela yang lemah. Karena bagaimanapun memang dalam kenyataan perempuan banyak dilemahkan. Bukankah itu berarti telah melampui jamannya bahkan pemikiran masa kini?

Di samping penciptaan sosok Atik yang memiliki karakter kuat, sosok pemeran utama diciptakan bukan menjadi sosok yang jahat ataupun baik hati nan sempurna. Justru Setadewa, si pemeran utama, memiliki kompleksitas karakter yang membuat ia manusiawi. Romansa dengan Atik dan juga dengan keluarga serta dengan negerinya sendiri yang sedang bergolak adalah penggambaran yang terasa sangat dekat dan realistis. Pun gaya bahasanya sangat nJawani dan sebagai orang Jawa saya bisa merasakan cerita ini sangat hidup. Buku ini memberi kesan yang manis tapi manis yang sederhana. Suka sekali.
Profile Image for Nanny SA.
342 reviews41 followers
August 18, 2009
Walaupun sudah beberapa kali membaca buku ini, tapi masih terasa menarik karena bahasanya segar dan tidak membosankan.Terakhir saya baca buku ini beberapa tahun yang lalu tapi ketika membaca ulang masih ada renungan dan pelajaran baru yang bisa diambil

Kisah perjalan hidup tokoh Setadewa atau yang biasa dipanggil Teto yang melalui beberapa masa peralihan jaman, penuh dengan konflik baik konflik dalam dirinya sendiri maupun dengan lingkungan sosial nya termasuk konflik percintaan dengan Larasati (atik)yang dikenalnya sejak masa kanak2. Perkenalan pertama, pertemuan ketika remaja,pertemuan ketika konflik, perpisahan dan pertemuan setelah dewasa diceritakan dengan nuansa- nuansa yang bebeda; sesal, sedih, gembira- sangat luar biasa.
Endingnya ..di luar dugaan :)

Mungkin pelajaran yang bisa diambil adalah jangan menyimpan segala sesuatu sendiri baik dendam ataupun rindu. Sebagai makhluk sosial kita perlu teman yang bisa dipercaya untuk berbagi agar kita tidak salah memilih jalan hidup dan jangan memendam cinta dengan alasan apapun.. ungkapkanlah dan kau akan lega ..!
Profile Image for Aqmarina Andira.
Author 3 books10 followers
September 25, 2015
"Repot juga kalau Ki Dalang harus melakonkan hikayat kacau. Klenting Kuning dan Gatutkaca."

I really love how the characters grow in this story. Indonesian only have a single point of view in the case of "Perang Kemerdekaan". The republic is the hero and the Holland's army is the bad guy.

Well, experimenting with 'seeing things from other perspectives', this story lets us see things more fairly. There is no exact black and white in any cases.

I like the analogy of Karna used to represent Teto, the main character in this story. He fought against Pandawa, yet still be loved and respected. Just like my all time favourite character in Mahabharata, Bhisma.

I also like how the story highlighted 1948 and mentioned more about Sjahrir. I mean not to disrespect any other heroes that we have, but sure Sjahrir had played one of the most important roles in shaping this country. And he deserves the respect.

I don't quite enjoy the last part of the book, but I like the analogy of Gatot Kaca and Klenting Kuning. It is beautiful and gives justice to all characters.
Profile Image for Sarah Hanifah.
6 reviews
March 15, 2021
There are several aspects that I like, such as independence is an unglorified victory in this book. It is rather questioned (taken from the viewpoint of a sceptical Teto), then what is described in this book regarding our (Indonesian) society and our nation is still relevant today. A fresh point of view to see our 'heroes' (Soekarno, Syahrir) also made more human-in which we are not suddenly sure what this 'hero' brings: Really? Will it get better? Maybe that's also what makes this book stand out. The analogy of the puppetry that resembles every character and situation is genius too i think. Teto and Pandawa. Then the weaver bird symbolizes itself, its story, and how we should not only learn to code, promote blind logic, and (oh glorify) rationality, but also we should learn the language of the 'sasmita in this universe. Because that's what will show our identity later, right? Hmm. This book delivers on those aspects which are striking, not to mention the language which is very frank and humorous.
Profile Image for Metri.
17 reviews1 follower
November 21, 2008
Bacaan masa kecil (SD atau SMP), pinjam dari perpustakaan, sekarang udah punya duit sendiri, jadi bisa beli.

Jarak antara baca pertama kali dengan sekarang mungkin lebih dari 15 tahun, tapi ternyata buku ini masih mengesankanku. sangat.
Bahkan munngkin lebih mengesankan ketimbang saat pertama baca, karena tentunya rentang waktu 15 tahun telah banyak memberiku tambahan pengetahuan dan kemampuan untuk lebih memahami karya Romo Mangun ini.

tak lekang oleh waktu.....


"Aku bukan pahlawan, tetapi kali ini pun aku tak gentar menderita, karena sedikit banyak aku telah ditempa oleh kepahitan dan kegagalan" Teto
Profile Image for Imas.
515 reviews1 follower
March 3, 2016

Novel dengan latar belakang 3 kurun waktu penting dalam perjalanan Indonesia dari sebelum kemerdekaan sampai dengan masa orde baru.

Sang tokoh Setadewa atau Teta turut melewati peralihan masa itu. Berkisah tentang hubungan Teta dan Atik dengan melewati konflik, pertemuan dan perpisahan.
Romo Mangun menulisnya dengan luarbiasa, termasuk tentang burung yang menimbulkan diskusi heboh. Aku sih ngga paham soal burung-burung itu....:)
Profile Image for Adrianus Venda.
11 reviews11 followers
November 28, 2016
Selain Norwegian Wood buku ini merupakan novel terbaik yang pernah baca. Cerita-cerita di dalamnya membuat kita sadar akan kompleksnya realita dunia manusia. Sebuah dunia yang penuh kejutan dan warna. Dunia yang tidak bisa digambarkan secara hitam putih semata. Sebuah dunia yang selalu membuat kita bertanya sekaligus menerima
Profile Image for Rere.
118 reviews9 followers
March 25, 2014
(Adapted from my blog: paquetdevie.blogspot.com)

So! I finally finished this book. It's been, what, four months since I borrowed it? And I only finished it now. Lovely. The school library is going to rake in lots of money.

This book is, well, it's not difficult, per se. I just had a hard time of getting into it. The book had the double sin of a) written in 1st person and b) contains a lot of sentimental Indonesian-esque romance that I don't really like. Romance is fine, but Indonesian authors tend to have this style that whatever romance they wrote is going to end up really sappy and/or cheesy. Since most old novels are written in 1st person (my most hated POV) and have these sappy romance (that my cold heart does not understand), you can see why I don't really read them much.

But as a book connoisseur, I have to read a lot of books, crossing genre and time, even if that means I have to get out of my comfort zone. Or spend four months reading a 300 page book.

Okay. So. The review. Right.

The Weaverbirds (Indonesian: Burung-Burung Manyar) tells the story of Setadewa (Teto) and Larasati (Atik). Teto is the son of a KNIL soldier, KNIL being the private army of the Dutch colonist in Indonesia, and an Indo mother. Atik is still Teto's cousin of some sort; her mother is the adopted daughter of Teto's father's uncle. Teto's father comes from a blue-blooded native Javanese family, but he likes being "Dutch" more.

During the Japanese occupation, Teto's father joined the rebellion, and was subsequently caught. Teto's mother was kept as a mistress by a Japanese official to protect Teto's father, and Teto was left in the care of Atik's family. Teto vowed that he will avenge his parents, and joined KNIL once he was old enough. When the Japanese left however, Teto was faced by the Republican factions; that is people who wanted and have declared Indonesia's independence. Teto viewed the Republicans as ex-collaborators with Japan, and thus viewed Indonesia's independence as not something that they earn, but something that is given by Japan. Not to mention, after the war, the fate of his parents is still unknown. Thus, begins Teto's quest to "help" his homeland and find the truth about his parents.

Structurally, the novel itself is divided into three parts: a prologue of some sorts that tells the story of Teto and Atik's childhood, a middle part consisting the bulk of the action, and an epilogue.

I find the concept refreshing, because Indonesian novels often have this black-and-white view of the world, that the good guys will always be good and the bad guys will always be bad. This is a boring, not to mention unrealistic, point of view of the world. The good guys is not always good and the bad guys are not always bad. So it's really refreshing to see a flipped perspective; the Republicans became the antagonist and the colonizing Dutch became the protagonist.

Maybe it's because of this I find the middle part to be the most exciting of the three. It details Teto's struggle to reconcile his vision of Indonesia, and the Indonesia he's seeing right now. Teto does not go to war because he hates Indonesia; he loves Indonesia and wants to free her from the Republicans whom he viewed as Japanese collaborators. Teto's mother frequently becomes a sort of allegory for Indonesia herself, in the eyes of Teto: she was a happy housewife in the Dutch period, only to become a trapped mistress in the Japanese occupation, and later institutionalized after the war. Indonesia too, according to Teto, is subjugated but happy during the Dutch period, trapped in a broken promise during the Japanese occupation, and has become insane in her independence.

Teto's views and behaviors is a departure from the usual Indonesian heroes that is usually portrayed as calm and polite even in the midst of gunfire. Here, Teto is brash and foul-mouthed, but he had the heart of a lion, and a firm principle taught by his father. He's an intelligent boy; he knew in the middle that what he's doing, what KNIL and him are doing, is basically worthless but still he fought because his father taught him not to run away from a fight. And by God, he didn't, even if it meant sacrificing his only chance on being with the girl he loved.

I expected Atik to be one-dimensional and flatter than a cardboard, but she was quite fleshed out, which is a nice surprise. Atik too is struggling that she may or may not have feelings for Teto, her childhood friend slash distant cousin and a traitor to the Republic. Atik herself works for the Republic, even becoming an aide for the then-Foreign affairs minster. She has to learn to reconcile her loyalty for her motherland and her affection to an agent of the enemy.

The prose is wonderful and this is one of the few first-person POVs novel that I actually like. YB Mangunwijaya conveys Teto's feelings so perfectly that you can't help to root a little bit for the Dutch, if only to give Teto his happy ending. The changing of POVs is something I severely dislike in most modern novels since it's just hella confusing, but Rama Mangun (as he's affectionately called) uses it so efficiently to portray the characters' feelings, to let us see the two-sides of the coin, that I can't complain about it.

My problem with this novel is that we really don't see Atik and Teto's relationship developing properly. Literally 70% of their screentime are spent apart from each other. We only get to see their interaction in the beginning and in the end; they rarely interact in the middle part. When I first read Teto declaring his love to Atik in his inner monologue I was like "bruh? You only met this girl for two months, tops!" It feels odd to me because they only met each other for a short time in their childhood, and it didn't really make sense for both of them to be violently in love with each other. They talked about their closeness a lot, but we don't actually see how close they are, or how their closeness develops in the first place. As individual characters, they are well-developed, but as a pairing they are not.

I also have issues with the length of the first part and the third part. The first part should be longer, and the third part should be shorter. The ending is firm and resolute, but the execution is off. There's a lot of padding in the third part but the last pages seems rushed, as if the author has a page limit and he's nearing that limit so he better wrap the story up. The conflict in the last part just kind of...hangs there with no development whatsoever beyond a few short paragraphs. I didn't even realize there's a conflict until 3/4 in. Inserting a new conflict at the end of the book is pretty unusual, so I understand if the author wants it to be done quickly, but if that's the case then why does he insert it in the first place? It's completely unnecessary and throws the reader off.

There's also this bizarre subplot involving a minor character that does not have anything to do with the plot, whatsoever. The pages for that, I think, can more efficiently used instead to flesh out the story more, but alas it does not happen. The third part is the most boring of them all, part of the reason why this takes me a long time to finish after whooshing through the middle part.

It is a good book, and it is a good story, but it's marketed everywhere as a love story, and I didn't really feel the whole romance angle. As a war-novel, it's good, it's great; I would've given it a four-star. But you have to call an orange an orange, and as a romance novel it's very unsatisfying. This, coupled with other plot issues and pointless padding, reduces the grade to only three-star.
Profile Image for Kurnia Dwi Aprilia.
215 reviews4 followers
August 10, 2017
Seperti kicau burung-burung Manyar yg sudah jarang dijumpai saat ini. Begitulah seorang Teto, tokoh utama cerita, sang anak kolong, anggota KNIL, Tentara bayaran, berpihak kepada musuh bangsa, namun akhirnta kembali untuk bangsa.
Awalnya saya agak bingung juga mengenai ihwal mengapa gerangan yg menjadi tokoh utamanya seolah antagonis, yg dlm cerita ini malah memihak kepada Belanda saat masa2 perjuangan perebutan kemerdekaan dahulu. Bahkan tidak sedikit tertulis mengenai ketidaksukaannya terhadap tokoh2 seperti bung Karno, Bung Hatta, terlebih Syahrir. Entah mungkin pernah terjadi pertentangan apa antara tokoh2 proklamir kemerdekaan itu dengan para pemuda, para pejuang bersenjata, ataupun dengan rakyat dari golongan menengah ke atas.
Tapi endingnya cukup menarik. Sang tokoh antagonis ternyata pada akhirnya menjadi tokoh protagonis yg sangat berjasa. Berjasa terhadap negara maupun terhadap kekasih yg dicintainya. Citra tokoh utama, Teto, baik dan sungguh pahlawan.
Saya cukup salut dengan kisah cinta mereka yg awet dan agak tragis sebenarnya. "Bolehkan mencinta tanpa menikah?" Nah, ini pertanyaan yg agak menggelitik di bagian cerita ini.
Profile Image for Rahman Rasyidi.
101 reviews27 followers
June 1, 2018
Ok I need time to process everything I have read. All the details (birds!!) were very much appreciated. The contrasting atmosphere between Teto and Atik: like darkness and light, despair and hope. Argh. I just don't have the words to describe everything. Hands down the best Indonesian novel I have read so far in my life!!!
Displaying 1 - 30 of 425 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.