Remy Sylado lahir di Makassar 12 Juli 1945. Dia salah satu sastrawan Indonesia. Nama sebenarnya adalah Yapi Panda Abdiel Tambayong (Jampi Tambajong). Ia menghabiskan masa kecil dan remaja di Solo dan Semarang. Sejak usia 18 tahun dia sudah menulis kritik, puisi, cerpen, novel, drama, kolom, esai, sajak, roman popular, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi. Ia memiliki sejumlah nama samaran seperti Dova Zila, Alif Dana Munsyi, Juliana C. Panda, Jubal Anak Perang Imanuel. Dibalik kegiatannya di bidang musik, seni rupa, teater, dan film, dia juga menguasai sejumlah bahasa.
Remy Sylado memulai karir sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya.
Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, dan tahu banyak akan dunia perfilman. Saat ini ia bermukim di Bandung. Remy pernah dianugerahi hadiah Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi.
Dalam karya fisiknya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai. Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang sudah tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung. Seniman ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua, dan menelusuri pasar buku tua. Pengarang yang masih menulis karyanya dengan mesin ketik ini juga banyak melahirkan karya berlatar budaya di luar budayanya. Di luar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi.
Karya yang pernah dihasilkan olehnya antara lain : Orexas, Gali Lobang Gila Lobang, Siau Ling, Kerudung Merah Kirmizi (2002). Kembang Jepun (2003), Matahari Melbourne, Sam Po Kong (2004), Rumahku di Atas Bukit, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Bahasa Asing, dan Drama Musikalisasi Tarragon “ Born To Win “, dan lain-lain.
Remy Sylado pernah dan masih mengajar di beberapa perguruan di Bandung dan Jakarta seperti Akademi Sinematografi, Institut Teater dan Film, dan Sekolah Tinggi Teologi.
Parijs van Java bercerita tentang sepasang kekasih Belanda totok yang mengadu nasib ke Hindia-Belanda. Latar belakang mereka berbeda. Sang gadis, Gertruida van veen, berasal dari keluarga Anabaptis yang ketat menjalankan ajaran Kitab Suci walaupun kurang tepat (Pada hal. 63 Mark van Veen sang pendeta mengutip Kisah Para Rasul 19:31. ). Rob Verschoor seornga katolik modern (walaupun tidak disebutkan di dalam novel tetapi saya berpendapat bahwa Rob adalah seorang katolik tradisional yang mendambakan angin segar yang menghembuskan debu-debu yang melekat di Roma sejak Konstantinus hingga abad ini). Optimisme Rob untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di HIndia-Belanda membuatnya kuang waspada dan berhati-hati ketika menilai Rummondt. Rummondt dan teman-temannya dalam Preanger Vooruit punya program menjadikan Bandung sebagai tempat wisata seks. Seorang bintang di...... hmmm...... sepertinya lebih seru kalau di baca sendiri aja ya.... selamat membaca. Ada beberapa hal menarik yang saya dapat dari Parijs van Java.
1. Pilihan kata. Remy Silado menggunakan banyak kata "asing", seperti bernudub, azmat, pating pabalatak, teranj-anja, dan masih banyak lagi. Apa motivasi beliau? Sekedar mau tampil "beda" atau ada kriti kyan hendak disampaikan. BAgi saya REmy ingin menggali kekayaan budaya kita yang masih (atau sudah) terpendam (atau dipendam)? Suatu tindakan yang membuat bingung saya yang sudah disempitkan oleh "agen-agen" pendidikan di SD hingga SMA.
2.Isu caesaropapisme. "Perkawinan" antara GEreja dan negara, agama dan kekuasaan. Satu isu yang sudah mengerogoti Gereja sejak Edikt Milan 313. Ketika agama kristen menjadi agama resmi negara dan strukturnya disusun mengikuti struktur pemerintahan negara Roma, para pejabat Gereja menjadi pejabat pemerintahan juga. Bonifasius VIII dalam bulla Unam Sanctam memaklumkan bahwa Gereja memiliki dua kekuasaan: kekuasaan rohani dan sekular; kekuasaan rohani dipegang oleh Paus dan para uskup sementara kekuasaan sekular diberikan kepada kaisar dan raja. Kekuasaan rohani bertanggungjawab kepada Allah sementara kekuasaan sekular bertanggungjawab kepada kekuasaan rohani. Dengan kata lain kaisar dan para raja tunduk kepada Paus dan uskup. . Caesaropapisme memuncak dalam diri Alexander VI yang mengangkat anak-anaknya sebagai pejabat Gereja. Dalam perjalanan sejarah muncul orang seperti Hoevell (tokoh dalam novel), Martin Luther, Fransiskus Asisi, Ignasius Loyola, Catherina dan Siena yang menuntut Gereja kembali ke jalurnya yang benar. Di Hindia-Belanda Caesaropapisme sudah terjadi sejak jaman VOC. VOC dan Gereja bekerjasama untuk mencapai tujuan masing-masing. VOC membutuhkan tenaga misionaris yang dapat diterima oleh masyarakat setempat sementara para misionaris membutuhkan fasilitas yang dimiliki VOC untuk pergi ke tanah misi. praktek yang sama dilakukan juga oleh gerja katolik dan kerajaan spanyol dan portugis.
3. Pandangan tentang kerja. Kerja yang berlebihan dapat merusak manusia bukannya membangun manusia (hal.204-205). Banyak dimensi kerja: aktualisasi diri, memajukan budaya, menjalin relasi dengan sesama manusia turut serta dalam karya Tuhan, juga untuk mendapat nafkah. Seringkali kerja hanya dilihat sebagai sarana unutk mendapat nafkah.
Cerita dalam buku ini diawali dari kilas balik seorang Gertruida van Veen tentang diri dan keluarganya. Terutama bapaknya seorang Filolog Semit yang mengajar di Fakultas Theologi Utrecht. Seorang bapak yang terlebih dahulu menjadi pastor (anabaptis) sebelum menjadi profesor. Seorang pastor yang buat Geertje lebih banyak membingungkan daripada menerangkan. Kisah Geertje berjalin dengan Rob Verschoor, seorang pelukis jalanan, membuatnya mengalami kisah sepanjang halaman buku Paris van Java; Darah, Keringat, Airmata. Kisah cinta Rob-Geertje dalam buku setebal 595 halaman ini membawa kita kembali ke Bandung 80 tahunan lalu. Keduanya lebih memilih melarikan diri dari belanda karena alasan ...rada lupa hehehe Bandung kala itu merupakan era liberalisasi perkebunan. Dengan membanjirnya pembukaan perkebunan maka juga meningkatnya perputaran uang yang artinya roda ekonomi. Di masa itulah juga terjadi, pariwisata yang identik dengan seks. Di sinilah kisah cinta kedua tokoh itu berjalin dengan berbagai tokoh. Mereka yang mendukung pragmatisme dalam pariwisata dan juga mereka yang mencoba menempatkan pariwisata sebagaimana mestinya. Kisah ini berjalin dengan intrik-intrik yang berupaya memisahkan mereka dan menjerat keduanya dalam gelombang kisah besar Bandung di episode abad itu. Selayaknya telenovela, kisah ini penuh jatuh bangun keduanya. Disertai kisah kelicikan dan juga ketulusan orang di sekeliling mereka yang meramaikan cerita. Saya sendiri cukup kagum dengan Remi Silado dengan gambarannya tentang Bandung kala itu. Bagaimana Jalan Aceh di Bandung, dan tempat plesiran di Lembang yang memang sudah ada di jaman itu. Gambaran taman Tegalega tempat para tuan kebun dan para “istri” menampilkan kemegahan dan borjuasi sosial. Jalinan kisah ini pun ditambah gambaran tentang kota lain seperti Batavia, Yogya, dan semarang. Selain itu banyak ungkapan bijak dalam bahasa Belanda yang banyak muncul di tiap akhir bab dalam buku ini. Salah satunya adalah "Het hart des verstandingen bekomt wetenschap, en het oor der wijzen zoekt wetenschap - Hati yang berpengertian menggalang pengetahuan, telinga yang bijak menagih pengetahuan." Enjoy reading!
Saya ingat sudah baca buku ini sewaktu kuliah, pinjam dari perpustakaan pusat kampus. Namun sepertinya waktu itu saya belum mengerti, sehingga kesan yang teringat dari buku ini hanyalah sudut pandang orang pertama mahatahu yang buat saya terasa aneh. Belasan tahun kemudian, yaitu baru-baru ini, ketika membaca ulang di Ipusnas, saya mendapati bahwa novel ini ternyata sangat mengesankan. Kesan yang mengemuka pertama-tama adalah soal diksi, referensi, serta latar sejarah.
Novel ini dituturkan dalam gaya bahasa yang unik, kadang mudah dipahami kadang juga terasa ribet dengan diksi yang tak lazim juga ungkapan yang tak langsung tertangkap maksudnya. Sudah begitu terselip pemikiran-pemikiran soal penggunaan bahasa, kata yang tepat untuk menggambarkan sesuatu dalam bahasa tertentu; sehingga timbul dugaan bahwa penulis adalah seorang ahli bahasa yang mampu berpikir dalam berbagai bahasa. Tiap bab pun diakhiri dengan pepatah dalam bahasa asing, kebanyakan Belanda ada juga Italia. Namun bukan cuma bahasa-bahasa Eropa yang diambilnya, melainkan juga bahasa Arab dan bahasa daerah terutama Sunda yang memang sesuai dengan latar cerita.
Adakalanya narasi terasa bertele-tele, yaitu ketika menggambarkan percintaan sekalipun tanpa adegan XXX yang Xplisit--bebas tapi santun--yang saya maksud ada di bab 4, "Suatu Keindahan". Juga bab 9, "Ketegangan", rasanya bagai monolog panjang tokoh wanita dalam film lawas yang diparodikan di YouTube (yang saya maksud yaitu video Joel Haver, "How women in old movies talk to some dude they just met", yang sudah 7,4 juta kali ditonton pada waktu saya membuat catatan ini). Ada pula perulangan, yang saya maksud di bab 26, "Terkuak Rahasia Itu", mengenai cara tokoh antagonis menggaet pelacur untuk rumah prostitusinya.
Referensinya yang kaya sekali itu terutama soal kepercayaan dan kebatinan (mulai dari Kristiani sampai mistik Jawa Islam) dan budaya Barat (musik, lukisan, dan sebagainya, termasuk perwatakan khas orang Belanda dibandingkan dengan suku-suku Pulau Jawa).
Wawasan sejarahnya, khususnya bagi penduduk Parijs van Java era kiwari, bisa jadi bahan napak tilas. Mulai bab 18, "Isi Lagi", disebutkan nama-nama jalan dan tempat di Kota Bandung yang saya kenali tetapi tak terbayang dahulu seperti apa. Bukan cuma Bandung sebetulnya, melainkan juga Utrecht, Jogja, dan Semarang adalah tempat-tempat lainnya yang dieksplorasi dalam cerita ini. Maka novel ini menjadi contoh karya fiksi yang kuat dari segi latar ruang dan waktu.
Jalan ceritanya pun bisa dibilang seru sekali, bahkan kemudian saya tersadar bahwa ini hampir-hampir mirip telenovela. Kesadaran itu muncul setelah mendapati bahwa tokoh antagonis dalam cerita ini jahatnya pol bikin geregetan, tidak ada sisi baiknya sama sekali. Begitu pula dengan tokoh-tokoh pendukung lain, kalau baik ya baik banget. Unsur-unsur telenovela lain yang saya temukan dalam cerita ini: orang tua tiri yang jahat, hamil dulu baru menikah, bayi diculik, suster Katolik, bangunan terbakar, tokoh utama luntang-lantung di jalan seperti orang gila (referensi: seri Telenovelas Are Hell di kanal Funny Or Die, YouTube). Sudah begitu, ada adegan-adegan aksinya pula.
Jalan cerita rasa telenovela ini bukan berarti membuatnya mudah ditebak. Penulis gemar menyelipkan foreshadowing, memberikan petunjuk bahwa naga-naganya akan begini atau begitu tapi ditunda dulu. Malah saya sempat menduga bahwa nantinya si tokoh utama bakal jadi penghuni rumah prostitusi De Druif, tetapi lalu diselamatkan oleh kenalannya, orang Islam Jawa yang berinisial AbA, kemudian keduanya menikah, sedangkan suaminya sendiri sudah meninggal di tengah cerita. Namun tebakan saya salah. Di akhir semua bersatu dan cenderung happy ending, atau sedikitnya berpengharapan.
Selain itu, walau karakterisasinya sepintas terkesan hitam-putih, sebetulnya tidak juga. Khusus untuk tokoh utama, seorang perempuan muda kelahiran Amerika Serikat yang kemudian pindah ke Belanda, saya merasa penulis dapat membawakan kejiwaan karakternya ini dengan baik. Kekuatan karakter ini saya sadari mulai bab 12, "Mengentakkan Kaki", ketika si tokoh utama terus-menerus berprasangka buruk dan mencela kenaifan suaminya. Lucunya, sudah tahu kekasihnya begitu, kok dia mau-maunya ikut merantau sampai jauh sekali ke Hindia Belanda. Bisa dimaklumi, karena toh si tokoh bisa dibilang masih remaja sehingga mudah terbawa perasaan (cerita bermula ketika ia baru berusia 16 tahun). Kemudian ada pula adegan-adegan mendalam, ketika si tokoh merenungkan untuk bunuh diri akibat situasi hidupnya yang sulit. Jadi, walaupun tokoh-tokoh pendukung pada terbatas dimensi wataknya, tokoh utama sendiri mendapat porsi pengembangan karakter yang kompleks. Ia juga sama sekali bukan malaikat yang tak pernah berbuat dosa.
Di hatinya ada ruang khusus untuk perasaan yang biasa bagi orang berdagang, yaitu untung di atas kerugian orang lain. (halaman 248)
Lengkaplah novel ini, bukan cuma dari segi pemikiran melainkan juga penghiburan.
Novel ini dibahas dalam diskusi mingguan Klub Buku Laswi (Instagram: @klubbukulaswi), pada 16 November 2023. Pesertanya cukup ramai. Rupanya bukan cuma saya yang dibikin penasaran untuk membaca lebih banyak karya Remy Sylado, melainkan beberapa peserta lain juga menyatakan ketertarikannya. Salah seorang penggemar berat Remy Sylado menyarankan agar memulai dari Ca Bau Kan dan mengakhirkan seri Perempuan Bernama Arjuna yang menurutnya menjelimet sehingga bisa-bisa bikin pembaca pemula kapok. Sosok penulis sendiri yang multitalenta (ada yang menyebutnya dengan istilah "vincinian", merujuk pada seniman serbabisa Leonardo da Vinci) menjadi poin menarik untuk dibincangkan. Timbul juga wacana untuk mengadakan walking tour dan buku ini hanya satu dari beberapa buku lain yang bisa dijadikan referensi, di antaranya yaitu: Ateis, Rasia Bandoeng, dan Selamat Tinggal Hindia: Janjinya Pedagang Telur.
Sepertinya masih ada hal-hal lainnya yang bisa diulas dari novel ini misalnya satire mengenai pemuka agama yang jahat, paham pluralisme, sampai arti dari Amerika (Serikat) yang menjadi tempat asal dan kembalinya si tokoh utama.
Buku yang banyak napak tilasnya ttg lokasi tempat di sekitar Bandung dan Semarang. Saya jadi bisa membayangkan kalo ada acara jalan2 semacam heritage walk dengan melintasi lokasi yang disebutkan dalam buku ini.
Buku yang menarik, walau sebagian besar tokohnya sudah hitam dan putih sejak awal. Sayang, saya tidak melihat ada latar belakang kepribadian yang kuat bagi tokoh2 utama.
Buku berbahasa Indonesia yang membuat saya beberapa kali tersendat menjumpai kata nan jarang atau belum pernah tersua. Menarik dan jadi semacam teka teki, yang beberapa tak terjawab hingga akhir buku, dan langsung terlupakan sejak buku tertutup tanda selesai dibaca.
Menurutku, yang menarik dari buku ini adalah permainan bahasa dari penulisnya... Seperti mengalir begitu saja.. Memperkaya kosakata...
Tapi yang sedikit "membosankan" adalah ungkapan2 bahasa Belanda yang dulang-ulang. Meski begitu, sepertinya pengulangan tersebut tetap di atur dengan sedikit membedakan pemakaian bahasanya.
Di medsos, saya sering koar-koar kalau saya fans Remy Sylado. Beberapa bukunya udah saya baca dan mostly suka banget, tinggal beberapa lagi yang masih berada di daftar antrean. Kalau ditanya kenapa saya suka buku-bukunya om Remy? kayaknya karena alasan ini.
Pertama, kaya kata. Beliau itu kaya banget stok katanya. Dan, penempatan katanya menurut saya tepat. Nggak bikin njelimet kalau dibaca. Beberapa penulis, juga ada yang stok katanya kaya, cuma kadang pemakaiannya serasa dijejalkan. Alih-alih menikmati, sering mikir pas baca, "ini dia mau ngomong apa sih sebetulnya?"
Kedua, risetnya mendalam. Seperti di Parisj van Java ini, beberapa fakta sejarah dunia (terutama di Belanda) dan tentu saja kehidupan orang-orang Belanda di Indonesia (terutama Jogja dan Bandung), diceritakan dengan sangat baik.
Ketiga, jago memintal benang merah. Namanya juga cerita fiksi, beberapa bahkan ada yang temanya thriller. Beberapa peristiwa sejarah ketika digoogling ternyata beneran ada dan ketika diramu sedemikian rupa, pada akhirnya jadi satu cerita yang padu.
Keempat, om Remy Sylado ini seorang poliglot. Sejauh ini saya sudah baca bukunya yang banyak dijejali bahasa asing, seperti Cina di buku Ca Bau Kan, Jepang di buku Kembang Jepun, Perancis di buku Boulevard de Chlichy dan Belanda di buku ini.
Kelima, ya ceritanya bagus. Walaupun garis besarnya kisah romansa yang tragis, tapi novelnya nggak dibikin menye-menye.
* * *
Kelima komponen itu selalu saya temukan di semua novelnya. Di Parijs van Java yang berkisah tentang kehidupan Rob, seorang pelukis dari kota Utrech, Belanda yang kisah cintanya ditentang oleh ayah dari kekasihnya -Gerturida yang singkat cerita membuat keduanya merantau dan pindah ke Indonesia dengan harapan penghidupan yang lebih baik.
Siapa sangka, begitu tiba di Bandung, Rob dihadapi dengan berbagai macam siasat jahat. Ia dituduh membunuh sehingga harus dipenjara dan istrinya harus berjuang lepas dari cengkraman Van der Wijck, pengusaha sekaligus pemilik rumah prostitusi terbesar yang ada di kawasan Lembang saat itu.
Suka duka kehidupan keduanya ditampilkan secara apik di novel ini. Suka banget!
Sebuah cerita cinta kolonial yang benar-benar berliku. Sebuah pandangan yang bisa mematahkan beberapa stereotip rasialisme. Dengan latar waktu yang tak pernah saya bayangkan, novel ini benar-benar penuh dengan darah, keringat, dan air mata. Cocok untuk kalian yang sedang mencari dunia kolonial di tahun 1920 dengan sudut pandang orang Belanda. Beberapa peperangan ideologi dan adab terus bertalu. Novel ini berhasil membuat saya kalut dan penasaran dengan apa yang akan dilakukan setiap tokohnya. Tak tertebak dan benar-benar mendengarkan.
Bagus banget cara penyampaian yang begitu lancar dan cerdas. Saya seperti terbawa-bawa bernostalgia ke jaman Belanda dan Remy sangat memerhatikan setiap detail setting penempatan lokasi, misalnya nama sebuah bangunan atau jalan jaman Belanda. Remi pastinya sudah riset sejarah untuk setiap penulisannya. Makanya sembari membaca novel ini kita juga menikmati sejarah masa silam.
Jadi tahu banyak tentang kehidupan kolonial dari sudut pandang orang Belanda yang justru tidak tahu banyak tentang kehidupan kolonial di Hindia Belanda
Kalau memang mau buku dengan cerita dan gaya bahasa bagus memang mending baca karya-karya sastra, meskipun, yah, kalau terlalu banyak melahap sastra Indonesia pattern-nya mirip, siklusnya itu-itu aja. Kelebihannya buku ini: banyak kosa kata baru & menyisipkan quote-quote yang "manis" dalam bahasa Belanda. Untuk pembaca sastra kudu siap dengan alur yang panjang, kalau mau pendek dan nikmat ya baca cerpen, meskipun itu pun kembali ke cara mengeksekusi ceritanya.
Tipikal romance, nuasanya perjuangan, membawa pesan yang sangat "wanita" dengan sudut pandang Belanda. Dan yang paling penting: sejarah "Paris van Java" sendiri atau "Stad van Bloemen" Kota Kembang asal muasalnya dari mana dan konotasinya apa kita jadi tahu dengan baca buku ini. Gimana Belanda jualan Hindia-Belanda dll juga diulas kalau jeli.
Remy Sylado pun mendeskripsikan tempat-tempat dari di Belanda sampai kota-kota seperti Bandung, Jogja, Semarang, dengan detil, jadi menyenangkan.
Yang agak aneh kosa kata yang dipakai sih karena nggak umum, cantik sih emang tapi janggal karena sudut pandangnya pakai tokoh yang sangat tidak pribumi.
Well, review lengkap seperti biasa, menyusul di wordpress.
Buku ini cukup bagus dengan menceritakan perjuangan seorang wanita Belanda (bukan asli keturunan Belanda) yg berawal dari kisah cinta masa sekolahnya yang hingga akhirnya akan menjadikannya sebagai cinta sejatinya. Di buku ini Getruida digambarkan menjadi sosok yang kuat menghadapi segala cobaan hidupnya di negeri orang. Dengan mengambil setting di Bandung sekitar zaman penjajahan Belanda, menjadikan buku ini mencantumkan beberapa sejarah di masa ini. Kelebihannya yang lain, di setiap akhir bab kita akan disuguhkan kata-kata mutiara dalam bahasa Belanda yang merupakan hikmah yg diambil dari bab tersebut.
Akhir buku mungkin akan membuat pembaca memberikan standing applaus untuk Gerry. Perempuan yang memperjuangkan hidupnya dengan segala usaha. Terpuruk, bangkit, terjebak lagi, jatuh bangun. Daya tarik lainnya adalah; Buat yang tahu seluk beluk kota Bandung, alur ceritanya lengkap dengan nama-nama jalan yang dilalui tokoh-tokohnya dan nama tempat atau jalan itu sekarang. Sehingga mungkin bisa membayangkan sambil berfantasi bagaimana kehidupan masa lalu. Dan oh ya! saya mendapat perspektif baru tentang kehidupan orang-orang Belanda di Indonesia pada jaman itu. Jangan-jangan mental korupsi, kebiasaan nyogok dll yg gak baik itu ditularkan dari negeri sono ya?
Hem...good book... alurnya sangat jelas dan ga keliatan bertele2.. hubungan antar karakter pun digambarkan dengan sangat jelas. ada sedikit unsur dramatisir, tapi itu tidak mengurangi keasyikan membacanya. tapi...gw ngrasa ada yg kurang sedikit dari novel ini..entahlah, jiwanya sih dapet, tapi mungkin karena terlalu lugas, kurang menggambarkan karakter Remy Sylado sebagai seorang novelis handal. atau memang kata2nya memang sengaja dibuat sederhana, gw jg ga tau... but anyway, buku ini cukup ok lah...
Ini adalah salah satu buku Indonesia yang ga bisa diletakkan kalo belom selesai! Meski jumlah halamannya banyak (hampir 600) tapi sama sekali ga kerasa karena jalan ceritanya yang seru dan piawainya Mbah Remy mengatur alur supaya pembaca penasaraaan terus.
Dengan tokoh utama seorang perempuan berdarah Belanda-Amerika, kita akan melihat borok dan baiknya orang Indonesia juga orang Belanda yang sudah terlanjur memiliki borok VOC.
Ini adalah karya Remy Sylado yang pertama aku baca hasil hunting dari di JACC ex. Kwitang. Harus sering lihat KBBI untuk banyak kosakata indonesia yang terasa asing. Plus kayaknya Remy ini orang jawa ya? kalimatnya seringkali juga menggunakan istilah-istilah jawa yang saya tidak yakin semua orang paham maksudnya
I was amazed with the setting of the stories. The author's knowledge about the history of Semarang was unbelievable. The story ran slow at the beginning. Even, it was rather boring. Yet, it went more and more interesting as I finished the chapters. I also learned some Indonesian words which were no longer be used in daily communication.
Buku ini.. Amazing bangetzzzz... Jempol dah pokoknya buat Remy Sylado...
Pasrah, berserah, berdoa.. Pantang menyerah... Adalah hal-hal yang mungkin sudah mulai aku lupakan.. Halaman2 terakhir buku tebal ini membuat semangatmu hidup semakin cerah.. Cerita yang mengharukan.. Cerita yang berat.. Menyelami sampai sesak... Terima kasih buat sajiannya...
novel yang menguras air mata... memberikan sebuah pemahan baru tentang masa penjajahan. tidak harus berasal dari asia untuk memhami tentang adat ketimuran.
tapi butuh waktu lama sekali untuk menyelesaikan buku ini. bahasa tingkat tinggi. yang paling mengesankan adalah sisipan bahasa belanda yang ternyata juga mudah dimengerti
waww...perasaan udah kasih comment..tapi biar deh... keren dan asik buat dibaca...apalagi yang udah tau bandung...yang cinta bandung... kita dibawa ke dunia bandung di era 80 an... ceritanya juga asik banget.. benar-benar penuh darah, keringat dan air mata baca deh buat yang belum baca..
Kisah yang dibagi menjadi banyak BAB (lebih dari 50 BAB) dan penyertaan kata mutiara/pepatah/peribahasa di setiap akhir bab membuat kisah ini menjadi tidak membosankan. Bisa ditebak akhir ceritanya....Happy ending.
Mengasyikkan! Itu satu kata yang rasanya paling tepat saat membaca buku ini. Meskipun tebal, tapi nggak kerasa karena alurnya rapat. Meski nggak paham jalan-jalan di Bandung, asyik juga membayangkan bandung jaman dulu yang jam 9 pagi masih turun kabut.
Cukup bagus. Tapi sebagai pembaca karya2 remy silado aku lebih menikmati ca bau kan karena karakter tokoh utama prianya lebih kuat. Dan rasanya agak sulit buat relate ke tokoh utama yang bukan orang Asia.
Awalnya agak ngebosenin tp makin lama makin menarik. Banyak menggunakan diksi melayu yg udh jarang dipakai atau didenger. Tp agak ga konsisten krn banyak memakai bhs gaul jg. Deskripsi kota Bandung, Jogjakarta , Semarang di jaman itu sungguh detil. Bisa ikut ngebayangin suasana di masa tsb.