"Bagi banyak orang, berdebat dengan orang goblok itu mengesalkan. Kadang saya juga merasa begitu. Sebab otak mereka seringkali di bawah rata-rata, dan niat berdebatnya bukan untuk mencari kebenaran.
Kalau menghadapi orang seperti itu, begitu dibantah pasti berbelok ke arah lain. Karena sejak awal, tidak ada niat yang beres di otaknya. Tapi apa pun itu, berdebat dengan orang goblok, apalagi yang menggebu, tak usah diambil pusing. Dibikin gampang saja. Lebih dari itu, harus bisa mendapatkan hiburan dari sana. Plus bonus. Misalnya, paling tidak, jadi tulisan ini." ~Puthut EA
*** Berisi esai-esai Puthut EA yang berbicara tentang banyak hal: ketimpangan antara desa dan kota, sikap fasistik intelektual zaman now, Gibran Rakabuming, bisnis pocong di era digital, Rocky Gerung, Ahmad Dhani, Agus Mulyadi dan PKS, dan banyak hal lagi tema-tema yang cukup menggelitik tapi cukup menarik untuk dibicarakan.
Membaca buku ini rasanya disadarkan beberapa hal yang mungkin sering lewat di kehidupan kita tapi terlewat. Dengan penyampaian yang asik tapi serius tapi juga bercanda membuat saya yang membaca bisa memahami segala persoalan dari berbagai macam sisi.
Beberapa kritik disampaikan secara apik, asik juga menampar. Cocok untuk menyadarkan realita-realita yang terkadang kita ga pahami. Isinya bagus, kritis dan unik. Ringan tapi berisi. Suka!
First time baca buku kang puthut udah membuat gue terkesan dan kaget sama pemikiran-pemikiran yang dituangkan di setiap kalimatnya. Sentilan yang Tajam tetapi halus membuat gue ngebatin "Woah ini yang gue butuh woehhh". Selalu gak sabar dan pengen cepet-cepet baca halaman selanjutnya. Kata yang frontal tapi ngena jadi ciri khas kang puthut sih. Ada beberapa essay yang menurut gue ngebosenin, tapi its oke udah ketutup sama kejeniusan dan keluwesan tulisannya. kerenn batt sii paraah !!
Pas sekali ketika sampai pada bab pemantik dalam kumpulan essay om @puthutea ini, beberapa jam sebelumnya saya juga belajar dengan ustadz saya soal debat. .
Debat ini kan semestinya tujuannya untuk mencari kebenaran, bukan untuk menunjukkan kemampuan masing-masing untuk memenangkan argumen. Tidak ada pihak menang atau kalah. Ulama terdahulu ketika berdebat selalu berdoa agar Allah menunjukkan kebenaran dari lawan debatnya. Sebab jika kebenaran tidak terungkap, debat hanya akan mengotori hati. . .
Namun kita dihadapkan pada era sarjana google yang outputnya ditunjukkan saat mereka berargumen di media sosial. Semakin menggebu mereka mendebat, semakin tampak kedangkalan berpikirnya. Padahal yang namanya berguru itu ya face to face. Jadi ketika berguru kita tahu bahwa guru kita punya ilmunya, punya sanad yang jelas dan harus bisa dipertanggungjawabkan keilmuannya. .
Berbeda jika kita berguru pada ulama googliyah, ya akan lain lagi output yang dihasilkan. Kata om puthut, berdebat dengan orang goblok apalagi yang menggebu, tidak usah diambil pusing. Dibikin gampang saja. Lebih dari itu, harus bisa mendapatkan hiburan dari sana. Plus bonus. Misalnya, paling tidak jadi tulisan seperti yang om puthut buat. Saya salin percakapan epic dari buku ini, . "Cah bosok kok mbok urusi, Mas...eman-eman energimu." . . "Iki aku pas sela kok Dik. Sesekali nyedekahi fakir pikir kan gak apa-apa. Siapa tahu itu juga bentuk sedekah. Sambil sesekali mencoba merenung dan mensyukuri hidup ini. Bersyukur karena tidak goblok seperti dia. Sudah goblok, ngeyelan, tapi masih pede bisa cari makan dari kegoblokannya." . .
Savage bener yah komentar om puthut ini. Wkwk~ Lalu saya bersyukur sudah pernah mengalami fase itu lalu beranjak dari jamaah Googliyah menuju jamaah fikriyah, dengan menutup segala pintu perdebatan yang mengotori hati. Salah satu jalannya, ngeblokir orang-orang yang timelinenya selalu memancing perdebatan. Selain hati menjadi tenang, timeline saya juga bersih dari panasnya otak rasa udang. . 🏅4/5 Penerbit : Shira Media, 236hlm, cetakan pertama Oktober 2018. . . Review lengkap klik link di bio saya ya ❤️ . #gerakanoneweekonebook #30haribercerita #30hbc1920 #30HBC19
Judulnya provokatif sekali, membuat saya yang sok pintar berkeyakinan saya pasti sepakat dengan isi buku. Nyatanya, judul pada buku mencatut dari judul salah satu esai yang terdapat di dalamnya.
Membaca keseluruhan buku serasa membaca blog milik Mas Puthut. Beliau berbagi cerita pengalaman dan sudut pandang mengenai isu yang akrab dengannya. Misalnya saja pandangannya tentang rokok, politik, dan sepakbola. Ada juga cerita saat ia dan tim Mojok melakukan wawancara untuk kepentingan media. Namanya saja opini, tentu pembaca tidak mesti setuju dengan penulis. Beberapa tulisan memang kontra dengan yang saya amini.
Semua esai ditulis dengan gaya penulisan artikel khas Mojok. Ringan dan penuh candaan. Kadang candaannya terlalu "internal" antar sesama kru Mojok. Topik berat seperti politik pun dibuat ringan. Hanya saja memang saya kurang suka dengan topik tersebut, jadi membacanya kurang nikmat.
Buku ini walau halamannya banyak, bisa dihabiskan dalam waktu singkat. Tetapi saya menyicilnya untuk bacaan di malam hari sebelum tidur atau pagi mengawali aktivitas harian. Sebabnya, membaca kumpulan esai Mas Puthut tidak akan bikin alis berkerut.
Kumpulan esai pertama yang saya baca. Karena ini pertama, maka tentu saya tidak sembarang pilih. Perlu ada jaminan bahwa tulisannya menyenangkan untuk dibaca, tidak terlalu njlimet, namun berhasil memberikan pandangan baru.
Pertama saya baca Mojok, saya langsung suka. Bahasannya penting tapi bahasanya membumi. Kumpulan esai ini pun begitu. Kepala Suku Mojok berhasil membuat esai yang 'ngena' sekali, seperti esai "Jahatkah Kaum Berjenggot, Bercelana Cingkrang, dan Berjidat Hitam?", "Gerakan Kiri Kekimcil-kimcilan", dan "Praktik Politik Orang Biasa".
Jadi tertarik untuk lebih banyak baca kumpulan esai tahun ini, terlebih ciptaan kru Mojok.
Isinya cerita pendek yang bahasnya macem-macem; ada analisis pilpres, tokoh politik, rokok, percintaan, sosial, hingga bisnis pocong😅 Bahasanya enak, perspektifnya ga terduga. Kadang yang pembahasannya tema berat, tpi karena dibawakan dengan bahasa yang enak dan sederhana, jadi enggak berat2 banget, istilahnya bisa dikonsumsi orang awam hihi. Cocok bgt dibaca buat selingan😆
Kumpulan esay dari bos mojok.co Awalnya tertarik dengan judul yang sangat nyentrik di sudut buku-buku sosial. Banyak esay yang dibalut bahasa yang ringan tapi tetap padat dan sarat pengalaman untuk dijadikan pelajaran ataupun kekehan tawa pengisi sruputan kopi/teh bersama gedang goreng.
Berisi 57 esai yang ditulis Puthut EA. Di sini, tema yang dibicarakan mulai dari sepak bola yang ia dukung, rokok, politik menjelang Pemilu 2019, sampai kehidupan sehari-harinya sebagai Kepala Suku Mojok.co. Selain itu, gaya tulisannya pun sederhana sehingga mudah dimengerti.
Buku yang saya baca di Gramedia dalam sekali duduk. Bacaannya ringan dan mudah dimengerti, banyak humor dalam penyampaiannya namun sangat mudah dipahami dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
enggak bisa ngasih rating karena isi buku ini adalah esai-esai/kumpulan artikel yang ditulis pak puthut. rasanya aneh aja kalau diberi bintang. (review lengkap nanti)
Puthut menulis dengan ringan dan renyah. ini pertama kali membaca esainya yang polanya mirip dengan esainya Seno Gumira Ajidarma. menurut saya, saya lebih menikmati karya Puthut yang novel atau prosa. untuk esai seperti ini, saya lebih suka baca milik SGA. namun, tentu saja saya tetap menikmatinya walau sedikit membosankan
Sangat direkomendasikan untuk temen-temen yang baru mau mulai baca esai karena ini nggak terlalu berat. Bahasanya cukup ringan, tapi pembahasannya sangat menarik.
Menurutku, buku ini cukup ringan. Materinya mudah dicerna, lumayan dekat dengan keseharian. Sayang, perspektif laki-laki-nya agak ... menyebalkan sekali. Tentu, sudut pandang penulis yang berlapis cukup menyenangkan untuk dikulik. Tapi mayoritas esai-nya bercecer, kurang kohesif dan ditulis sekadarnya. Mirisnya, beberapa bab bertemakan politik masih kita alami di 2025.
Aku nggak pernah kasih bintang untuk buku nonfiksi. Jika harus memilih empat tulisan yang—mendingan (for lack of better words)—aku menobatkan Ketika Kota Makin Kaya, Desa Makin Miskin; Bisnis Pocong di Era Digital; Kolektif Pembaca dan Masa Depan Media Kita; dan Drama Gerindra dan Uang Mahar dalam Politik Kita.