“ĐA SỐ NHỮNG CÂU TRẢ LỜI HAY NHẤT LẠI XUẤT HIỆN DƯỚI DẠNG CÂU HỎI”
Ai đó? Một miếng thịt đang thở. Vì sao? Chỉ vài miếng thịt đang thở đủ may mắn để hiểu được mục đích tồn tại của chúng. Số còn lại chẳng biết tại sao chúng tồn tại trên đời. Miếng thịt hiểu mục đích tồn tại và miếng thịt không hiểu mục đích tồn tại đều phải trải qua những nỗi đau như nhau, sự bất an, trái tim tan vỡ, nhưng cách nhìn nhận vạn vật lại khác nhau. Ở đâu? Dưới bầu trời. Trên mặt đất. Giữa trời và biển. Trong vòn tay những kẻ đối xử tệ hại với bạn. Cái gì? Có điều bạn biết và có điều bạn không biết. Nếu bạn may mắn, bạn sẽ tìm ra câu trả lời, nhưng rồi lại có những câu hỏi khác xuất hiện ngay thôi. Khi nào? Không phải hôm nay.
“Những câu hỏi vô hình” là cuốn sách thứ hai của Lala Bohang sau “Những cảm xúc bị cấm đoán”. “Những câu hỏi vô hình” không phải tiểu thuyết mà là một cuốn tản văn chứa toàn những câu hỏi và câu trả lời. Theo một cách rất riêng, Lala Bohang đã thể hiện nó như một cuốn sách đầy rung cảm nghệ thuật và triết học thông qua ngôn từ chau chuốt và hình vẽ minh họa độc đáo. Những câu hỏi trong cuốn sách là những câu hỏi chúng ta vẫn thường tự hỏi mình nhưng không dám hỏi người khác. Ngoài những câu hỏi nhạy cảm, Lala Bohang còn đề cập đến những điều cấm kỵ chúng ta vẫn thường giữ bên mình. Thật khó để có thể miêu tả chính xác về cuốn sách này, chỉ đơn giản là “Tuyệt vời!” Cuốn sách phù hợp với tất cả mọi người và mỗi trang sách như một mũi tên khẽ chạm nhẹ vào trái tim bạn vậy.
Lala Bohang lahir di Makassar dan merupakan lulusan jurusan Arsitektur Universitas Parahyangan yang bekerja sebagai perupa, penulis, dan kurator untuk label buku Pear Press. Sejak tahun 2009 ia telah berpartisipasi pada beberapa pameran kelompok di dalam dan luar negeri. Tahun 2016 Lala mulai mempublikasikan buku trilogi berjudul The Book of Forbidden Feelings (2016), The Book of Invisible Questions (2017), dan The Book of Imaginary Beliefs (2019).
Lala Bohang terasa lebih 'bebas' di sini, masih tetap bikin baper sangat tapi terasa konten yang diangkat lebih personal dan kompleks. Sepertinya tidak ada yang saya tidak suka dari keseluruhan buku ini.
Pizza, kentang dan nasi goreng merah plus yakult memang tidak pernah salah. Terima kasih, Lala. Anda membuat saya merasa bahwa di tengah kegalauan yang menghempas, keraguan yang senantiasa membayangi, saya tidak sendirian. Dan masih banyak cara menyenangkan diri sendiri, terima kasih telah mengingatkan kembali bahwa kita semua cukup berarti. Kudos! Saya sangat menantikan buku selanjutnya 😍😍😍
Hhmm... Antara 1 atau 1,5 bintang sih. Tp buletin ke atas aja lah dulu.
Berawal dr iseng krn lihat buku ini beredar di Goodreads. Lalu iseng ke iPusnas dan iseng ngetik nama pengarangnya. Eh, nongol. Ya udah, iseng aja baca. Mayan buat nambahin buku di reading challenge...
Banyak momen, "Keknya gak gitu dah?", "Ih, masa sih?", "Sok tau, ah!" "Ye, capede.." yg gw dapetin selama baca buku ini. Mungkin karena yang nulis dan baca sama-sama skeptis kali, yes...
Ada banyak pernyataan atau apalah itu yang dia tulis yang bawaannya pengen gw bantah aja. Misalnya di bawah ini yg gw liat sering dikutip sama anak-anak gutrits.
Name an experience that is experienced by every human being
"I got fake people showing fake love to me."
Kalo itu pengalaman yg dirasain sm seluruh manusia, berarti yey, eke, dan seluruh umat manusia juga pernah jadi orang palsu yang ngasih cinta palsu ke orang, dong? Ye, kan...?
Kadang baca hal-hal yg di dalem sini bikin pengen nanya, sih... "Who hurt you, babe?" Keknya hidup suram amat. Mirip kayak gw jaman dulu yang suka melow lebay dan berpikir orang-orang pada berkonspirasi buat bikin gw menderita. Alhamdulillah skrg udah gak sebegitunya dan dalam banyak hal lebih positif meski jadi lebih realistis dalam lihat banyak hal.
Oh, iya gw sebel bat waktu lagi asyik-asyik baca dan ngira tulisannya oke, eh tau-taunya isinya galau-galauan soal percintaan lagi. Kayaknya separo isinya galau soal itu dah. Karena abis baca satu atau dua yg gak soal itu, eh abis itu arahnya ke sono mulu. Gw jadi merasa tertipu. Haha...
Jadi, invisible questions-nya apaan dah? Keknya gw masih gagal paham.
Oh iye, ngeliat bahasanya yang sopistikeitid keknya buku ini emang bukan buat hajat hidup orang banyak, ye...
Udah, segitu aja. Ngapa dah bahasa gw jd rada betawi-betawi gini? 😥
Saya lebih suka buku kedua ini ketimbang yang pertama. Lebih banyak cerita cerita panjang ketimbang hanya beberapa baris kata yang ternyata cuma satu kalimat saja.
Lala Bohang The Book of Invisible Questions Gramedia Pustaka Utama 152 pages 5.9
Slightly meatier than its predecessor, Lala Bohang's The Book of Invisible Questions gives much more substance, though the experiences are still mundane and not relatable enough for some demographic. The best part of the book, though, is the first page, but turns out that is out of a movie script.
this book feels like my bestfriend who has known me for a very long time and understand what's inside my mind. i could've finished this book in one day but the part about father and childhood left me in speechless last night that i wasn't able to continue to read it until just now. this book for me is a mixed between a poem, a short story, and a diary. love!
Ini adalah sebuah buku yang aku comot secara random di iPusnas. Setelah aku buka, aku terkaget-kaget. Karena jujur, ini bukan buku zona nyamanku. Dia berisi puisi dan cerita-cerita super duper pendek. Dan satu lagi: dia berbahasa Inggris.
Ealah-alaaaaah, yang modelan kayak gini dan berbahasa Indonesia aja aku gak pernah baca. Lha kok ini bahasa Inggris..
Siyal. 😂
Tapi sudah terlanjur download, kan. Jadi lanjut baca aja🙈. Ngomong-ngomong, ternyata bahasa Inggris yang digunakan dalam buku ini masih tergolong mudah dicerna untukku yang kemampuan bahasa Inggrisnya masih di tingkatan beginner.
Seperti yang udah aku sebutkan sebelumnya, buku ini berisi tentang puisi dan cerita-cerita pendek. Topiknya? Tentang pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala tapi jarang diungkapkan. Secara umum dia berisi tentang kehidupan, tapi beberapa di antaranya sih tentang cinta. Tapi bisa dimaklumi. Soalnya cinta memang salah satu hal yang rumit yang pasti terjadi di kehidupan setiap umat manusia. Wkwkwk.
Isi dari buku ini tentu aja berasal dari penulisnya. Itu berarti ada beberapa hal yang cocok dengan pikiranku, dan ada pula yang nggak. Bukan masalah besar. Toh cara setiap orang memandang sesuatu kan gak selalu sama antara satu dengan yang lainnya.
Buku Lala Bohang yang ini lebih relate sama kehidupan orang di umur 20-an. Masalah merasa harus "fit in" sama temen-temen yang gak cocok, harus punya barang branded, harus punya karir cemerlang, dan semua peer pressure lainnya. Tulisannya lebih bagus daripada seri pertama yang Forbidden Feeling.
-- I read this book in English. You can access it in Gramedia Digital apps.
Being in your 20s is hard. Some of your friends are married, some of them are sucessful in career, and sometimes you feel of missing out on every trend evolve around us.
For you who cannot describe your feeling well, or maybe want to have contemplation time, I recommend you to read this book. The illustration is superb.
3,8 stars actually.. This Book full of all Lala Bohang's questions of her live...her love live, her relationship with family, and her self
When I was read this... the thought of "why she is care so much about those things which is made her feel sad or struggle or down?" Why she can't just laugh on them and let them disappeared like nothing happened?"
But I also thought..this Book is a result of her journey to make a deal with all of those things...it's her process of life to make her stand until now...
Second book of Lala Bohang that I read! Always love the illustrations🤩
“What is a revolutionary act? Be ambitiously lazy.
Escape from your today's tasks. Sometimes you need to unplug yourself from everything to function again. Your brain screams for a break. Your heart beg for fresh air. Your eyes long for blue sky. But you shut them down with work, boundaries, and norm. Live a little for once in a while.”
Saya memberikan 5 bintang bukan karena melebih-lebihkan, tetapi jujur seharusnya buku ini patut diberikan perhatian yang lebih banyak. Jikalau, The Book of Forbidden Feelings berisi tentang black hole dalam kehidupan manusia dengan segala angst, anxieties ataupun depression. Buku The Book of Invisible Questions justru sebagai "pembangkit" dari perasaan-perasaan kelam yang ada di buku pertama.
Masih dengan ilustrasi yang seperti art gallery, The Book of Invisible Questions menyugukan pertanyaan dengan berbagai pertanyaan, karena hidup tidak pernah ada jawaban pasti. Kutipan-kutipan yang berada di dalam buku ini serasa ingin semuanya saya highlighter dan ditempel lengket-lengket di dahi saya.
"When life keep pushing you to be hard, harsh, and numb. Take a break from life. Feel yourself. Feel your body. Feel your breath. If you're lucky, you will be back to yourself again after a while. And not, you're not going to be as soft as before. But it's okay. You're harder because you have learned a lot, not because you want to cause pain."
Buku pertama yang benar-benar selesai saya baca pada awal tahun 2018. Lambat. Tentu. Setelah mengalami sebuah accident dan hal-hal lainnya, buku ini menjadi kawan yang tepat untuk saya. Sebagian besar isinya membicarakan perihal EKSISTENSI.
Jika dibandingkan dengan The Book of Forbidden Feelings, buku ini terasa lebih penuh. Masih terasa aura depresifnya, tetapi isinya jujur dan penuh kontemplasi.
Banyak bagian yang saya suka, di antaranya:
What is letting go? Imagine yourself taking off your heavy backpack after a long day. That's what letting go is about. (Hal. 66)
Human: a statue of memories. (Hal. 77)
Everybody's normal until you get to know them better. Everything's fine on the outside. Everyone's fine on the surface. And then you get to know them layer by layer. (Hal. 102)
Why is the thing you want to completely forget is always the most unforgettable one ? (Hal. 137)
We're just human. It's okay to not be okay all the time. 4 of 5 stars.
The book of target readers predominantly whom using Apple's invisible questions.
....
It is darn frikkin right that book comes to you, and you just need to read it in a perfect time. I gave only one star when first reading this. But adding three (!!!!) more stars on second read exactly a year later.
At my current state, I ignored Lala Bohang's strange connection with Apple and Unhealthy parents-kids relationship. Because this is more about me, questioning said and unsaid questions as in the questions are the answers
I always thought I'm the kind of person who gives zero fuck about everything but in reality I say I give zero fuck about everything because I care too much.
Lebih suka buku kedua ini dibanding yang pertama :)
Karena lagi istirahat dulu baca yang berat so kuputusin buat baca buku 'ringan' ini. Buku ini kurang lebih sama seperti buku motivasi lainnya. Namun disini berisi pertanyaan kecil yang mungkin sering muncul di kehidupan kita. Invisible questions. Ada beberapa bagian di buku ini yang aku skip karena merasa berbeda pandangan dengan penulis. Kekurangannya menurutku cuma di font nya aja kali ya kekecilan, selebihnya kek ilustrasi dll udah bagus.
Here is my fav poem: When you feel hopeless, begin to zoom out everything.
Everything will start to appear as a small dot.
Then nothing will seem worthy enough to bother you because they all look the same.
Zooming out will wipe away all of your uneasy thoughts.
When you’re aware and you realize everything is nothing more than just a dot, you won’t be easily triggered anymore.
The more you zoom out, the smaller they get, the lighter they become.
Saya cukup ragu-ragu mengambil buku ini dari rak Gramedia karena mengingat buku pertama yang tidak terlalu saya nikmati. Toh pada akhirnya tetap membeli karena saya percaya bahwa setiap hal patut diberi kesempatan kedua. Yang mengejutkan, saya jauh lebih suka buku ini dibanding The Book of Forbidden Feeling yang cukup dark dan twisted bagi saya (hehe). Buku ini mengingatkan saya bahwa apa yang sering kita alami dan rasakan adalah hal normal dan tidak apa-apa untuk merasa tidak baik-baik saja. Saya menikmati buku ini pelan-pelan, beberapa halaman (atau bahkan baris kalimat), lalu diresapi dan dimaknai. Beberapa diantaranya relate sekali bahkan cukup menjawab apa yang saya cari, beberapa ada yang tidak relate tapi tetap menyenangkan untuk dibaca. Mungkin setelah ini akan mencoba membaca kembali The Book of Forbidden Feeling, siapa tahu mendapatkan pengalaman membaca yang berbeda.
Better than the first book, but still "meh." to me.
Umm apa ya ini kaya membaca diary orang yg skeptis, lagi galau, patah hati gitu. Better daripada buku pertama karena disini lebih banyak cerita aja ga kaya yg buku pertama yang kalimatnya cuma satu dan pendek pendek banget.
Tapi masih ga nangkep judulnya dimana bagian "invisible question" nya.... Atau mungkin memang aku aja yang kurang paham tapi ya gitu deh.