Titon Rahmawan
Goodreads Author
Born
in Magetan, East Java, Indonesia
Website
Genre
Member Since
June 2007
To ask
Titon Rahmawan
questions,
please sign up.
![]() |
Tembang Bukit Kapur
by
—
published
2007
|
|
![]() |
Turquoise
—
published
2008
|
|
![]() |
Sastra pembebasan : antologi puisi, cerpen, esai / [editor, Heri Latief & Sarabunis Mubarok]
|
|
![]() |
Dian Sastro for President! #2 Reloaded
|
|
* Note: these are all the books on Goodreads for this author. To add more, click here.
Titon Rahmawan hasn't written any blog posts yet.
Titon’s Recent Updates
Titon
has read
|
|
![]()
“HIKAYAT ADAM
Sebab bagiku kau masih serupa ibu yang melahirkanku yang menuntunku berjalan dan mengajariku berlari. Namun mengapa tak juga lepas dahagaku daripadamu? Meski telah kureguk engkau hingga tumpas tandas. Hingga kempis payudaramu hingga perlahan surut laut dan air matamu. Hingga padam langit dan seluruh jagat raya. Hingga kalam sang malaikat diam-diam merenggut segenap kejahatan dan dosa-dosaku. Meski kutahu belaka, betapa sia-sia seluruh perjalanan ini. Bukankah engkau sendiri yang waktu itu menghalangi diriku memakan buah yang ranum dari perbendaharaanmu yang sengaja tak kausembunyikan? Buah syajarah yang kautanam di taman purbawi. Kebun yang telah berabad jadi rumahku tapi tak pernah sungguh-sungguh aku miliki. Mengapa kaularang aku memetik khuldi yang kausediakan bagiku di taman itu? Apakah demi menguji kesetiaanku pada dirimu? Sementara kauijinkan sabasani itu tumbuh menjulang tinggi dan berbuah lebat. Sekalipun engkau masih menerimaku sebagai buah kandung yang engkau lahi ...more Titon Rahmawan |
|
“Ada luka sumbing serupa gempil bibir poci di hati semua orang. Cacat yang berusaha keras mereka sembunyikan dari dunia. Tapi tak semestinya kita mengenakan topeng hanya demi menutup secebis luka. Tak semua hal mesti kita cerna dengan tatapan mata curiga serupa itu. Maka dari itu, coba dengarkan apa kata Bundamu ini, Nak. Manusia tak perlu harus jadi sempurna agar ia dihargai. Sebagaimana keindahan bisa muncul dari hal kecil dan sederhana. Termasuk apa yang tampak pada selembar kain batik yang lusuh atau cangkir teh yang somplak ujungnya.
Kita bisa belajar dari kintsugi, menjadi bijak tanpa harus bergegas menjadi tua; bagaimana menorehkan pernis emas pada sebuah cawan tembikar yang terlanjur retak. Betapa sesungguhnya, sebuah guci porselen yang jatuh, pecah dan bahkan rusak tak berarti kehilangan semua nilai yang dimilikinya. Ketidaksempurnaan tidak akan mengecilkan arti dirimu. Sebab hanya ketangguhanmu melewati bukit penderitaanlah yang akan membuatmu menemukan cahaya kebahagiaan yang sesungguhnya.
Bagaimana kamu bisa belajar menghargai kekurangan pada diri sendiri. Bagaimana kamu bisa menerima kesalahan dan bahkan kegagalan. Sebagaimana alam memaknai wabi sabi, ketidak sempurnaan bukan sesuatu yang harus ditolak atau disangkal. Ia mesti disambut sebagai air telaga yang jernih, kesegaran embun di pagi hari, atau aroma petrichor di musim penghujan.
Setiap kali engkau jatuh dan menjadi rapuh, engkau bisa merangkaikan kembali serpihan serpihan hatimu. Tak akan pernah kehilangan tujuan yang engkau perjuangkan. Sebab setiap bekas luka seperti juga keringat dan airmata, adalah permata yang lahir dari segenap jerih payahmu. Ia terlalu berharga untuk kamu sia siakan. Manik manik gemerlap yang dapat engkau rangkai menjadi perhiasan unik nan cantik yang akan selamanya jadi milikmu.
Jangan pernah takut terantuk batu.
Jangan sekalinya jeri dicerca burung. Jangan merasa ngeri terempas badai. Sebab saat nanti engkau sampai ke puncak, kau akan bisa melihat dunia sebagai miniatur lanskap yang permai dan elok untuk dikenang. Karena demikianlah semestinya hidup, ia adalah keindahan yang tercipta dari kekurangan dan ketidaksempurnaan diri kita.”
―
Kita bisa belajar dari kintsugi, menjadi bijak tanpa harus bergegas menjadi tua; bagaimana menorehkan pernis emas pada sebuah cawan tembikar yang terlanjur retak. Betapa sesungguhnya, sebuah guci porselen yang jatuh, pecah dan bahkan rusak tak berarti kehilangan semua nilai yang dimilikinya. Ketidaksempurnaan tidak akan mengecilkan arti dirimu. Sebab hanya ketangguhanmu melewati bukit penderitaanlah yang akan membuatmu menemukan cahaya kebahagiaan yang sesungguhnya.
Bagaimana kamu bisa belajar menghargai kekurangan pada diri sendiri. Bagaimana kamu bisa menerima kesalahan dan bahkan kegagalan. Sebagaimana alam memaknai wabi sabi, ketidak sempurnaan bukan sesuatu yang harus ditolak atau disangkal. Ia mesti disambut sebagai air telaga yang jernih, kesegaran embun di pagi hari, atau aroma petrichor di musim penghujan.
Setiap kali engkau jatuh dan menjadi rapuh, engkau bisa merangkaikan kembali serpihan serpihan hatimu. Tak akan pernah kehilangan tujuan yang engkau perjuangkan. Sebab setiap bekas luka seperti juga keringat dan airmata, adalah permata yang lahir dari segenap jerih payahmu. Ia terlalu berharga untuk kamu sia siakan. Manik manik gemerlap yang dapat engkau rangkai menjadi perhiasan unik nan cantik yang akan selamanya jadi milikmu.
Jangan pernah takut terantuk batu.
Jangan sekalinya jeri dicerca burung. Jangan merasa ngeri terempas badai. Sebab saat nanti engkau sampai ke puncak, kau akan bisa melihat dunia sebagai miniatur lanskap yang permai dan elok untuk dikenang. Karena demikianlah semestinya hidup, ia adalah keindahan yang tercipta dari kekurangan dan ketidaksempurnaan diri kita.”
―
“Ada begitu banyak kemalangan, namun dari semua itu kebodohanlah yang tinggal menetap. Orang-orang bodoh melihat, mendengar dan merasakan seperti orang-orang lain, akan tetapi mereka sama sekali tidak memiliki pemahaman atas diri sendiri dan keadaan di sekelilingnya.
Berusaha memahami si bodoh adalah suatu tindakan yang sia-sia, pada akhirnya tanggapan mereka hanya akan membangkitkan amarah dan kejengkelan.
Kebodohan serupa botol yang memiliki lubang di dasarnya, Seberapa pun banyaknya kebaikan dan pengetahuan yang kita tuang ke dalamnya ia akan berlalu dengan sia-sia.
Mereka yang termasuk ke dalam golongan orang-orang bebal adalah mereka yang menukar sahabatnya dengan uang, dan menggantikan saudaranya dengan kilau emas dan permata.
Hati orang bodoh ada dalam lidahnya dan dengan hal itu ia menggembar-gemborkan kelebihannya yang tak lain adalah sebuah omong-kosong. Sebaliknya, lidah orang bijak ada adalam hatinya dan ia memeliharanya dengan sangat hati-hati agar tidak mengucapkan hal-hal yang tidak perlu.
Dan bahkan, hidup orang bebal jauh lebih buruk dari kematian. Orang-orang bebal dan dungu hanya akan menjadi beban bagi kehidupan, karena seumur hidup mereka tak pernah mau belajar.
Kebodohan adalah batu pejal yang dibuang orang ke dalam sungai karena menghalangi orang yang akan lewat.
Kebodohan punya banyak nama dan mereka menunjukkan wajahnya dalam berbagai wujud. Aku dapat menyebutkan sejumlah di antaranya, yaitu: egoisme dan keras-kepala, bebal dan degil, sikap anarkhi yang membabi buta, sikap acuh-tak acuh dan ketidak-pedulian, pembenaran diri sendiri, tak mau mendengar nasehat, dan kecerobahan yang tak terobati.”
―
Berusaha memahami si bodoh adalah suatu tindakan yang sia-sia, pada akhirnya tanggapan mereka hanya akan membangkitkan amarah dan kejengkelan.
Kebodohan serupa botol yang memiliki lubang di dasarnya, Seberapa pun banyaknya kebaikan dan pengetahuan yang kita tuang ke dalamnya ia akan berlalu dengan sia-sia.
Mereka yang termasuk ke dalam golongan orang-orang bebal adalah mereka yang menukar sahabatnya dengan uang, dan menggantikan saudaranya dengan kilau emas dan permata.
Hati orang bodoh ada dalam lidahnya dan dengan hal itu ia menggembar-gemborkan kelebihannya yang tak lain adalah sebuah omong-kosong. Sebaliknya, lidah orang bijak ada adalam hatinya dan ia memeliharanya dengan sangat hati-hati agar tidak mengucapkan hal-hal yang tidak perlu.
Dan bahkan, hidup orang bebal jauh lebih buruk dari kematian. Orang-orang bebal dan dungu hanya akan menjadi beban bagi kehidupan, karena seumur hidup mereka tak pernah mau belajar.
Kebodohan adalah batu pejal yang dibuang orang ke dalam sungai karena menghalangi orang yang akan lewat.
Kebodohan punya banyak nama dan mereka menunjukkan wajahnya dalam berbagai wujud. Aku dapat menyebutkan sejumlah di antaranya, yaitu: egoisme dan keras-kepala, bebal dan degil, sikap anarkhi yang membabi buta, sikap acuh-tak acuh dan ketidak-pedulian, pembenaran diri sendiri, tak mau mendengar nasehat, dan kecerobahan yang tak terobati.”
―
“HIKAYAT ADAM
Sebab bagiku kau masih serupa ibu yang melahirkanku yang menuntunku berjalan dan mengajariku berlari. Namun mengapa tak juga lepas dahagaku daripadamu? Meski telah kureguk engkau hingga tumpas tandas.
Hingga kempis payudaramu hingga perlahan surut laut dan air matamu. Hingga padam langit dan seluruh jagat raya.
Hingga kalam sang malaikat diam-diam merenggut segenap kejahatan dan dosa-dosaku. Meski kutahu belaka, betapa sia-sia seluruh perjalanan ini.
Bukankah engkau sendiri yang waktu itu menghalangi diriku memakan buah yang ranum dari perbendaharaanmu yang sengaja tak kausembunyikan?
Buah syajarah yang kautanam di taman purbawi. Kebun yang telah berabad jadi rumahku tapi tak pernah sungguh-sungguh aku miliki.
Mengapa kaularang aku memetik khuldi yang kausediakan bagiku di taman itu? Apakah demi menguji kesetiaanku pada dirimu? Sementara kauijinkan sabasani itu tumbuh menjulang tinggi dan berbuah lebat.
Sekalipun engkau masih menerimaku sebagai buah kandung yang engkau lahirkan sendiri dengan kedua tanganmu.
Dan tidaklah aku engkau turunkan dari patuk taring si ular beludak. Ia yang telah membuatku terusir dari rumah. Sepetak tanah yang memang kauperuntukkan bagi diriku sejak mula pertama kauhadirkan aku ke dunia ini.
Sungguhpun harus kuarungi samudra duri ini sekali lagi, sebagai si alif dari golongan yang paling daif. Sebagaimana perempuan penerbit nafsi itu kaucuri dari tulang rusukku saat aku lelap tertidur.
Sepanjang pasrah kasrah telah mengubah rambut di kepalaku menjadi setumpukan uban. Sepanjang kematian demi kematian sengaja kau timpakan di atas kepala anak cucuku. Adakah sempat kaudengar aku berkeluh-kesah?
Meski aku mahfum belaka, ya bila karena semua itu aku tak akan pernah kau perkenankan singgah ke rumahmu lagi. Kecuali kau biarkan aku datang sebagai perempuan lecah, jaharu yang paling hina atau fakir papa yang kelaparan.
Sekalipun telah letih jiwaku meretas sepi, hingga percik lelatu itu menitik sekali lagi dari ujung jarimu. Bukan sebagai yang garib, yang gaib atau yang hatif. Melainkan karena semata-mata semesta cinta.
Cinta yang sekalipun tak akan pernah mengubah diriku menjadi zaim, zahid atau zakiah. Namun sungguh, cuma itu satu-satunya cinta yang berani menentang tajam mata pisau sang mair.”
―
Sebab bagiku kau masih serupa ibu yang melahirkanku yang menuntunku berjalan dan mengajariku berlari. Namun mengapa tak juga lepas dahagaku daripadamu? Meski telah kureguk engkau hingga tumpas tandas.
Hingga kempis payudaramu hingga perlahan surut laut dan air matamu. Hingga padam langit dan seluruh jagat raya.
Hingga kalam sang malaikat diam-diam merenggut segenap kejahatan dan dosa-dosaku. Meski kutahu belaka, betapa sia-sia seluruh perjalanan ini.
Bukankah engkau sendiri yang waktu itu menghalangi diriku memakan buah yang ranum dari perbendaharaanmu yang sengaja tak kausembunyikan?
Buah syajarah yang kautanam di taman purbawi. Kebun yang telah berabad jadi rumahku tapi tak pernah sungguh-sungguh aku miliki.
Mengapa kaularang aku memetik khuldi yang kausediakan bagiku di taman itu? Apakah demi menguji kesetiaanku pada dirimu? Sementara kauijinkan sabasani itu tumbuh menjulang tinggi dan berbuah lebat.
Sekalipun engkau masih menerimaku sebagai buah kandung yang engkau lahirkan sendiri dengan kedua tanganmu.
Dan tidaklah aku engkau turunkan dari patuk taring si ular beludak. Ia yang telah membuatku terusir dari rumah. Sepetak tanah yang memang kauperuntukkan bagi diriku sejak mula pertama kauhadirkan aku ke dunia ini.
Sungguhpun harus kuarungi samudra duri ini sekali lagi, sebagai si alif dari golongan yang paling daif. Sebagaimana perempuan penerbit nafsi itu kaucuri dari tulang rusukku saat aku lelap tertidur.
Sepanjang pasrah kasrah telah mengubah rambut di kepalaku menjadi setumpukan uban. Sepanjang kematian demi kematian sengaja kau timpakan di atas kepala anak cucuku. Adakah sempat kaudengar aku berkeluh-kesah?
Meski aku mahfum belaka, ya bila karena semua itu aku tak akan pernah kau perkenankan singgah ke rumahmu lagi. Kecuali kau biarkan aku datang sebagai perempuan lecah, jaharu yang paling hina atau fakir papa yang kelaparan.
Sekalipun telah letih jiwaku meretas sepi, hingga percik lelatu itu menitik sekali lagi dari ujung jarimu. Bukan sebagai yang garib, yang gaib atau yang hatif. Melainkan karena semata-mata semesta cinta.
Cinta yang sekalipun tak akan pernah mengubah diriku menjadi zaim, zahid atau zakiah. Namun sungguh, cuma itu satu-satunya cinta yang berani menentang tajam mata pisau sang mair.”
―
“HIKAYAT ADAM
Sebab bagiku kau masih serupa ibu yang melahirkanku yang menuntunku berjalan dan mengajariku berlari. Namun mengapa tak juga lepas dahagaku daripadamu? Meski telah kureguk engkau hingga tumpas tandas.
Hingga kempis payudaramu hingga perlahan surut laut dan air matamu. Hingga padam langit dan seluruh jagat raya.
Hingga kalam sang malaikat diam-diam merenggut segenap kejahatan dan dosa-dosaku. Meski kutahu belaka, betapa sia-sia seluruh perjalanan ini.
Bukankah engkau sendiri yang waktu itu menghalangi diriku memakan buah yang ranum dari perbendaharaanmu yang sengaja tak kausembunyikan?
Buah syajarah yang kautanam di taman purbawi. Kebun yang telah berabad jadi rumahku tapi tak pernah sungguh-sungguh aku miliki.
Mengapa kaularang aku memetik khuldi yang kausediakan bagiku di taman itu? Apakah demi menguji kesetiaanku pada dirimu? Sementara kauijinkan sabasani itu tumbuh menjulang tinggi dan berbuah lebat.
Sekalipun engkau masih menerimaku sebagai buah kandung yang engkau lahirkan sendiri dengan kedua tanganmu.
Dan tidaklah aku engkau turunkan dari patuk taring si ular beludak. Ia yang telah membuatku terusir dari rumah. Sepetak tanah yang memang kauperuntukkan bagi diriku sejak mula pertama kauhadirkan aku ke dunia ini.
Sungguhpun harus kuarungi samudra duri ini sekali lagi, sebagai si alif dari golongan yang paling daif. Sebagaimana perempuan penerbit nafsi itu kaucuri dari tulang rusukku saat aku lelap tertidur.
Sepanjang pasrah kasrah telah mengubah rambut di kepalaku menjadi setumpukan uban. Sepanjang kematian demi kematian sengaja kau timpakan di atas kepala anak cucuku. Adakah sempat kaudengar aku berkeluh-kesah?
Meski aku mahfum belaka, ya bila karena semua itu aku tak akan pernah kau perkenankan singgah ke rumahmu lagi. Kecuali kau biarkan aku datang sebagai perempuan lecah, jaharu yang paling hina atau fakir papa yang kelaparan.
Sekalipun telah letih jiwaku meretas sepi, hingga percik lelatu itu menitik sekali lagi dari ujung jarimu. Bukan sebagai yang garib, yang gaib atau yang hatif. Melainkan karena semata-mata semesta cinta.
Cinta yang sekalipun tak akan pernah mengubah diriku menjadi zaim, zahid atau zakiah. Namun sungguh, cuma itu satu-satunya cinta yang berani menentang tajam mata pisau sang mair.”
―
Sebab bagiku kau masih serupa ibu yang melahirkanku yang menuntunku berjalan dan mengajariku berlari. Namun mengapa tak juga lepas dahagaku daripadamu? Meski telah kureguk engkau hingga tumpas tandas.
Hingga kempis payudaramu hingga perlahan surut laut dan air matamu. Hingga padam langit dan seluruh jagat raya.
Hingga kalam sang malaikat diam-diam merenggut segenap kejahatan dan dosa-dosaku. Meski kutahu belaka, betapa sia-sia seluruh perjalanan ini.
Bukankah engkau sendiri yang waktu itu menghalangi diriku memakan buah yang ranum dari perbendaharaanmu yang sengaja tak kausembunyikan?
Buah syajarah yang kautanam di taman purbawi. Kebun yang telah berabad jadi rumahku tapi tak pernah sungguh-sungguh aku miliki.
Mengapa kaularang aku memetik khuldi yang kausediakan bagiku di taman itu? Apakah demi menguji kesetiaanku pada dirimu? Sementara kauijinkan sabasani itu tumbuh menjulang tinggi dan berbuah lebat.
Sekalipun engkau masih menerimaku sebagai buah kandung yang engkau lahirkan sendiri dengan kedua tanganmu.
Dan tidaklah aku engkau turunkan dari patuk taring si ular beludak. Ia yang telah membuatku terusir dari rumah. Sepetak tanah yang memang kauperuntukkan bagi diriku sejak mula pertama kauhadirkan aku ke dunia ini.
Sungguhpun harus kuarungi samudra duri ini sekali lagi, sebagai si alif dari golongan yang paling daif. Sebagaimana perempuan penerbit nafsi itu kaucuri dari tulang rusukku saat aku lelap tertidur.
Sepanjang pasrah kasrah telah mengubah rambut di kepalaku menjadi setumpukan uban. Sepanjang kematian demi kematian sengaja kau timpakan di atas kepala anak cucuku. Adakah sempat kaudengar aku berkeluh-kesah?
Meski aku mahfum belaka, ya bila karena semua itu aku tak akan pernah kau perkenankan singgah ke rumahmu lagi. Kecuali kau biarkan aku datang sebagai perempuan lecah, jaharu yang paling hina atau fakir papa yang kelaparan.
Sekalipun telah letih jiwaku meretas sepi, hingga percik lelatu itu menitik sekali lagi dari ujung jarimu. Bukan sebagai yang garib, yang gaib atau yang hatif. Melainkan karena semata-mata semesta cinta.
Cinta yang sekalipun tak akan pernah mengubah diriku menjadi zaim, zahid atau zakiah. Namun sungguh, cuma itu satu-satunya cinta yang berani menentang tajam mata pisau sang mair.”
―
“How can my limitations in humanity bring me the truth? How can I find truth that I don't know”
―
―
“How can a human claim the source of what he believes as the truth, while he has absolutely no idea what is the essence of the true truth?”
―
―
“Humans think with all their efforts to make them enlightened. What we often forget and don't realize is that enlightenment is not the fruit of human effort. That might only come as a blessing. As a gift.”
―
―

Friend's...If any of you have already read my book "Turquoise" please give a comment. thank you ...more

Goodreads Indonesia dibentuk tanggal 7 Juni 2007 oleh Femmy Syahrani dan ditujukan untuk para pembaca buku berbahasa Indonesia yang ingin mendiskusika ...more
Comments (showing 1-7)
post a comment »
date
newest »

message 7:
by
Syahfida
Nov 02, 2015 06:07PM

reply
|
flag

salam kenal,
sinta

Salam kenal, waduh belum baca bukunya euy...hehehee. Gak pa-pa yah kenalan ma penulisnya dulu. Terima kasih dah add di friendlistnya. Semoga bisa menjadi teman sharing info buku yang baik. Terima kasih.
Have a nice writing and reading!
Cheers,
Roos

salam Alfian Malik