Narsisus

Narsisus jatuh cinta kepada dirinya sendiri dan tak lama kemudian mati.  Pada umur 15, anak berwajah  rupawan itu dibawa ibunya ke hadapan Tiresias sang penujum.


Dalam Metamorfosis, puisi Ovidius yang digubah di sekitar Roma pada abad ke-4 Sebelum Masehi, digambarkan peramal yang buta itu mengucapkan sesuatu yang aneh: “Bila anak ini tak kenal dirinya sendiri, ia akan hidup panjang…”


Syahdan,  Narsisus pun jadi lelaki dewasa,dan perempuan dan pria pada jatuh cinta kepadanya. Tapi tak ada yang ia acuhkan.  Juga makhluk cantik yang biasanya menggoda: para bidadari bumi yang berdiam di rimba dan sungai.


Salah satu dari mereka adalah Gema. Pada suatu hari, ia melihat Narsisus berburu melintasi ladang-ladang yang jauh.Ia terpikat. Ia ikuti lelaki itu ke manapun dengan sembunyi-sembunyi.  Cintanya membakar diri, “ibarat api membakar belerang,” tapi ia hanya diam. Ia tak bisa merayu. Bidadari itu  telah dikutuk seorang dewi; ia tak bisa bicara, ia cuma mampu mengulang suara orang lain.


Dan itulah yang terjadi ketika Narsisus tersesat. Pemburu itu berteriak:  “Siapa di sekitar sini?”.  Dari semak-semak Gema pun bersuara, mengulang:  “Sekitar sini?”.


Tak bisa lain.Tiap kali Narsisus bicara, hanya ulangan kata-katanya yang menjawab. Sampai akhirnya ia berseru, “Mari, ke sini berdua!”.


“Berdua…!” suara Gema terdengar  — dengan berbahagia sekali, sebab itulah satu-satunya kalimat yang sesuai dengan hatinya. Ia pun muncul dari semak-semak, langsung memeluk Narsisus.


Tapi laki-laki itu mengelak, pergi.



Bidadari itu malu dan sedih dan mengembara jauh.Tubuhnya jadi kurus, tinggal tulang. Akhirnya, seperti dikisahkan Metamorfosis,  tulang itu jadi batu. Gema hanya hidup sebagai suara yang tertinggal — suara yang tak bisa mengungkapkan keinginannya sendiri.


Memang, Narsisus menyebabkan banyak hati yang patah.  Sebab itu dewi Nemesis berniat menghukumnya:  waktu berburu, lelaki tampan itu diarahkan jalannya. Ia sampai ke sebuah palung yang bening, dikelilingi lumut dan rumput yang lembut.  Kepanasan dari perjalanan dan dirundung haus,  Narsisus menelungkup ke arah air, ingin meraupnya. Tapi ketika ia menatap ke palung itu, “rasa  haus yang lain terbangun”.  Sebuah pemandangan memukaunya.  Ia kagum dan jatuh cinta kepada  apa yang dilihatnya: paras yang sangat tampan.  Ia mencium bayangan itu, ia mengulurkan tangannya ke dalam air.  Tentu saja tak ada yang dapat disentuhnya.


Tapi Narsisus tetap menatap. Ia merasa bayangan itu ingin dikecup, ingin membalas peluk, dan selalu bersamanya. Bila ia senyum, bayangan itu juga tersenyum. Bila ia menangis, tampak yang di permukaan air itu menangis.


“Pandir, kenapa kau coba tangkap bayangan yang melintas, sia-sia? Apa yang kau cari tak ada di mana-mana…Yang tampak olehmu hanya  bayangan bentuk yang dipantulkan: tak ada bagian dirimu yang ada di dalamnya. Ia datang dan tinggal bersamamu,  pergi bersamamu, jika kau bisa pergi!”.


Narsisus pun berangsur-angsur sadar:  ia, yang kasmaran kepada dirinya sendiri, tak tahu apa yang harus dilakukannya.


Dalam putus asa, air matanya menetes. Tetesan itu  menggerakkan permukaan telaga, dan bayangan itu lenyap. Ia kehilangan. Ia menanti. Menatap.


Dalam keadaan teramat lelah, ia terkapar di tepi palung itu. Dan datanglah  kematian, menutup mata  yang indah itu untuk selama-lamanya.


Dan itulah nujum Tiresias:  ketika pemuda rupawan itu mengenali dirinya sendiri, umurnya tak panjang….


Kini, 2000 tahun kemudian, perempuan, lelaki, bangsa, agama, dan entah apalagi, boleh menyimak kisah ini: “mengenali diri sendiri”(“aku adalah dia”, kata Narsisus memandang ke bayangannya), mengandung ilusi yang serius.


Tapi narsisme biasa menyusup ke dalam diri kita, sering dalam ekspresi yang lamat-lamat: kita merasa berhasil menemukan “jati diri”,  atau kita ingin mendapatkannya seraya terus menerus hanya menatap diri. Atau, untuk memakai kata-kata Ovidius tentang Narsisus, kita menghasratkan diri sendiri.


Perlukah kita katakan, di zaman selfie ini, zaman orang-orang mengabadikan tampang, bahwa narsisme adalah jalan singkat ke pelbagai kematian?


Sebab wajah yang kita lihat di cermin (dan di kamera)  adalah gambar yang menyesatkan.  Sejak seorang bocah  melihat dirinya sendiri di sana —  dalam “tahap cermin”,  menurut   psikoanalisis Lacan — ia sebenarnya hanya, untuk mengulang kalimat dalam Metamorfosis, menangkap “bayangan yang melintas”. Perspektifnya “sia-sia”. Bentuk yang dipantulkan kaca itu sebenarnya tak menyimpan  bagian dari diri  kita.


Tapi apa boleh buat: sejak kecil kita dibentuk oleh konvensi, khususnya dalam bahasa dan  kebutuhan sementara untuk mengukuhkan “aku” dan “engkau”. Akhirnya itulah yang tak kita sadari menjebak kita: ada subyek, ada obyek.


Kita pun membangun dunia berdasarkan ilusi bahwa ada “aku” yang utuh, “mereka” yang pasti. Kita alpa bahwa yag ada adalah, dalam kata-kata Lacan, “bayang-bayang ego yang bergerak terus.” Kita lupa, kita bisa mengidentifikasikan sesuatu hanya karena ada “yang-lain”, yang “bukan-aku”. “Anjing” dikenal sebagai “anjing” karena ia bukan “kucing”, bukan “kancil”, bukan “macan”… Tak ada definisi.


Dengan kata lain, anjing dan aku mendapatkan bentuk karena kami tak sendiri. Narsisme identitas, narsisme “jati diri”, pada tiap perempuan, lelaki, bangsa, agama, dan “aku” apa saja, melupakan ini: yang tragis bermula dengan Narsisus yang sendirian di tepi kolam.


Bahkan ia tak ingin disertai Gema.


Goenawan Mohamad

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on July 12, 2015 04:57
No comments have been added yet.


Goenawan Mohamad's Blog

Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Goenawan Mohamad's blog with rss.