Wallace

Ilmu dimulai dengan sifat seorang anak yang takjub.


Dalam salah satu catatannya, Alfred Russel Wallace — orang Inggris yang bersama Charles Darwin menemukan “teori evolusi” — menyatakan betapa ia, baik seorang anak, terkesima melihat kumbang. Kumbang adalah “keajaiban di tiap ladang”. Siapa yang tak mengenalnya “melewatkan sumber kesenangan dan keasyikan yang tak pernah pudar”.


Kesenangan dan keasyikan itulah yang membuat Wallace bertahun-tahun mengamati mahluk hidup dari pelbagai jenis dan habitat. Meskipun ia bukan ilmuwan dalam arti yang lazim. Karena orang tuanya jatuh miskin, pada umur 14 ia harus putus sekolah. Kemudian ia pindah ke wilayah Wales membantu kakaknya yang punya usaha suvei pertanahan.


Di pedalaman itulah ia terpikat kehidupan tumbuh-tumbuhan. Ia mulai menelaah pelbagai tanaman dengan penuh antusiasme. “Siapa yang pernah melakukan sesuatu yang baik dan besar kalau bukan seorang yang antusias?” ia pernah berkata.


Pada usia 25 ia berangkat ke rimba Brazil, di sekitar Sungai Amazon dan Rio Negro — menjelajah lebih jauh.


“Di sini, tak seorang pun, selama ia punya perasaan kepada yang tak tepermanai dan yang sublim, akan kecewa”, tulisnya dari belantara tropis itu. Ia seakan tak bisa berhenti menyebut pepohonan besar yang rimbun, akar dan serat yang tergantung-gantung, burung langka dan reptil yang cantik.



Keajaiban, kata orang, tak ada lagi di dunia modern. Tapi pesona? Bagi Wallace, pesona itu bukan tentang sesuatu yang magis. Ketika kemudian ia menemukan seekor kupu-kupu di Pulau Bacan, Indonesia, ia terpukau menatap sayapnya: “…jantungku berdebar hebat, darah naik ke kepalaku, dan aku merasa seperti akan pingsan”.


Ia seperti seorang sufi yang menemukan tanda-tanda Tuhan, atau penyair yang tergerak melahirkan sajak.


Tak mengherankan bila sejumlah seniman merespons dengan ketakjuban baru pelbagai spesimen Wallace dalam “Pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam” di Galeri Salihara (15 Agustus-15 September) — sebuah pameran yang menarik: persentuhan seni dan ilmu.


Tapi berbeda dari bagi perupa, bagi Wallace, seperti patutnya sikap ilmuwan, ketakjuban menghadirkan alam sebagai “problem”; tak ada misteri. Problem adalah sesuatu yang dilemparkan di depan kita untuk dipecahkan. Wallace beranjak dari pesona ke dalam tanya. Dalam hal ini, ia seorang penggugat doktrin, juga doktrin agama.


Mengapa hewan-hewan di Papua dan di Kalimantan berbeda, meskipun kedua wilayah itu beriklim sama dengan geografi yang mirip? Mengapa ada persamaan dunia hewan di Australia dan Papua, meskipun alam yang satu gurun dan yang lain hutan tropis?


Adakah spesies X satu varietas dari Y? Apa beda antara “spesies” dan “varietas?” Adakah “varietas yang permanen”? Bukankah “varietas yang permanen” sebuah konsep yang mustahil? Bukankah dalam alam perbatasan kabur dan dalam evolusi, perbedaan hanya aksidental?


Januari 1858, di ulang tahunnya yang ke-35, dalam penjelajahannya Wallace sampai di Ternate; ia tinggal di sebuah rumah rusak yang disediakan seorang Belanda penguasa pulau. Ia datang untuk menemukan jawab. Suatu hari, dalam keadaan demam, ia terus merenungkan problem ini: teori evolusi yang dirumuskannya mengatakan spesies berubah, tapi bagaimana dan mengapa mereka berubah jadi spesies baru dengan kekhususan yang jelas? Mengapa mereka bisa beradaptasi penuh dengan modus hidup yang berbeda?


Dalam dua jam yang meriang, Wallace merumuskan jawabannya. Dua malam berikutnya ia tuliskan lengkap teori “seleksi alami” dengan survival of the fittest yang termashur itu. Ia telah menjelaskan mekanisme perubahan spesies dalam proses evolusi.


Itu juga yang ditemukan Darwin, setelah hampir 20 tahun sebelumnya menyiapkannya — meskipun tak pernah mempublikasikannya. Satu kebetulan yang bersejarah terjadi. Pada 1 Juli 1858, di pertemuan para ilmuwan London, penemuan Darwin dan Wallace dibacakan. Darwin sendiri tak bisa hadir karena berkabung atas kematian anaknya. Wallace berada nun jauh di timur.


Beberapa penulis kemudian mengatakan, Darwin hanya mengambil alih buah pikiran Wallace. Dalam The Heretic in Darwin’s Court yang ditulis Ross A. Slotten tentang riwayat ilmuwan otodidak yang hampir mati di Ternate itu, disebutkan Darwin memang cemas ketika ia membaca surat Wallace yang memaparkan teorinya — cemas kalau orisinalitas teorinya diragukan. Tapi Wallace tak berkata begitu. Baginya, pengarang The Origin of Species itu penemu sejati teori evolusi.


Tampaknya, bagi Wallace, yang terpenting bukan keunggulan diri. Teorinya belum tentu jawab terakhir. Ia bahkan menelaah apa yang oleh para ilmuwan dalam zaman positivisme itu dianggap “takhayul”: pertemuan manusia dengan dunia roh. Wallace, yang menolak jawaban agama yang mengaku paling benar tentang hidup, juga menolak ilmu yang ogah bertanya tentang mati. Keberaniannya adalah ingin tahu.


Goenawan Mohamad


24 Agustus 2015

1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on September 02, 2015 18:46
No comments have been added yet.


Goenawan Mohamad's Blog

Goenawan Mohamad
Goenawan Mohamad isn't a Goodreads Author (yet), but they do have a blog, so here are some recent posts imported from their feed.
Follow Goenawan Mohamad's blog with rss.