Jessica Huwae's Blog: Jessica Huwae - Posts Tagged "interview"
JESSICA HUWAE Mencipta Buku sebagai Medium Kritik Sosial
Bisnis.com, JAKARTA - Berawal dari perbincangan di sebuah warung di bilangan Jakarta, antara Jessica Huwae dan penulis Syahmedi Dean. Saat itu, Jessica telah merampungkan naskah novel pertamanya. Sementara Dean sudah terlebih dahulu menerbitkan karya.
Novel pertama Dean, L.S.D.L.F. (Lontong Sayur Dalam Lembaran Fashion) yang menceritakan proses produksi sebuah majalah lifestyle, mencuri perhatian pembaca di Tanah Air.
Rasa ragu masih membayangi lulusan Sastra Inggris Universitas Indonesia ini. Berkat dorongan semangat dari Dean, Jessica bersedia mendatangi kantor salah satu penerbit ternama di Ibu Kota. Upaya itu tak berakhir sia-sia. Pada 2006, buku pertama Jessica, berjudul Soulmate.Com diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku bergenre metropop ini termasuk karya yang diburu khalayak.
“Dari dulu saya berkeinginan menciptakan sesuatu. Itu kenapa saya membuat DailySylvia.Com, atau membangun bisnis dengan rekan dan saudara. Salah satu yang saya ciptakan adalah menulis buku. Keinginan untuk menciptakan sesuatu sangat besar dalam diri saya,” ujarnya.
Pilihan Jessy, sapaan akrab Jessica, untuk menjadi penulis tidak lepas dari keresahannya terhadap hal-hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar. Dengan segala keterbatasannya, maka medium buku merupakan pilihan yang tepat untuk menorehkan kritik terhadap prilaku dan peristiwa sosial yang seringkali tidak tepat. Buku, dianggapnya, cocok untuk mengajak khalayak berpikir dan mengubah hal yang tidak tepat menjadi benar.
Pengamatan yang tajam terhadap realitas sosial dan kehidupan sehari-hari, memiliki andil besar dalam menajamkan intuisi Jessica dalam menghasilkan sebuah karya. Karya-karyanya banyak mengulas tentang perempuan, perjuangan hidup, dan cinta.
Melalui tokoh-tokoh yang diciptakannya, Jessica membeberkan perspektif lain mengenai pemaknaan hidup. Kehidupan para tokoh dalam cerita Jessica tidak selamanya beruntung. Namun, dengan semangat pantang menyerah, maka sebesar apapun cobaan hidup yang dialami para tokoh cerita itu, akan selalu terbentang lebar kesempatan baru.
“Pada dasarnya apa yang dialami para tokoh itu sama dengan prinsip yang saya yakini dalam menjalani hidup. Yang pasti, seburuk apapun kehidupan, akan selalu ada peran Tuhan di dalamnya melalui orang-orang yang hadir dalam perjalanan kita. Kehidupan itu begitu murah hatinya untuk memberi kesempatan, meskipun seringkali saya banyak salah dalam memilih tikungan. Hidup itu tidak pernah menyerah sama gue,” tuturnya.
Kesenangan Jessica dalam dunia menulis tidak lepas dari kebiasaan membaca sejak usia belia. Saat kedua orang tuanya bekerja, Jessica kecil banyak menghabiskan waktu membaca dan bermain dengan anjing kesayangannya. Pemilik rambut ikal ini mengakui hobi membaca membuatnya terampil untuk merangkai kata, membuat alur cerita yang mengalir, dan mudah dipahami.
Sebelum terjun ke dunia penulisan secara profesional, Jessica sempat menjajal pasar terkait tulisannya dengan membuat blog. Ternyata blog itu mendapatkan tanggapan yang lumayan besar dari pembaca. Pekerjaan formal yang dilakoninya juga tidak jauh dari dunia tulis menulis.
Berawal dari kegiatan magang, Jessica sempat berkarir di Femina Group pada 2000 – 2004 sebagai wartawan dan editor. Sepak terjangnya di dunia media tak berhenti disitu, selanjutnya Jessica singgah ke MRA Printed Media pada 2004 – 2007. Di sana dia sempat memegang tanggung jawab sebagai senior editor dan managing editor. Setelah itu, di Media Indonesia (Media Group), Jessica sempat mengecap pengalaman sebagai Kepala Divisi Penerbitan. Salah satu tugasnya adalah menangani penerbitan buku, majalah dan tabloid untuk klien. Pada 2012, Jessica dan beberapa rekannya mendirikan DailySylvia.com, situs yang mengulas tentang perempuan karir.
Dia mengaku berkecimpung di media sejalan dengan passion-nya sehingga tak mempedulikan tawaran bekerja di bidang lain. “Kok kayaknya panggilannya lebih ke media gitu. Sampai sekarang. Katanya gitu ya, jadi wartawan nggak pernah berhenti. nggak pernah pensiun?” katanya mengumbar tawa.
Pengalaman bekerja di media, pastinya sangat menguntungkan Jessica. Memiliki jaringan luas dan keterampilan menggali informasi, sangat membantunya saat melakukan riset dalam rangka menajamkan karakter para tokoh dalam karyanya. Meskipun terbiasa menulis tokoh utama bergender perempuan, tidak berarti Jessica tidak mau mencoba hal yang baru. Menurutnya, tokoh utama pria adalah tantangan tersendiri. Jessica merasa perlu belajar memahami karakter laki-laki secara psikologis. Dengan demikian, tulisannya akan semakin tajam dan logis.
Pendalaman karakter sebelum menciptakan karya, membuatnya writer block tak pernah mampir kepadanya. Penulis itu perlu prewriting activity yang terdiri dari kegiatan merumuskan apa yang akan ditulis, menggali karakter tokoh, hingga alur cerita. Jika kegiatan ini dilakukan dengan baik, maka writer block tidak akan mampir ke seorang penulis. “Jika penulisnya memiliki bahan yang lengkap dan persiapannya matang, maka tidak akan mungkin terkena writer block,” jelasnya.
Sekitar 7 tahun vakum menulis, setelah Soulmate.Com terbit, bukan karena dihinggapi writer block. Jessica mengungkapkan waktu itu dia sempat patah arang karena buku-buku yang diterbitkan dan beredar di toko buku adalah buku-buku yang sangat kurang mutunya. Hal itu, yang membuatnya vakum menerbitkan buku. “Meskipun vakum menerbitkan buku hingga 7 tahun, tetapi bukan berarti saya tidak menulis. Saya tetap menulis. Mengingat seorang penulis yang jarang menulis, pasti perlu waktu lama jika ingin menulis lagi. Menulis itu seperti olah raga. Jika tidak dilakukan rutin, maka otot-ototnya akan kaku,” ungkapnya.
Luasnya jejaring pertemanan, membuat penulis berdarah Maluku – Sumatera (Batak) sangat terbantu ketika mempromosikan karyanya. Kebiasaannya menulis selama bekerja di industri media masa, membuatnya terbiasa bermain-main dengan kata dan rangkaian kalimat. Artinya, dari segi teknik sudah hafal betul bagaimana memilih kata dan mengolah kalimat sehingga enak dibaca. Kepandaiannya ini, sudah barang tentu meringankan beban editor yang menyunting karyanya.
“Karena sudah terbiasa menulis, so far sih editor-editorku tidak pernah merasa kesulitan untuk mengedit ya. Karena dasar-dasar penyuntingan, sudah paham Ejaan Yang Disempurnakan, sudah paham kalimat itu nggak boleh majemuknya terlalu berumbai-rumbai,” ujar sembari mengakhiri bincang-bincang. (Tisyrin Naufalty T. & Diena Lestari)
Dimuat di Bisnis Indonesia, http://goo.gl/KBBzrI
Novel pertama Dean, L.S.D.L.F. (Lontong Sayur Dalam Lembaran Fashion) yang menceritakan proses produksi sebuah majalah lifestyle, mencuri perhatian pembaca di Tanah Air.
Rasa ragu masih membayangi lulusan Sastra Inggris Universitas Indonesia ini. Berkat dorongan semangat dari Dean, Jessica bersedia mendatangi kantor salah satu penerbit ternama di Ibu Kota. Upaya itu tak berakhir sia-sia. Pada 2006, buku pertama Jessica, berjudul Soulmate.Com diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku bergenre metropop ini termasuk karya yang diburu khalayak.
“Dari dulu saya berkeinginan menciptakan sesuatu. Itu kenapa saya membuat DailySylvia.Com, atau membangun bisnis dengan rekan dan saudara. Salah satu yang saya ciptakan adalah menulis buku. Keinginan untuk menciptakan sesuatu sangat besar dalam diri saya,” ujarnya.
Pilihan Jessy, sapaan akrab Jessica, untuk menjadi penulis tidak lepas dari keresahannya terhadap hal-hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar. Dengan segala keterbatasannya, maka medium buku merupakan pilihan yang tepat untuk menorehkan kritik terhadap prilaku dan peristiwa sosial yang seringkali tidak tepat. Buku, dianggapnya, cocok untuk mengajak khalayak berpikir dan mengubah hal yang tidak tepat menjadi benar.
Pengamatan yang tajam terhadap realitas sosial dan kehidupan sehari-hari, memiliki andil besar dalam menajamkan intuisi Jessica dalam menghasilkan sebuah karya. Karya-karyanya banyak mengulas tentang perempuan, perjuangan hidup, dan cinta.
Melalui tokoh-tokoh yang diciptakannya, Jessica membeberkan perspektif lain mengenai pemaknaan hidup. Kehidupan para tokoh dalam cerita Jessica tidak selamanya beruntung. Namun, dengan semangat pantang menyerah, maka sebesar apapun cobaan hidup yang dialami para tokoh cerita itu, akan selalu terbentang lebar kesempatan baru.
“Pada dasarnya apa yang dialami para tokoh itu sama dengan prinsip yang saya yakini dalam menjalani hidup. Yang pasti, seburuk apapun kehidupan, akan selalu ada peran Tuhan di dalamnya melalui orang-orang yang hadir dalam perjalanan kita. Kehidupan itu begitu murah hatinya untuk memberi kesempatan, meskipun seringkali saya banyak salah dalam memilih tikungan. Hidup itu tidak pernah menyerah sama gue,” tuturnya.
Kesenangan Jessica dalam dunia menulis tidak lepas dari kebiasaan membaca sejak usia belia. Saat kedua orang tuanya bekerja, Jessica kecil banyak menghabiskan waktu membaca dan bermain dengan anjing kesayangannya. Pemilik rambut ikal ini mengakui hobi membaca membuatnya terampil untuk merangkai kata, membuat alur cerita yang mengalir, dan mudah dipahami.
Sebelum terjun ke dunia penulisan secara profesional, Jessica sempat menjajal pasar terkait tulisannya dengan membuat blog. Ternyata blog itu mendapatkan tanggapan yang lumayan besar dari pembaca. Pekerjaan formal yang dilakoninya juga tidak jauh dari dunia tulis menulis.
Berawal dari kegiatan magang, Jessica sempat berkarir di Femina Group pada 2000 – 2004 sebagai wartawan dan editor. Sepak terjangnya di dunia media tak berhenti disitu, selanjutnya Jessica singgah ke MRA Printed Media pada 2004 – 2007. Di sana dia sempat memegang tanggung jawab sebagai senior editor dan managing editor. Setelah itu, di Media Indonesia (Media Group), Jessica sempat mengecap pengalaman sebagai Kepala Divisi Penerbitan. Salah satu tugasnya adalah menangani penerbitan buku, majalah dan tabloid untuk klien. Pada 2012, Jessica dan beberapa rekannya mendirikan DailySylvia.com, situs yang mengulas tentang perempuan karir.
Dia mengaku berkecimpung di media sejalan dengan passion-nya sehingga tak mempedulikan tawaran bekerja di bidang lain. “Kok kayaknya panggilannya lebih ke media gitu. Sampai sekarang. Katanya gitu ya, jadi wartawan nggak pernah berhenti. nggak pernah pensiun?” katanya mengumbar tawa.
Pengalaman bekerja di media, pastinya sangat menguntungkan Jessica. Memiliki jaringan luas dan keterampilan menggali informasi, sangat membantunya saat melakukan riset dalam rangka menajamkan karakter para tokoh dalam karyanya. Meskipun terbiasa menulis tokoh utama bergender perempuan, tidak berarti Jessica tidak mau mencoba hal yang baru. Menurutnya, tokoh utama pria adalah tantangan tersendiri. Jessica merasa perlu belajar memahami karakter laki-laki secara psikologis. Dengan demikian, tulisannya akan semakin tajam dan logis.
Pendalaman karakter sebelum menciptakan karya, membuatnya writer block tak pernah mampir kepadanya. Penulis itu perlu prewriting activity yang terdiri dari kegiatan merumuskan apa yang akan ditulis, menggali karakter tokoh, hingga alur cerita. Jika kegiatan ini dilakukan dengan baik, maka writer block tidak akan mampir ke seorang penulis. “Jika penulisnya memiliki bahan yang lengkap dan persiapannya matang, maka tidak akan mungkin terkena writer block,” jelasnya.
Sekitar 7 tahun vakum menulis, setelah Soulmate.Com terbit, bukan karena dihinggapi writer block. Jessica mengungkapkan waktu itu dia sempat patah arang karena buku-buku yang diterbitkan dan beredar di toko buku adalah buku-buku yang sangat kurang mutunya. Hal itu, yang membuatnya vakum menerbitkan buku. “Meskipun vakum menerbitkan buku hingga 7 tahun, tetapi bukan berarti saya tidak menulis. Saya tetap menulis. Mengingat seorang penulis yang jarang menulis, pasti perlu waktu lama jika ingin menulis lagi. Menulis itu seperti olah raga. Jika tidak dilakukan rutin, maka otot-ototnya akan kaku,” ungkapnya.
Luasnya jejaring pertemanan, membuat penulis berdarah Maluku – Sumatera (Batak) sangat terbantu ketika mempromosikan karyanya. Kebiasaannya menulis selama bekerja di industri media masa, membuatnya terbiasa bermain-main dengan kata dan rangkaian kalimat. Artinya, dari segi teknik sudah hafal betul bagaimana memilih kata dan mengolah kalimat sehingga enak dibaca. Kepandaiannya ini, sudah barang tentu meringankan beban editor yang menyunting karyanya.
“Karena sudah terbiasa menulis, so far sih editor-editorku tidak pernah merasa kesulitan untuk mengedit ya. Karena dasar-dasar penyuntingan, sudah paham Ejaan Yang Disempurnakan, sudah paham kalimat itu nggak boleh majemuknya terlalu berumbai-rumbai,” ujar sembari mengakhiri bincang-bincang. (Tisyrin Naufalty T. & Diena Lestari)
Dimuat di Bisnis Indonesia, http://goo.gl/KBBzrI
Published on May 19, 2014 22:43
•
Tags:
bisnis-indonesia, interview, media, public
Authors seek true self through homebound journey
Galila
By Jessica Huwae
Gramedia Pustaka Utama, 2014
Galila presents a good story with a more compelling subtext behind it. The author has long been concerned with the unwritten rules in the culture of her Batak heritage on her mother’s side of the family; unwritten cultural rules that oblige children to marry other Bataks, regardless of their feelings or desires.
Jessica also shares how uncomfortable she feels by the way her extended family treats her because she is half Ambonese.
Several years ago, Jessica visited her father’s birthplace in Saparua, a remote village in Maluku, for the first time since her father’s passing and immediately fell in love with both the place and its people.
From her own life experiences and observations, Galila, Jessica’s second novel, was born.
The book’s title is the name of its protagonist, a young girl from a coastal village in Saparua whose singing abilities catapult her to stardom after she wins a talent show. She sets off for Jakarta to follow her dream, leaving behind her home, family and the past.
She buries the scars from her past and retains the only reminder of it: her surname.
As she tries to deal with people who are jealous of her or who are attracted to her beauty and fame, she meets Eddie Silitonga, the heir of a family corporation.
They fall in love, although Eddie’s conservative Batak family tries its best to break their relationship.
Galila watches her new life crumble around her feet before she decides to return home to seek an answer to one overriding question: Can a girl with a buried past have a future?
Jessica writes the story with the passion of a journalist, the profession from which she retired in order to focus on creative writing.
Once the chief editor of a young adult fashion magazine, Jessica offers detailed descriptions of makeup rituals, the world of fashion and the lives of celebrities and how the media treats them.
Written in the third person, the characters engage readers in their pursuit for happiness while dealing with the psychological conflict that arises from trying to make peace with the past.
On the surface, the novel appears to be a Cinderella kind of story with a twist, offering rich insights into both Maluku and Batak customs.
Appeared in Jakarta Post, here: http://goo.gl/0uc79r
By Jessica Huwae
Gramedia Pustaka Utama, 2014
Galila presents a good story with a more compelling subtext behind it. The author has long been concerned with the unwritten rules in the culture of her Batak heritage on her mother’s side of the family; unwritten cultural rules that oblige children to marry other Bataks, regardless of their feelings or desires.
Jessica also shares how uncomfortable she feels by the way her extended family treats her because she is half Ambonese.
Several years ago, Jessica visited her father’s birthplace in Saparua, a remote village in Maluku, for the first time since her father’s passing and immediately fell in love with both the place and its people.
From her own life experiences and observations, Galila, Jessica’s second novel, was born.
The book’s title is the name of its protagonist, a young girl from a coastal village in Saparua whose singing abilities catapult her to stardom after she wins a talent show. She sets off for Jakarta to follow her dream, leaving behind her home, family and the past.
She buries the scars from her past and retains the only reminder of it: her surname.
As she tries to deal with people who are jealous of her or who are attracted to her beauty and fame, she meets Eddie Silitonga, the heir of a family corporation.
They fall in love, although Eddie’s conservative Batak family tries its best to break their relationship.
Galila watches her new life crumble around her feet before she decides to return home to seek an answer to one overriding question: Can a girl with a buried past have a future?
Jessica writes the story with the passion of a journalist, the profession from which she retired in order to focus on creative writing.
Once the chief editor of a young adult fashion magazine, Jessica offers detailed descriptions of makeup rituals, the world of fashion and the lives of celebrities and how the media treats them.
Written in the third person, the characters engage readers in their pursuit for happiness while dealing with the psychological conflict that arises from trying to make peace with the past.
On the surface, the novel appears to be a Cinderella kind of story with a twist, offering rich insights into both Maluku and Batak customs.
Appeared in Jakarta Post, here: http://goo.gl/0uc79r
Published on May 19, 2014 22:46
•
Tags:
interview, jakarta-post, media, public
Jessica Huwae
Sipping juices and writing under The Jakarta's sun.
Sipping juices and writing under The Jakarta's sun.
...more
- Jessica Huwae's profile
- 32 followers
