Jessica Huwae's Blog: Jessica Huwae
October 17, 2016
A Complicated Exchange
A Complicated Exchange by Jessica Huwae is the story of a young couple who are establishing the parameters of their first sexual encounter.
'So?'
'Can we go later? There's still a lot of people here.'
'We don't know anyone here, anyway.'
'I'd rather not. You never know.'
'Didn't I tell you we should've gone back to my place?'
'And then what should I say to the people who live at your place?'
'Whatever, we'll tell them you're a friend, who's coming for a visit.'
'No.'
'Or some other place quieter than this?'
'No way. Temptations are everywhere. I'd rather not take the risk.'
'Coward.'
'Fine. You're worse than me. '
'How am I worse than you?'
'Why now?'
'You know why now.'
'It's complicated.'
'You're giving me mixed signals.'
'I'm a woman, not a torch. I shouldn't be the light at the end of your tunnel. Learn to read the signs. Do I have to tell you everything?'
'Are you mad at me?'
'Sorry.'
'You're cute when you pout.'
'I know.'
'Especially, when you pull your bottom lip down like that. Sexy.'
More of the story featured on ABC, you can read here:
http://www.abc.net.au/radionational/p...
'So?'
'Can we go later? There's still a lot of people here.'
'We don't know anyone here, anyway.'
'I'd rather not. You never know.'
'Didn't I tell you we should've gone back to my place?'
'And then what should I say to the people who live at your place?'
'Whatever, we'll tell them you're a friend, who's coming for a visit.'
'No.'
'Or some other place quieter than this?'
'No way. Temptations are everywhere. I'd rather not take the risk.'
'Coward.'
'Fine. You're worse than me. '
'How am I worse than you?'
'Why now?'
'You know why now.'
'It's complicated.'
'You're giving me mixed signals.'
'I'm a woman, not a torch. I shouldn't be the light at the end of your tunnel. Learn to read the signs. Do I have to tell you everything?'
'Are you mad at me?'
'Sorry.'
'You're cute when you pout.'
'I know.'
'Especially, when you pull your bottom lip down like that. Sexy.'
More of the story featured on ABC, you can read here:
http://www.abc.net.au/radionational/p...
Published on October 17, 2016 20:57
•
Tags:
published-work
September 22, 2014
An Excerpt From Javier (Soon, 2014)
Ia mengingatkan akan diriku sendiri saat masih kuliah dulu. Saat kami punya begitu banyak waktu luang untuk mempertanyakan segala sesuatu, mengukur segala sesuatu, menimbang segala sesuatu—menguji teori terhadap segala sesuatu.
Waktu seakan tidak pernah habis. Satu-satunya kekhawatiran kami adalah menjadi tua, dungu, dan membosankan. Itu sebabnya kami menenggelamkan diri dengan begitu banyak buku—meleburkan diri dalam diskusi-diskusi yang (kami pikir) bermutu atau kadang-kadang berakhir buntu.
Kadang kami tak sabar untuk buru-buru mentas dan menaklukkan dunia. Kelak kami tahu, bahwa kami lah yang sebenarnya ditaklukkan. Dan tahun-tahun kami di bangku universitas tidak pernah mempersiapkan kami untuk itu. Untuk menerima kenyataan bahwa dunia adalah tempat yang dingin dan kejam. Saat kami berpikir telah merdeka dari kewajiban mengerjakan tugas dan membaca buku-buku kuliah, saat itulah sebenarnya kepolosan dan kebebasan kami terenggut.
Kami adalah orang yang menunduk dan takluk. Yang mengenakan kemeja kerah putih dan dasi korporasi; mengaburkan nilai-nilai yang pernah dengan begitu ideal kami anut. Lantas kami menghabiskan tahun-tahun di depan kami dengan nostalgia. Berseru, Oh indahnya masa-masa yang penuh kebebasan itu. Namun sebenarnya kami tidak pernah ingin benar-benar kembali.
Karena hidup idealis adalah hidup yang sunyi dan sepi. Bangku kuliah tidak mempersiapkanmu untuk berjuang di jalan yang tidak populer itu. Biaya dan keringat yang kau habiskan saat di bangku universitas adalah untuk mempersiapkanmu untuk memperoleh pekerjaan dan jabatan yang membanggakan, kendaraan dengan interior yang empuk dan pendingin yang nyaman, keluarga yang memandangimu dengan penuh cinta karena kebutuhan mereka tercukupkan, jalan-jalan ke Disneyland, Lego Land—dan bukan untuk membentuk dirimu yang seutuhnya. Lihatlah dirimu yang sekarang—dan dirimu saat kau masih memiliki sinar itu di matamu.
Bukankah engkau yang menanam jarak terhadap dirimu sendiri? (Javier, Coming Soon 2014)
Waktu seakan tidak pernah habis. Satu-satunya kekhawatiran kami adalah menjadi tua, dungu, dan membosankan. Itu sebabnya kami menenggelamkan diri dengan begitu banyak buku—meleburkan diri dalam diskusi-diskusi yang (kami pikir) bermutu atau kadang-kadang berakhir buntu.
Kadang kami tak sabar untuk buru-buru mentas dan menaklukkan dunia. Kelak kami tahu, bahwa kami lah yang sebenarnya ditaklukkan. Dan tahun-tahun kami di bangku universitas tidak pernah mempersiapkan kami untuk itu. Untuk menerima kenyataan bahwa dunia adalah tempat yang dingin dan kejam. Saat kami berpikir telah merdeka dari kewajiban mengerjakan tugas dan membaca buku-buku kuliah, saat itulah sebenarnya kepolosan dan kebebasan kami terenggut.
Kami adalah orang yang menunduk dan takluk. Yang mengenakan kemeja kerah putih dan dasi korporasi; mengaburkan nilai-nilai yang pernah dengan begitu ideal kami anut. Lantas kami menghabiskan tahun-tahun di depan kami dengan nostalgia. Berseru, Oh indahnya masa-masa yang penuh kebebasan itu. Namun sebenarnya kami tidak pernah ingin benar-benar kembali.
Karena hidup idealis adalah hidup yang sunyi dan sepi. Bangku kuliah tidak mempersiapkanmu untuk berjuang di jalan yang tidak populer itu. Biaya dan keringat yang kau habiskan saat di bangku universitas adalah untuk mempersiapkanmu untuk memperoleh pekerjaan dan jabatan yang membanggakan, kendaraan dengan interior yang empuk dan pendingin yang nyaman, keluarga yang memandangimu dengan penuh cinta karena kebutuhan mereka tercukupkan, jalan-jalan ke Disneyland, Lego Land—dan bukan untuk membentuk dirimu yang seutuhnya. Lihatlah dirimu yang sekarang—dan dirimu saat kau masih memiliki sinar itu di matamu.
Bukankah engkau yang menanam jarak terhadap dirimu sendiri? (Javier, Coming Soon 2014)
Published on September 22, 2014 21:53
•
Tags:
2014, bentangpustaka, javier, jessica-huwae, lit, novel, romance, upcoming-book
May 19, 2014
Authors seek true self through homebound journey
Galila
By Jessica Huwae
Gramedia Pustaka Utama, 2014
Galila presents a good story with a more compelling subtext behind it. The author has long been concerned with the unwritten rules in the culture of her Batak heritage on her mother’s side of the family; unwritten cultural rules that oblige children to marry other Bataks, regardless of their feelings or desires.
Jessica also shares how uncomfortable she feels by the way her extended family treats her because she is half Ambonese.
Several years ago, Jessica visited her father’s birthplace in Saparua, a remote village in Maluku, for the first time since her father’s passing and immediately fell in love with both the place and its people.
From her own life experiences and observations, Galila, Jessica’s second novel, was born.
The book’s title is the name of its protagonist, a young girl from a coastal village in Saparua whose singing abilities catapult her to stardom after she wins a talent show. She sets off for Jakarta to follow her dream, leaving behind her home, family and the past.
She buries the scars from her past and retains the only reminder of it: her surname.
As she tries to deal with people who are jealous of her or who are attracted to her beauty and fame, she meets Eddie Silitonga, the heir of a family corporation.
They fall in love, although Eddie’s conservative Batak family tries its best to break their relationship.
Galila watches her new life crumble around her feet before she decides to return home to seek an answer to one overriding question: Can a girl with a buried past have a future?
Jessica writes the story with the passion of a journalist, the profession from which she retired in order to focus on creative writing.
Once the chief editor of a young adult fashion magazine, Jessica offers detailed descriptions of makeup rituals, the world of fashion and the lives of celebrities and how the media treats them.
Written in the third person, the characters engage readers in their pursuit for happiness while dealing with the psychological conflict that arises from trying to make peace with the past.
On the surface, the novel appears to be a Cinderella kind of story with a twist, offering rich insights into both Maluku and Batak customs.
Appeared in Jakarta Post, here: http://goo.gl/0uc79r
By Jessica Huwae
Gramedia Pustaka Utama, 2014
Galila presents a good story with a more compelling subtext behind it. The author has long been concerned with the unwritten rules in the culture of her Batak heritage on her mother’s side of the family; unwritten cultural rules that oblige children to marry other Bataks, regardless of their feelings or desires.
Jessica also shares how uncomfortable she feels by the way her extended family treats her because she is half Ambonese.
Several years ago, Jessica visited her father’s birthplace in Saparua, a remote village in Maluku, for the first time since her father’s passing and immediately fell in love with both the place and its people.
From her own life experiences and observations, Galila, Jessica’s second novel, was born.
The book’s title is the name of its protagonist, a young girl from a coastal village in Saparua whose singing abilities catapult her to stardom after she wins a talent show. She sets off for Jakarta to follow her dream, leaving behind her home, family and the past.
She buries the scars from her past and retains the only reminder of it: her surname.
As she tries to deal with people who are jealous of her or who are attracted to her beauty and fame, she meets Eddie Silitonga, the heir of a family corporation.
They fall in love, although Eddie’s conservative Batak family tries its best to break their relationship.
Galila watches her new life crumble around her feet before she decides to return home to seek an answer to one overriding question: Can a girl with a buried past have a future?
Jessica writes the story with the passion of a journalist, the profession from which she retired in order to focus on creative writing.
Once the chief editor of a young adult fashion magazine, Jessica offers detailed descriptions of makeup rituals, the world of fashion and the lives of celebrities and how the media treats them.
Written in the third person, the characters engage readers in their pursuit for happiness while dealing with the psychological conflict that arises from trying to make peace with the past.
On the surface, the novel appears to be a Cinderella kind of story with a twist, offering rich insights into both Maluku and Batak customs.
Appeared in Jakarta Post, here: http://goo.gl/0uc79r
Published on May 19, 2014 22:46
•
Tags:
interview, jakarta-post, media, public
JESSICA HUWAE Mencipta Buku sebagai Medium Kritik Sosial
Bisnis.com, JAKARTA - Berawal dari perbincangan di sebuah warung di bilangan Jakarta, antara Jessica Huwae dan penulis Syahmedi Dean. Saat itu, Jessica telah merampungkan naskah novel pertamanya. Sementara Dean sudah terlebih dahulu menerbitkan karya.
Novel pertama Dean, L.S.D.L.F. (Lontong Sayur Dalam Lembaran Fashion) yang menceritakan proses produksi sebuah majalah lifestyle, mencuri perhatian pembaca di Tanah Air.
Rasa ragu masih membayangi lulusan Sastra Inggris Universitas Indonesia ini. Berkat dorongan semangat dari Dean, Jessica bersedia mendatangi kantor salah satu penerbit ternama di Ibu Kota. Upaya itu tak berakhir sia-sia. Pada 2006, buku pertama Jessica, berjudul Soulmate.Com diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku bergenre metropop ini termasuk karya yang diburu khalayak.
“Dari dulu saya berkeinginan menciptakan sesuatu. Itu kenapa saya membuat DailySylvia.Com, atau membangun bisnis dengan rekan dan saudara. Salah satu yang saya ciptakan adalah menulis buku. Keinginan untuk menciptakan sesuatu sangat besar dalam diri saya,” ujarnya.
Pilihan Jessy, sapaan akrab Jessica, untuk menjadi penulis tidak lepas dari keresahannya terhadap hal-hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar. Dengan segala keterbatasannya, maka medium buku merupakan pilihan yang tepat untuk menorehkan kritik terhadap prilaku dan peristiwa sosial yang seringkali tidak tepat. Buku, dianggapnya, cocok untuk mengajak khalayak berpikir dan mengubah hal yang tidak tepat menjadi benar.
Pengamatan yang tajam terhadap realitas sosial dan kehidupan sehari-hari, memiliki andil besar dalam menajamkan intuisi Jessica dalam menghasilkan sebuah karya. Karya-karyanya banyak mengulas tentang perempuan, perjuangan hidup, dan cinta.
Melalui tokoh-tokoh yang diciptakannya, Jessica membeberkan perspektif lain mengenai pemaknaan hidup. Kehidupan para tokoh dalam cerita Jessica tidak selamanya beruntung. Namun, dengan semangat pantang menyerah, maka sebesar apapun cobaan hidup yang dialami para tokoh cerita itu, akan selalu terbentang lebar kesempatan baru.
“Pada dasarnya apa yang dialami para tokoh itu sama dengan prinsip yang saya yakini dalam menjalani hidup. Yang pasti, seburuk apapun kehidupan, akan selalu ada peran Tuhan di dalamnya melalui orang-orang yang hadir dalam perjalanan kita. Kehidupan itu begitu murah hatinya untuk memberi kesempatan, meskipun seringkali saya banyak salah dalam memilih tikungan. Hidup itu tidak pernah menyerah sama gue,” tuturnya.
Kesenangan Jessica dalam dunia menulis tidak lepas dari kebiasaan membaca sejak usia belia. Saat kedua orang tuanya bekerja, Jessica kecil banyak menghabiskan waktu membaca dan bermain dengan anjing kesayangannya. Pemilik rambut ikal ini mengakui hobi membaca membuatnya terampil untuk merangkai kata, membuat alur cerita yang mengalir, dan mudah dipahami.
Sebelum terjun ke dunia penulisan secara profesional, Jessica sempat menjajal pasar terkait tulisannya dengan membuat blog. Ternyata blog itu mendapatkan tanggapan yang lumayan besar dari pembaca. Pekerjaan formal yang dilakoninya juga tidak jauh dari dunia tulis menulis.
Berawal dari kegiatan magang, Jessica sempat berkarir di Femina Group pada 2000 – 2004 sebagai wartawan dan editor. Sepak terjangnya di dunia media tak berhenti disitu, selanjutnya Jessica singgah ke MRA Printed Media pada 2004 – 2007. Di sana dia sempat memegang tanggung jawab sebagai senior editor dan managing editor. Setelah itu, di Media Indonesia (Media Group), Jessica sempat mengecap pengalaman sebagai Kepala Divisi Penerbitan. Salah satu tugasnya adalah menangani penerbitan buku, majalah dan tabloid untuk klien. Pada 2012, Jessica dan beberapa rekannya mendirikan DailySylvia.com, situs yang mengulas tentang perempuan karir.
Dia mengaku berkecimpung di media sejalan dengan passion-nya sehingga tak mempedulikan tawaran bekerja di bidang lain. “Kok kayaknya panggilannya lebih ke media gitu. Sampai sekarang. Katanya gitu ya, jadi wartawan nggak pernah berhenti. nggak pernah pensiun?” katanya mengumbar tawa.
Pengalaman bekerja di media, pastinya sangat menguntungkan Jessica. Memiliki jaringan luas dan keterampilan menggali informasi, sangat membantunya saat melakukan riset dalam rangka menajamkan karakter para tokoh dalam karyanya. Meskipun terbiasa menulis tokoh utama bergender perempuan, tidak berarti Jessica tidak mau mencoba hal yang baru. Menurutnya, tokoh utama pria adalah tantangan tersendiri. Jessica merasa perlu belajar memahami karakter laki-laki secara psikologis. Dengan demikian, tulisannya akan semakin tajam dan logis.
Pendalaman karakter sebelum menciptakan karya, membuatnya writer block tak pernah mampir kepadanya. Penulis itu perlu prewriting activity yang terdiri dari kegiatan merumuskan apa yang akan ditulis, menggali karakter tokoh, hingga alur cerita. Jika kegiatan ini dilakukan dengan baik, maka writer block tidak akan mampir ke seorang penulis. “Jika penulisnya memiliki bahan yang lengkap dan persiapannya matang, maka tidak akan mungkin terkena writer block,” jelasnya.
Sekitar 7 tahun vakum menulis, setelah Soulmate.Com terbit, bukan karena dihinggapi writer block. Jessica mengungkapkan waktu itu dia sempat patah arang karena buku-buku yang diterbitkan dan beredar di toko buku adalah buku-buku yang sangat kurang mutunya. Hal itu, yang membuatnya vakum menerbitkan buku. “Meskipun vakum menerbitkan buku hingga 7 tahun, tetapi bukan berarti saya tidak menulis. Saya tetap menulis. Mengingat seorang penulis yang jarang menulis, pasti perlu waktu lama jika ingin menulis lagi. Menulis itu seperti olah raga. Jika tidak dilakukan rutin, maka otot-ototnya akan kaku,” ungkapnya.
Luasnya jejaring pertemanan, membuat penulis berdarah Maluku – Sumatera (Batak) sangat terbantu ketika mempromosikan karyanya. Kebiasaannya menulis selama bekerja di industri media masa, membuatnya terbiasa bermain-main dengan kata dan rangkaian kalimat. Artinya, dari segi teknik sudah hafal betul bagaimana memilih kata dan mengolah kalimat sehingga enak dibaca. Kepandaiannya ini, sudah barang tentu meringankan beban editor yang menyunting karyanya.
“Karena sudah terbiasa menulis, so far sih editor-editorku tidak pernah merasa kesulitan untuk mengedit ya. Karena dasar-dasar penyuntingan, sudah paham Ejaan Yang Disempurnakan, sudah paham kalimat itu nggak boleh majemuknya terlalu berumbai-rumbai,” ujar sembari mengakhiri bincang-bincang. (Tisyrin Naufalty T. & Diena Lestari)
Dimuat di Bisnis Indonesia, http://goo.gl/KBBzrI
Novel pertama Dean, L.S.D.L.F. (Lontong Sayur Dalam Lembaran Fashion) yang menceritakan proses produksi sebuah majalah lifestyle, mencuri perhatian pembaca di Tanah Air.
Rasa ragu masih membayangi lulusan Sastra Inggris Universitas Indonesia ini. Berkat dorongan semangat dari Dean, Jessica bersedia mendatangi kantor salah satu penerbit ternama di Ibu Kota. Upaya itu tak berakhir sia-sia. Pada 2006, buku pertama Jessica, berjudul Soulmate.Com diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku bergenre metropop ini termasuk karya yang diburu khalayak.
“Dari dulu saya berkeinginan menciptakan sesuatu. Itu kenapa saya membuat DailySylvia.Com, atau membangun bisnis dengan rekan dan saudara. Salah satu yang saya ciptakan adalah menulis buku. Keinginan untuk menciptakan sesuatu sangat besar dalam diri saya,” ujarnya.
Pilihan Jessy, sapaan akrab Jessica, untuk menjadi penulis tidak lepas dari keresahannya terhadap hal-hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar. Dengan segala keterbatasannya, maka medium buku merupakan pilihan yang tepat untuk menorehkan kritik terhadap prilaku dan peristiwa sosial yang seringkali tidak tepat. Buku, dianggapnya, cocok untuk mengajak khalayak berpikir dan mengubah hal yang tidak tepat menjadi benar.
Pengamatan yang tajam terhadap realitas sosial dan kehidupan sehari-hari, memiliki andil besar dalam menajamkan intuisi Jessica dalam menghasilkan sebuah karya. Karya-karyanya banyak mengulas tentang perempuan, perjuangan hidup, dan cinta.
Melalui tokoh-tokoh yang diciptakannya, Jessica membeberkan perspektif lain mengenai pemaknaan hidup. Kehidupan para tokoh dalam cerita Jessica tidak selamanya beruntung. Namun, dengan semangat pantang menyerah, maka sebesar apapun cobaan hidup yang dialami para tokoh cerita itu, akan selalu terbentang lebar kesempatan baru.
“Pada dasarnya apa yang dialami para tokoh itu sama dengan prinsip yang saya yakini dalam menjalani hidup. Yang pasti, seburuk apapun kehidupan, akan selalu ada peran Tuhan di dalamnya melalui orang-orang yang hadir dalam perjalanan kita. Kehidupan itu begitu murah hatinya untuk memberi kesempatan, meskipun seringkali saya banyak salah dalam memilih tikungan. Hidup itu tidak pernah menyerah sama gue,” tuturnya.
Kesenangan Jessica dalam dunia menulis tidak lepas dari kebiasaan membaca sejak usia belia. Saat kedua orang tuanya bekerja, Jessica kecil banyak menghabiskan waktu membaca dan bermain dengan anjing kesayangannya. Pemilik rambut ikal ini mengakui hobi membaca membuatnya terampil untuk merangkai kata, membuat alur cerita yang mengalir, dan mudah dipahami.
Sebelum terjun ke dunia penulisan secara profesional, Jessica sempat menjajal pasar terkait tulisannya dengan membuat blog. Ternyata blog itu mendapatkan tanggapan yang lumayan besar dari pembaca. Pekerjaan formal yang dilakoninya juga tidak jauh dari dunia tulis menulis.
Berawal dari kegiatan magang, Jessica sempat berkarir di Femina Group pada 2000 – 2004 sebagai wartawan dan editor. Sepak terjangnya di dunia media tak berhenti disitu, selanjutnya Jessica singgah ke MRA Printed Media pada 2004 – 2007. Di sana dia sempat memegang tanggung jawab sebagai senior editor dan managing editor. Setelah itu, di Media Indonesia (Media Group), Jessica sempat mengecap pengalaman sebagai Kepala Divisi Penerbitan. Salah satu tugasnya adalah menangani penerbitan buku, majalah dan tabloid untuk klien. Pada 2012, Jessica dan beberapa rekannya mendirikan DailySylvia.com, situs yang mengulas tentang perempuan karir.
Dia mengaku berkecimpung di media sejalan dengan passion-nya sehingga tak mempedulikan tawaran bekerja di bidang lain. “Kok kayaknya panggilannya lebih ke media gitu. Sampai sekarang. Katanya gitu ya, jadi wartawan nggak pernah berhenti. nggak pernah pensiun?” katanya mengumbar tawa.
Pengalaman bekerja di media, pastinya sangat menguntungkan Jessica. Memiliki jaringan luas dan keterampilan menggali informasi, sangat membantunya saat melakukan riset dalam rangka menajamkan karakter para tokoh dalam karyanya. Meskipun terbiasa menulis tokoh utama bergender perempuan, tidak berarti Jessica tidak mau mencoba hal yang baru. Menurutnya, tokoh utama pria adalah tantangan tersendiri. Jessica merasa perlu belajar memahami karakter laki-laki secara psikologis. Dengan demikian, tulisannya akan semakin tajam dan logis.
Pendalaman karakter sebelum menciptakan karya, membuatnya writer block tak pernah mampir kepadanya. Penulis itu perlu prewriting activity yang terdiri dari kegiatan merumuskan apa yang akan ditulis, menggali karakter tokoh, hingga alur cerita. Jika kegiatan ini dilakukan dengan baik, maka writer block tidak akan mampir ke seorang penulis. “Jika penulisnya memiliki bahan yang lengkap dan persiapannya matang, maka tidak akan mungkin terkena writer block,” jelasnya.
Sekitar 7 tahun vakum menulis, setelah Soulmate.Com terbit, bukan karena dihinggapi writer block. Jessica mengungkapkan waktu itu dia sempat patah arang karena buku-buku yang diterbitkan dan beredar di toko buku adalah buku-buku yang sangat kurang mutunya. Hal itu, yang membuatnya vakum menerbitkan buku. “Meskipun vakum menerbitkan buku hingga 7 tahun, tetapi bukan berarti saya tidak menulis. Saya tetap menulis. Mengingat seorang penulis yang jarang menulis, pasti perlu waktu lama jika ingin menulis lagi. Menulis itu seperti olah raga. Jika tidak dilakukan rutin, maka otot-ototnya akan kaku,” ungkapnya.
Luasnya jejaring pertemanan, membuat penulis berdarah Maluku – Sumatera (Batak) sangat terbantu ketika mempromosikan karyanya. Kebiasaannya menulis selama bekerja di industri media masa, membuatnya terbiasa bermain-main dengan kata dan rangkaian kalimat. Artinya, dari segi teknik sudah hafal betul bagaimana memilih kata dan mengolah kalimat sehingga enak dibaca. Kepandaiannya ini, sudah barang tentu meringankan beban editor yang menyunting karyanya.
“Karena sudah terbiasa menulis, so far sih editor-editorku tidak pernah merasa kesulitan untuk mengedit ya. Karena dasar-dasar penyuntingan, sudah paham Ejaan Yang Disempurnakan, sudah paham kalimat itu nggak boleh majemuknya terlalu berumbai-rumbai,” ujar sembari mengakhiri bincang-bincang. (Tisyrin Naufalty T. & Diena Lestari)
Dimuat di Bisnis Indonesia, http://goo.gl/KBBzrI
Published on May 19, 2014 22:43
•
Tags:
bisnis-indonesia, interview, media, public
Bookworm: Jessica Huwae finds solace in books
Author Jessica Huwae and her books are inseparable. She usually carries one or two books to read on the go, as well as others that she gives away to friends.
The library owned by a state bank where her father used to work became like a second home during her childhood. On weekends, her mother used to take her on the bus from their home in Cibubur, East Jakarta, to the library
on Jl. Proklamasi, Central Jakarta, and left little Jessica alone there for the day as she went about her church activities.
“It was a long trip and I used to suffer from travel sickness. My mother always reminded me that I would soon be meeting with the books to keep me from retching on the bus,” Jessica recalled.
“Whenever new books arrived, the librarian would hurriedly wrap them in plastic covers and allow me to read them first.”
She was voted the library’s best member on several occasions for the most books borrowed, and by way of prizes, she was given dictionaries and a trivia encyclopedia.
A book hoarder herself, Jessica has a number of books that she has not yet read, either on her bookshelves or stacked high in corners of her home. “Each book has its own time to be found and read,” she said, adding that she had just begun to read Ayu Utami’s Maya (Unreal), which was released in December last year, while rereading Chuck Palahniuk’s Fight Club.
Along with several authors, Jessica has established a book club and is also gathering books to donate to various libraries. She is currently setting up Nyonya Buku (Mrs. Book), a company that will handle the marketing for aspiring writers.
Cala Ibi (2003)
by Nukila Amal
I always love words that rhyme. Nukila Amal pulled it off in Cala Ibi with the word play, rhymes and metaphors. It has become something like my bible, now.
Other women authors whose work I love are Maggie Tiojakin, Oka Rusmini, Ayu Utami and Egyptian writer Nawal El Saadawi.
Kentut Kosmopolitan (2008)
by Seno Gumira Ajidarma
I read this compilation of essays a while ago when I was still working as a journalist. Kentut Kosmopolitan (Cosmopolitan Fart) deconstructs my different perspectives on Jakarta. It was an enjoyable read.
Works of S. Mara Gd
I’m an eclectic reader, but detective novels are my guilty pleasure. And the novels written by S. Mara Gd swept me off my feet. I grew up reading her books and even to this day, I am still hunting for all her first editions at book fairs and sales. I now have 60 percent of her work in my collection.
Taken from, Jakarta Post here: http://goo.gl/wuBVCG
The library owned by a state bank where her father used to work became like a second home during her childhood. On weekends, her mother used to take her on the bus from their home in Cibubur, East Jakarta, to the library
on Jl. Proklamasi, Central Jakarta, and left little Jessica alone there for the day as she went about her church activities.
“It was a long trip and I used to suffer from travel sickness. My mother always reminded me that I would soon be meeting with the books to keep me from retching on the bus,” Jessica recalled.
“Whenever new books arrived, the librarian would hurriedly wrap them in plastic covers and allow me to read them first.”
She was voted the library’s best member on several occasions for the most books borrowed, and by way of prizes, she was given dictionaries and a trivia encyclopedia.
A book hoarder herself, Jessica has a number of books that she has not yet read, either on her bookshelves or stacked high in corners of her home. “Each book has its own time to be found and read,” she said, adding that she had just begun to read Ayu Utami’s Maya (Unreal), which was released in December last year, while rereading Chuck Palahniuk’s Fight Club.
Along with several authors, Jessica has established a book club and is also gathering books to donate to various libraries. She is currently setting up Nyonya Buku (Mrs. Book), a company that will handle the marketing for aspiring writers.
Cala Ibi (2003)
by Nukila Amal
I always love words that rhyme. Nukila Amal pulled it off in Cala Ibi with the word play, rhymes and metaphors. It has become something like my bible, now.
Other women authors whose work I love are Maggie Tiojakin, Oka Rusmini, Ayu Utami and Egyptian writer Nawal El Saadawi.
Kentut Kosmopolitan (2008)
by Seno Gumira Ajidarma
I read this compilation of essays a while ago when I was still working as a journalist. Kentut Kosmopolitan (Cosmopolitan Fart) deconstructs my different perspectives on Jakarta. It was an enjoyable read.
Works of S. Mara Gd
I’m an eclectic reader, but detective novels are my guilty pleasure. And the novels written by S. Mara Gd swept me off my feet. I grew up reading her books and even to this day, I am still hunting for all her first editions at book fairs and sales. I now have 60 percent of her work in my collection.
Taken from, Jakarta Post here: http://goo.gl/wuBVCG
Published on May 19, 2014 22:39
•
Tags:
publication
May 12, 2014
Javier
Menulis memang adalah pekerjaan yang sunyi dan riuh sekaligus. Riuh karena karakter-karakter yang kulahirkan dan kutiupkan napas hidup itu begitu gaduh dan tidak sabar untuk menyatakan diri mereka, menceritakan apa-apa saja yang terjadi dalam hidup mereka, mengeluarkan perasaan mereka yang terdalam. Namun ada kalanya pekerjaan ini tidak memberikanku apa-apa kecuali kesunyian yang membuatmu hampir-hampir merasa gila.
Saat-saat itulah aku merindukan kehadiran Duma. Aku merindukan rengkuhan hangatnya. Matanya yang menatapku seakan-akan aku adalah poros dunianya. Dan senyumnya yang seakan-akan berkata bahwa hidup akan baik-baik saja. Bahwa aku akan tetap menghasilkan karya yang baik, dan dia atau pun dunia tetap menunggu karya-karya terbaikku.
Kelak, baru kutahu bahwa dunia tak pernah menunggu. Seperti ilalang, hari ini kau ada dan esok kau sudah dilupakan orang. Namun terlebih dari itu, aku merindukan logikanya. Aku merindukan realita hidup yang tiada bosan ia lemparkan ke pangkuanku setiap hari.
Termasuk kenyataan bahwa pada akhirnya kami tidak dapat bersama.
Setiap hari kami berjalan menuju arah yang berbeda dan kian menjauh. Sampai satu hari itu datang. Saat aku harus memeluk, mengusap air mata yang turun di wajahku sendiri dan kemudian melepasnya pergi—tanpa ia menoleh sekali pun ke arahku, yang berdiri sambil menatap dengan harap-harap cemas di belakangnya. Menengoklah duma, lihat ke belakang, bisikku perlahan. Lihat aku yang menatapmu dengan perasaan yang merana.
Namun Duma terlalu bersemangat untuk pergi.
Aku menyaksikan punggungnya yang menjauh dan semakin mengecil dari hadapanku. Ada rasa takut yang seketika menyergap, akankah aku melihatnya kembali? Akankah ia peduli akan apa-apa yang kurasa lagi? Atau semuanya benar-benar selesai sampai di sini? Ini adalah hal terberat yang harus ditanggung oleh manusia yang pernah berpasangan dan mengalami dinamika hidup berpasangan. Kau lumpuh sebelah.
Suka tidak suka, mau atau tidak mau mengakuinya. Karena sejak saat itu kau harus menanggung sisa rasamu sendiri—karena kau tidak tahu apakah ia masih peduli padamu, masih secara hikmat menyebut namamu dalam doa-doa malamnya menjelang tidur—atau kau hilang lenyap dari ingatannya begitu saja? Lenyap bersama angin malam yang merayap pelan menuju langit lepas. Meninggalkan dirimu dengan perasaan kebingungan. Padahal kadang kau belum benar-benar siap untuk melepaskan. Kau butuh penutupan. Kau butuh akhir. Agar kau bisa menutup lubang-lubang hatimu. Agar kau bisa menghayati arti sebuah pengakhiran dan mengubur harapanmu dalam-dalam. Demi kebaikanmu sendiri. Tapi bukankah perpisahan memang selalu lebih berat bagi yang ditinggalkan? Ada rasa sesak seperti gelembung-gelembung asam yang memenuhi ruang-ruang di dadamu. Rasanya begitu janggal dan pengap. Dan di saat itulah kau baru memahami arti frasa “setengah mati” karena rasanya memang sungguh demikian. Kau masih hidup, walau sebagian dirimu telah mati.
Dengan caranya, Duma mencoba membantuku menutup salah satu lubang-lubang itu. Seorang pria berkacamata dengan wajah yang memiliki aura ningrat dan perut yang agak maju, segera turun dan membukakan pintu mobilnya. Dengan segera ia menyambut satu tas besar, koper dan sebuah kamera SLR yang menggantung di leher Duma. Tipe pria siaga. Tidak terlalu tampan atau mengesankan memang, namun setidaknya ia tanggap akan kebutuhanmu—dan mau memerhatikan setiap naik turun emosimu bagaikan pahlawan yang bertugas menjaga kota.
Setidaknya itu yang diungkapkan Duma di hari-hari terakhir menjelang perpisahan kami. Seharusnya Duma mencari pria berdarah merah. Jangan biru. Sesalku. Golongan pria berdarah biru itu dingin, kaku dan membosankan. Mereka memuja ritual dan hirarki, terperangkap dalam sangkar kelas-kelas yang mereka ciptakan sendiri. Tentu saja Duma tidak mendengarkanku. Ia tampaknya ingin buru-buru berlalu. Meninggalkan aku, yang mungkin adalah mimpi buruk baginya—dan juga keluarganya.
(Currently working on #Javier, my next writing project. Hopefully I'll manage to publish it this year)
Saat-saat itulah aku merindukan kehadiran Duma. Aku merindukan rengkuhan hangatnya. Matanya yang menatapku seakan-akan aku adalah poros dunianya. Dan senyumnya yang seakan-akan berkata bahwa hidup akan baik-baik saja. Bahwa aku akan tetap menghasilkan karya yang baik, dan dia atau pun dunia tetap menunggu karya-karya terbaikku.
Kelak, baru kutahu bahwa dunia tak pernah menunggu. Seperti ilalang, hari ini kau ada dan esok kau sudah dilupakan orang. Namun terlebih dari itu, aku merindukan logikanya. Aku merindukan realita hidup yang tiada bosan ia lemparkan ke pangkuanku setiap hari.
Termasuk kenyataan bahwa pada akhirnya kami tidak dapat bersama.
Setiap hari kami berjalan menuju arah yang berbeda dan kian menjauh. Sampai satu hari itu datang. Saat aku harus memeluk, mengusap air mata yang turun di wajahku sendiri dan kemudian melepasnya pergi—tanpa ia menoleh sekali pun ke arahku, yang berdiri sambil menatap dengan harap-harap cemas di belakangnya. Menengoklah duma, lihat ke belakang, bisikku perlahan. Lihat aku yang menatapmu dengan perasaan yang merana.
Namun Duma terlalu bersemangat untuk pergi.
Aku menyaksikan punggungnya yang menjauh dan semakin mengecil dari hadapanku. Ada rasa takut yang seketika menyergap, akankah aku melihatnya kembali? Akankah ia peduli akan apa-apa yang kurasa lagi? Atau semuanya benar-benar selesai sampai di sini? Ini adalah hal terberat yang harus ditanggung oleh manusia yang pernah berpasangan dan mengalami dinamika hidup berpasangan. Kau lumpuh sebelah.
Suka tidak suka, mau atau tidak mau mengakuinya. Karena sejak saat itu kau harus menanggung sisa rasamu sendiri—karena kau tidak tahu apakah ia masih peduli padamu, masih secara hikmat menyebut namamu dalam doa-doa malamnya menjelang tidur—atau kau hilang lenyap dari ingatannya begitu saja? Lenyap bersama angin malam yang merayap pelan menuju langit lepas. Meninggalkan dirimu dengan perasaan kebingungan. Padahal kadang kau belum benar-benar siap untuk melepaskan. Kau butuh penutupan. Kau butuh akhir. Agar kau bisa menutup lubang-lubang hatimu. Agar kau bisa menghayati arti sebuah pengakhiran dan mengubur harapanmu dalam-dalam. Demi kebaikanmu sendiri. Tapi bukankah perpisahan memang selalu lebih berat bagi yang ditinggalkan? Ada rasa sesak seperti gelembung-gelembung asam yang memenuhi ruang-ruang di dadamu. Rasanya begitu janggal dan pengap. Dan di saat itulah kau baru memahami arti frasa “setengah mati” karena rasanya memang sungguh demikian. Kau masih hidup, walau sebagian dirimu telah mati.
Dengan caranya, Duma mencoba membantuku menutup salah satu lubang-lubang itu. Seorang pria berkacamata dengan wajah yang memiliki aura ningrat dan perut yang agak maju, segera turun dan membukakan pintu mobilnya. Dengan segera ia menyambut satu tas besar, koper dan sebuah kamera SLR yang menggantung di leher Duma. Tipe pria siaga. Tidak terlalu tampan atau mengesankan memang, namun setidaknya ia tanggap akan kebutuhanmu—dan mau memerhatikan setiap naik turun emosimu bagaikan pahlawan yang bertugas menjaga kota.
Setidaknya itu yang diungkapkan Duma di hari-hari terakhir menjelang perpisahan kami. Seharusnya Duma mencari pria berdarah merah. Jangan biru. Sesalku. Golongan pria berdarah biru itu dingin, kaku dan membosankan. Mereka memuja ritual dan hirarki, terperangkap dalam sangkar kelas-kelas yang mereka ciptakan sendiri. Tentu saja Duma tidak mendengarkanku. Ia tampaknya ingin buru-buru berlalu. Meninggalkan aku, yang mungkin adalah mimpi buruk baginya—dan juga keluarganya.
(Currently working on #Javier, my next writing project. Hopefully I'll manage to publish it this year)
Published on May 12, 2014 01:18
•
Tags:
book, draft, excerpt, javier, jessica-huwae
February 26, 2014
Galila
“Galila.”
“Hanya Galila?”
“Tanpa nama belakang.”
Berusaha mengubur masa lalu dengan meniti karier hingga menjadi diva negeri ini, Galila justru dipaksa menghadapinya lagi tepat ketika hidupnya mulai bahagia: prestasinya gemilang, namanya tersohor, dan Eddie, pria yang dicintainya, akan menikahinya.
Ia pun kembali ke pulau asalnya jauh di timur Indonesia. Menyelami lagi jejak masa silam yang membentuk dirinya sekarang. Menengok kampung halaman yang sempat luluh lantak karena kerusuhan antaragama. Bertanya pada diri sendiri, apakah perempuan tanpa nama belakang Dan masa lalu seperti dirinya masih memiliki masa depan?
#GALILA, coming soon this March 2014.
“Hanya Galila?”
“Tanpa nama belakang.”
Berusaha mengubur masa lalu dengan meniti karier hingga menjadi diva negeri ini, Galila justru dipaksa menghadapinya lagi tepat ketika hidupnya mulai bahagia: prestasinya gemilang, namanya tersohor, dan Eddie, pria yang dicintainya, akan menikahinya.
Ia pun kembali ke pulau asalnya jauh di timur Indonesia. Menyelami lagi jejak masa silam yang membentuk dirinya sekarang. Menengok kampung halaman yang sempat luluh lantak karena kerusuhan antaragama. Bertanya pada diri sendiri, apakah perempuan tanpa nama belakang Dan masa lalu seperti dirinya masih memiliki masa depan?
#GALILA, coming soon this March 2014.
Jessica Huwae
Sipping juices and writing under The Jakarta's sun.
Sipping juices and writing under The Jakarta's sun.
...more
- Jessica Huwae's profile
- 32 followers
