Teguh Affandi's Blog: arsip alterteguh

December 31, 2023

Pohon-Pohon Ibu

Media Indonesia, 18 Juni 2023.

Jikalau Ibu mengajariku untuk berkasih sayang sesama manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan; Bapak sebaliknya: kebencian. Napasnya adalah jerit knalpot truk, lengket kepul timbal, amarah kerap pekat di atas kepala. Gerombolan awan jamur mirip ledakan nuklir itu pula yang membuatnya kabur, menyisakanku dan Ibu menghadapi kemandirian yang dipaksakan.

Dia mencakung di muka pagar, ketika mendung gelap menggelayuti ranting mangga kueni. Wajahnya tak jauh berubah. Selonjor kumis yang dulu sangat kubenci sebab lebih mirip lintah, kini memutih mirip sekubus jadah. Mungkin juga lintah albino. Tas jinjing di tangan kanan, tangan kiri menjentikkan bara rokok. 

Tidak adakah tempat lain untuk dia sambangi, batinku. Kubuat langkah kaki sebiasa mungkin. Meski aku tahu, duka sedang tidak baik-baik saja. Siapa yang berbahagia ketika Ibu baru saja diliputi tanah, penyakit tidak bisa kusogok dengan segala tawaran. 

“Aku terpaksa di luar. Nggak enak masuk, masih banyak saudara Ibumu,” kata Bapak. Bila batang hidungnya terlihat, alih-alih salam atau pelukan, mereka akan lemparan sabit ke wajah Bapak. 

“Saudara-saudara Ibu kan ipar-ipar Bapak juga,” jawabku. Kaki dan tangan kubasuh di kran depan pagar. Duka-duka dari perkuburan harus dilarungkan sebelum masuk rumah. Bila ada tanah, bunga, daun-daun, sesajen yang turut terbawa, kedukaan akan terus membayangi keluarga sripahan. Meski jiwaku remuk, meski mukaku redam oleh kematian Ibu, tidak kubawa sisa-sisa lara dari perkuburan. Biarlah itu semua tersimpan dalam kenangan.

“Langit semakin mendung. Langit saja tahu hari ini hari penuh duka. Kenapa Bapak harus pulang?”

“Aku masih boleh berduka, kan? Aku tetap orang penting dihidup Ibumu….. dan kamu.”

“Aku ragu Tuhan menerima doa Bapak. Pohon mangga saja akan susah berbuah, kalau pokoknya dilukai paku. Apalagi ini….”

Aku tinggalkan Bapak di depan pagar. Langit berkedip oleh kilat ibarat kamera yang diklik. Sore menggelap. Angin tak henti menggoyangkan dahan-dahan di pekarangan. Handuk bekas Ibu, jarik-jarik bergoyang-goyang di tali jemuran. 

***

“Tubuh perempuan adalah sebatang pohon.” 

“Mengapa bisa begitu, Ibu?” tanyaku. 

“Pohon dan perempuan selalu indah. Tajuknya adalah kesejukan. Batangnya tegak, penuh ketabahan. Bunga dan buah yang tumbuh dari pohon bersemi dari keikhlasan dan kasih sayang. Kamu suka duduk di bangku di bawah pohon ketapang itu, kan?”

“Kalau perempuan dan semua ibu adalah pohon, Ibu pohon apa?”

Ibu tertawa sebentar. Kusaksikan gingsul di barisan gigi atas. Kisut kulitnya yang mirip kayu jati itu semakin dalam tercetak di wajahnya.

“Ibu memilih Pohon Randu….”

“Kukira Ibu akan memilih pohon ketapang atau mangga?”

“Pohon randu tidak berbuah. Tetapi panjang usianya, pokoknya tidak terkalahkan oleh angin, petir, atau badai. Ibu ingin menemanimu sampai tua menggerogoti. Meski tidak selamanya memberi buah.”

Ibu tetaplah pohon dengan buah paling berkat, ranting penuh maaf, dan akar-akar kasih. Kepada Ibu Tuhan meletakkan surga. Kepada Ibu Tuhan menghapus duka-duka bocah.

Segelas teh sore itu semakin pahit. Selepas Bapak pergi entah ke mana Ibu menjadi mudah sekali sakit. Gerisik angin pancaroba saja sudah membuatnya layu, pilek bisa bercokol sebulan lamanya, atau sakit kepala terus menempel pada badannya. Batuk membuat Ibu terjaga sepanjang malam, badannya wangi minyak urut bukan parfum mahal. Tidak heran, sebab Ibu menjadi pekerja yang gila-gilaan. Ibu tak malu menjadi penebas padi, membawa truk terbuka dari sawah-sawah pada musim panen, beradu mulut dengan tengkulak kabupaten yang ingin mencurangi harga beli padi pada musim panen.

Benar kata orang: Bapak mengambil peran sebagai benalu di pohon randu milik Ibu. Bapak hanya mengandalkan penghasilannya dari truk batu yang membawa pesanan dari satu kota ke kota lain. Ketika prahara muncul, Bapak memilih pergi dengan lebih dulu merontokkan semua daun di pohon randu Ibu. Tangan Bapak merampas semua daun dan bakal buah dengan parang dari dapur. Bapak melukai pangkal batang randu Ibu. Ibu kuyup air mata tanpa suara. Aku yang masih muda nanar tak kuasa berbuat apa-apa. Bapak minggat, kata tetanggaku. Bapakmu kepincut janda, kata yang lain. Bapakmu ketemu pohon anggur, makanya pohon randunya ditinggalkan.

Ibarat pokok yang bersih dari benalu, Ibu justru semakin makmur-subur. Lima tahun, sepuluh tahun, Ibu menjadi perempuan yang disegani di kampung ini. Rumah kami menjadi lebih tinggi dari rumah-rumah yang lain. Lantai dua tempat kamarku dan kamar Ibu. Sedangkan di lantai bawah, gudang hasil panen yang belum sempat diambil oleh pedagang, sepojok ruang tamu yang penuh barang, juga garasi kecil untuk dua truk yang kini disopiri oleh dua pemuda desa, dan sebuah ruangan yang bisa digunakan siapa saja perewang ketika letih menerjang.

Betulkan…?! Ibumu ibarat pohon mangga yang lepas dari benalu, kata seorang tetangga. Kini keluargamu bebas, dan semakin kaya. 

Namun, Ibu semakin ringkih. Kulitnya makin dekik oleh keriput. Rambutnya mirip kapas randu, memutih semua. Yang kata Ibu pohon randu adalah pohon dengan ketangguhan paling kuat, kini semakin sakit-sakitan. Sedikit angin muson menjelang musim tanam padi, Ibu mudah sekali goyah. Setiap kali aku berniat menggantikan semua pekerjaan Ibu: biar aku yang membawa bak terbuka ke sawah-sawah, mengurusi keluar-masuk barang, dan menemani sopir-sopir ke kota ketika setor. Ibu menolak.

“Kamu kuliah yang benar, jadi pegawai yang benar, Ibu menyela. Pekerjaan kasar ini nggak cocok. Cukup Ibu saja,”Ibu batuk dua kali.

“Kuliah di swasta saja. Biar nggak jauh dari Ibu,” jawabku.

“Kamu lihat sawah-sawah di sekitar ini? Semakin hari semakin sedikit hasil panennya. Ibu tidak tahu, Ibu nggak pinter. Tapi sawah sepertinya mulai membalas keangkuhan manusia. Dulu bengkok lurah bisa menghasilkan 1,5 ton setiap kali panen, sekarang 6-7 kwintal sudah top. Lihat hutan di sekeliling kampung, dulu rimbun sekarang terang habis kayunya. Kamu pasti paham, kamu anak sekolahan yang makan bangku sekolah. Tidak seperti Ibu. Musim hujan makin tidak keruan, kemarau pun lebih panjang. Sekali hujan, membawa banjir. Jadi, biarlah Ibu yang hidup dengan kerja kasar dan berpeluh keringat. Kamu sekolah, selesaikan kuliah, dan jadilah pegawai.” 

Aku mengangguk. Kubaluri kaki Ibu dengan balsem. Panas. Tetapi lebih panas sudut mataku oleh air mata. Ketika aku selesai kuliah dan hendak pindah ke Jakarta sebab kantor pertamaku ada di sana, Ibu jatuh sakit. Ada benjolan sebesar bola kasti di perut Ibu. Bolak-balik ke rumah sakit, ke pengobatan alternatif. Namun pohon Ibu semakin redup. Di awal musim penghujan, tubuh Ibu dimakamkan di bawah pohon randu. Pohon kesukaan Ibu.

***

Pengajian malam itu terburu-buru. Sebab hujan lebat tak sedikit pun mereda. Lebat selebat-lebatnya, seolah kantung-kantung hujan di langit dibuka begitu saja, selebar-lebarnya. Bapak tak ada yang menyapa. Kupersilakan dia untuk mandi dan berganti pakaian yang rapi. Anggap saja tamu, batinku. Semua tamu harus diperlakukan dengan baik, bukan? 

Aku yang bertugas menyapa para santri yang malam itu kuyup sebab hujan. Bapak duduk bersila di pojok ruangan, dan sesekali memberi senyuman. Kutahu semua sedang dilanda kikuk. Lantai satu rumah dibersihkan, dan disulap sebagai tempat pengajian. Selama kurang lebih tujuh hari ke depan, pengajian akan diselenggarakan.

Tepat azan Isya dari musala, doa ditutup. Masing-masing membawa sebungkus makanan dalam plastik sesak doa. Berkat malam itu berisi nasi uduk, ayam ingkung, dan beberapa perlengkapan lainnya. 

Dan mendadak peeeeeet! Mati lampu. Hujan semakin lebat. Beberapa saudara pamit pulang. Aku, dan Bapak menuju lantai atas dengan penerangan lilin. Dan entah mengapa aku hanya ingin duduk di depan televisi yang mati. Aku tak ingin Bapak masuk ke kamar Ibu, apalagi ke kamarku. Kugelar tikar palembang dan kupastikan dia tidak beranjak ke mana-mana. Lagi-lagi hujan semakin lebat, semakin lebat, dan semakin lebat.

Malam itu kami tidak banyak bicara. Sebab suara hujan turun di atas genteng tak terkira lebatnya. Petir pun tak segan mengagetkan. 

“Apa boleh Bapak tinggal di sini? Begini-begini aku adalah Bapakmu,” katanya.

“Tidak usah.” Lantas petir.

Tidur kami malam itu sama-sama tidak nyenyak. Aku menelentangkan badan di sofa depan televisi. Bapak rebah dengan gelisah di tikar palembang. Hujan tak berhenti semalaman. Kutahu, kepulangannya adalah kepulangan penuh kalah. Bisa jadi dia telah diusir istri mudanya. Kematian Ibu menjadi pemicunya untuk kembali.

Menjelang azan Subuh, sirine dari balai desa dan kentongan ditabuh bertalu mengagetkan. Bedug pun ditabuh semakin kencang.

“Banjir! Banjii……ir!”

Hujan semakin menggila. Aku dan Bapak beranjak ke beranda. Kulihat air keruh sudah menggenang, mungkin satu atau satu setengah meter. Dalam pikiranku berkelebat padi-padi yang tergulung air, sawah-sawah yang kalah, wajah petani yang semakin susah, sapi, kambing, ayam, kerbau ternak yang bangun pagi penuh gelisah, juga, kuburan Ibu dengan sedompol anakan randu. Aku meronta sekencang-kencangnya, tetapi pagi masih gelap dan hujan tak sedikit pun susut. 

Catatan:

Sripahan: berduka; Perewang: pembantu atau orang sekitar yang dipekerjakan; Bengkok: Tanah desa yang dimiliki dan diolah oleh pejabat desasebagai pengganti gaji, mulai dari Lurah hingga Carik, Bayan, Modin, dll—semakin ke rendah jabatan, semakin kecil luasan bengkok.

3 likes ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 31, 2023 09:35

December 25, 2023

Ingatan Mencekam Genosida Rwanda 1994

KOMPAS, 24 Desember 2023.



Jangan sampai kisah dalam novel ini terjadi. Ratusan ribu nyawa melayang, ditumpuk menjadi tulang belulang.


Pada hari-hari itu, Tuhan sedang melihat ke arah lain” (hal. 121). Demikianlah rasa putus asa orang-orang Rwanda ketika terjadi pembantaian. Catatan sejarah dan film dokumenter yang bisa kita akses sama-sama menyajikan betapa Rwanda selama 100 hari menjadi lautan mayat dan darah. Tercatat nyaris satu juta nyawa orang menjadi korban sepanjang April sampai dengan Juni 1994. Tercatat pula hampir dua juta penduduk Rwanda meninggalkan negerinya setelah peristiwa tersebut.

Boris Diop secara sadar mencampurkan bangunan fiksi dengan elemen faktual, membuat jalinan kisah dalam Murambi, Buku tentang Tulang Belulang (2023) kian mencekam dan menebar teror. Seolah tidak sedang membaca novel, tetapi menyusuri lokasi kejadian dengan mata kamera.

Konflik yang disulut oleh demarkasi suku-etnis yang adalah oleh-oleh kolonialisme, kemudian diperuncing oleh provokasi, pecah menjadi tragedi horisontal. Mayat bergelimpangan, setumpuk tengkorak di tengah sekolah, cerita-cerita pemerkosaan, pembantaian massal, dan tragedi-tragedi mengerikan yang semua pembaca berharap hanya terjadi di ranah fiksi.

Sebagaimana ditulis dalam catatan penerjemah, Ari Bagus Panuntun, akar persoalan utama bahkan sebelum pecah genosida 1994 adalah garis demarkasi antarsuku di Rwanda yang sengaja ditabalkan oleh pihak kolonial. Dalam hal ini, Jerman, kemudian dilanjutkan oleh Belgia, dan meledak ketika Perancis. Jerman secara jelas membagi peranan tiga etnis, yaitu Hutu, Tutsi, dan Twa. Belgia kemudian memperjelas dengan masing-masing dengan memberi keterangan etnis di kartu tanda pengenal. Ibarat sekam, dia meledak ketika Rwanda merdeka dan terjadi perebutan kuasa antara Tutsi dan Hutu.

Dan benar saja: hal pertama yang ingin mereka tahu adalah apakah aku Hutu, Tutsi, atau Twa” (hal. 28).

Sebagaimana genosida di negara lain, tragedi di Rwanda tentu tidak sekadar bermusabab tunggal. Provokasi dari entah siapa dan apa, nyatanya memperparah. Bagaimana buntut penembakan pesawat Presiden Rwanda Juvénal Habyarimana yang sampai sekarang belum terang siapa pelakunya. Selain itu, juga timbunan perkara kelas dan ekonomi memperparah tragedi ketika sulutan api konflik dilentikkan.

…menjadi Interahamwe (tentara militer buatan etnis Hutu) berarti siap membunuh atau justru tewas terpenggal. Bagiku, itu sama sekali bukan masalah. Aku sudah mempelajari sejarah negaraku dan paham bahwa kami dan orang Tutsi tak akan bisa hidup bersama”(hal. 47).

Kompleksitas ragam suara

Novel ini disusun dengan ragam suara dan prespektif. Mengingatkan bagaimana Han Kang menyusun dan merekonstruksi kerusuhan Gwangju dalam novel Human Acts. Tragedi didekati dengan ragam sudut agar bulat dan menggenapi sudut pandang. Secara awam, tampak penulis ingin berdiri hadir di sentra tanpa membela satu tertentu. Namun, sejatinya penulis justru menjadi pihak paling tanpa beban untuk menguliti borok-borok di setiap pihak dan tokoh.

Sebagaimana tokoh dokter Joseph Karekezi, yang digambarkan sebagai orang tersohor, baik hati dari kalangan Hutu, tetapi memiliki istri seorang Tutsi. Keterpandangan dan kebaikan selama hidupnya berbalik ketika tragedi terjadi. Dokter Karekezi nyatanya diceritakan mengumpulkan ratusan orang Tutsi di salah satu gedung SMK dan tentu mereka semua percaya sebab tidak ada tanda-tanda pengkhianatan dari dokter Karekezi, termasuk istri dan anak-anaknya. Ketika semua berkumpul, tentara Hutu membinasakan mereka.

Pengkhianatan dan mungkin juga buta sebab kalau tidak membunuh akan dibunuh, juga disinggung Boris Diop atas kisah tokoh pemuka agama yang justru memerkosa. Juga bagaimana tetangga saling tikam.

Selain majemuk secara suara, kisah dalam novel ini juga memiliki perbedaan dalam segi latar waktu. Kisah pulangnya Cornelius, anak dari dokter Karekezi, empat tahun lepas genosida juga menarik. Muncul keheranan, termasuk pembaca, bagaimana dalam waktu yang cukup relatif singkat genosida menjadi barang basi untuk dibicarakan. Seolah ratusan ribu nyawa yang melayang tidak ada berarti apa-apa, selain setumpuk tulang belulang yang tidak bisa bicara, tidak bisa membela. Maka, pantas jika penerjemah menyebut buku ini adalah potret pra-genosida, genosida, dan pasca-genosida. Pembaca akan ditampar betapa nyawa manusia tak berharga.

Kengerian dalam cerita Boris Diop berhasil menjadi teror tidak lain juga sebab tangan dingin penerjemah. Ari Bagus Panuntun yang konsen pada sastra frankofon dengan apik dan akrobatik menerjemahkan.

Kaitannya dengan Indonesia

Membaca Murambi, Buku tentang Tulang Belulang ini rasanya seperti tidak asing. Indonesia pernah mengalami pertempuran berdarah melawan sesama bangsa sendiri, korban nyawa berjatuhan, pemerkosaan di mana-mana, perampasan harta benda, hingga asal tuduh demi balas dendam. Lebih kurang sama dengan apa yang dikisahkan Boris Diop dalam buku ini.

Rwanda dengan genosida mengerikan dalam novel ini, seperti sebuah suryakanta raksasa. Kesamaan dengan Tragedi 1965 rasanya bukan kebetulan semata. Terasa betul bahwa buku ini ”perlu” diterjemahkan dan dibaca oleh publik Indonesia.

Boris Diop secara gamblang menyebut keterlibatan Perancis dalam genosida di Rwanda. Bukti sejarah memang demikian. Namun, mau terbukti eksplisit atau sekadar teori konspirasi, kondisi politik suatu negara pasti terkait dengan konstelasi politik internasional. Apalagi, seperti Rwanda pun Indonesia yang adalah pernah dijajah. Jika Boris Diop dalam fiksinya menyinggung langsung keterkaitan Perancis. Kapan ada penulis Indonesia yang berani menuliskan hal senada?

Tema Tragedi 1965 kebanyakan ditulis dalam bentuk romantisasi korban. Setidaknya sampai sekarang, belum ada yang berani secara terang benderang menyampaikan keterlibatan pihak luar. Padahal, sudah banyak data ilmiah yang mencantumkan keterlibatan Amerika dalam Tragedi 1965.

Membaca novel ini juga diingatkan betapa keragaman adalah kekayaan sebuah negara, tetapi juga rawan gesekan identitas. Akar persoalan Rwanda salah satunya adalah demarkasi Hutu-Tutsi yang ditebalkan dan terus dipupuk oleh kolonialisme. Eksotisasi setiap etnis menjadi sisi runcing yang siap mengonyak. Indonesia dalam beberapa hal memiliki bakat demikian. Beragam suku dan agama yang kerap digoyang politik identitas, lebih-lebih di masa tahun politik seperti sekarang.

Pelajaran lepas membaca Murambi, Buku tentang Tulang Belulang adalah semakin kita menaikkan saturasi setiap etnis dan agama, maka bibit perpecahan akan terus ada. Jangan sampai kisah dalam novel ini terjadi. Ratusan ribu nyawa melayang, ditumpuk menjadi tulang belulang. Benar kata Boris Diop dalam buku ini, ”Yang tak bersalah tidak mati, mereka beristirahat” (hlm 118). Namun, kehidupan tetap kehidupan. Ketika mereka menjadi tumpukan tulang, jangankan membela, menceritakan kisah mereka saja tak ada kuasa. []

Versi web bisa ditengok pada tautan berikut: https://www.kompas.id/baca/opini/2023/12/24/ingatan-mencekam-genosida-rwanda-1994?open_from=Artikel_Opini_Page

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 25, 2023 02:47

December 23, 2023

Perahu Cinta, Martabat, dan Hidup yang Tidak Hitam Putih

Diskusi buku bersama Seno Gumira Ajidarma dan Cholil Mahmud, Jumat (17 November 2023) di Kios Ojo Keos

Pelacur sudah kadung menyandang makna negatif dalam benak masyarakat. Contoh, orang akan terperanjat ketika mendengar jawaban bahwa suatu malam kita ditemani Para Pelacur dalam Perahu, untuk memberi tahu bahwa kita sedang khusyuk menyelesaikan novel terbaru Seno Gumira Ajidarma. Yang mendengar akan menduga kita sedang ‘membeli’ tubuh orang lain, baik perempuan maupun lelaki. Profesi disebut sebagai profesi paling tua di dunia ini memiliki makna yang selalu buruk, bahkan ketika mereka belum sempat diberi kesempatan menjelaskan, apalagi membela. 

Tidak demikian dalam teks sastra. Sastra haruslah memberi tafsir lain atau ruang baru bagi siapa pun, termasuk kata (atau pun profesi) pelacur. Para Pelacur dalam Perahu, fiksi panjang Seno Gumira Ajidarma yang baru saja terbit ini secara teknis memang mengisahkan para pelacur yang menyusuri sungai dalam sebuah Perahu Cinta, tentulah mereka menjajakan cinta kepada pelanggan sebab dengan ini mereka disebut sebagai pelacur. 

Seno dengan kesadaran penuh tidak tampil sebagai narator yang berlagak suci dan menghakimi, pun tidak pada sisi ekstrem sebaliknya yang membela habis-habisan. Seno dalam novel menempatkan pelacur sebagai perempuan yang berdaya dan hidup yang kebetulan saja dalam perahu. Dan sebagaimana manusia pada umumnya, pelacur juga memiliki martabat. Dan beginilah Seno memulai tragedi pembakaran rumah bordil milik Tumirah: 

“Para pelacurnya diperkosa, yang melawan dianiaya, dana sebagian besar dibunuh karena mempertahankan kehormatan. Tentu saja para pelacur mempunyai kehormatan. Mereka bukan hanya berdarah dan berdaging. Mereka mempunyai hati, nurani, perasaan, dan pikiran.” (hal.1)

Rumah Bordil milik Tumirah ada di kawasan antara; di tengah wilayah konflik; antara kamp gerilyawan dan markas tentara; sehingga pelacur-pelacur milik Tumirah juga harus melayani mereka secara bergantian antara tentara dan gerilyawan. Namun, pelaku-pelaku pembakaran dan penganiaya para pelacur bukan dari salah satu mereka. Melainkan, sekelompok lelaki berbaju serbahitam dengan topeng mirip ninja. Mereka merangsek dan merusak, sehingga Tumirah bersama 20 pelacur yang selamat dari jumlah total 50 orang pelacur, harus mencari suaka dengan menaiki kapal dan menyusuri sungai.

Pada mulanya, Tumirah tidak mempunyai niatan menjadikan perahu mereka sebagai tempat bertransaksi, sebab Tumirah dan rombongan hanya menyelamatkan diri. Sampai menjauhi kesedihan, meminjam jawaban Tumirah ketika ditanya sampai mana perahu akan berlayar. Namun dalam pemberhentian pertama, ketika perahu harus bersandar sebab mulai kehabisan bekal, pelacur yang dengan naluri dasarnya menyukai dandan, turun ke daratan dan menyedot perhatian. Dari sanalah Tumirah harus menerima kenyataan bahwa kehadiran mereka mau tidak mau akan terus mencolok mata laki-laki yang kemudian turut ke perahu-perahu kecil. 

Setelah perahu biasa itu dirombak menjadi Perahu Cinta dengan lampion merah menyala ketika malam, perahu itu melaju menyusuri sungai dengan kejutan dan misteri yang tidak pernah diduga. Ada kematian, ada penyerangan, ada pelacur yang harus turun dan menikah dengan orang lokal, ada serbuan ular, dan kelak perahu akan bersua dengan kematian.

Seno Gumira Ajidarma dan Para Pelacur-nya telah berhasilmenggoyang-goyangkan kesadaran pembaca.

Martabat dan Paradoks

Sebelum memulai membaca, kita mungkin sudah akan ketakutan novel ini akan orkestrasi pandangan machoisme terhadap profesi dan perempuan yang dikisahkan. Namun sampai novel ini rampung, kita justru dibawa ke kesadaran bahwa perahu dan pelacur yang hidup di dalamnya hanya simbol akan eksistensi kehidupan yang terus bergerak, menunggu keajaiban demi keajaiban, sesekali dukacita yang lantas berujung pada kefanaan itu sendiri. 

Juga dalam menggambarkan tokoh-tokoh perempuan Seno hadir dengan kesadaran gender yang patut dicatat baik. Seno menggambarkan bahwa semua kru adalah perempuan, kecuali Roni seorang lelaki juru kecantikan seorang. “Pada prinsipnya Tumirah tidak bersedia menerima lelaki sebagai pegawainya. Namun tentu Roni adalah perkecualian, karena Roni tergolong teruna, lelaki yang keperempuan-perempuanan; yang terpenting, ia menguasai sangat banyak hal tentang kecantikan.” (hal.44)

Tumirah, digambarkan perempuan alfa yang dominan dan mampu menjadi pemimpin. Ada Supiah perempuan dengan tubuh kekar tinggi besar, jago beladiri yang kemudian menjadi penjaga Perahu Cinta dan para pelacur Tumirah. Supiah juga yang mengajari para pelacur jurus setiap pagi sebelum belajar Kāma Sūtra. Ada perempuan juru kemudi, perempuan ahli mesin, ada pelacur pembaca puisi, pemain biola, ahli filsafat, dll. Atau bagaimana para pelacur ini memiliki kesadaran akan orientasi seksual bahwa tidak selamanya hubungan lelaki-perempuan, kadang kalanya lelaki-lelaki, perempuan-perempuan, dan lain sebagainya.

Tokoh perempuan dalam novel ini digambarkan berdaya dengan pilihan dan kemampuannya, serta tidak terjebak untuk menghakimi seperti sekelompok orang berbaju serbahitam. Selain itu, beberapa hal juga digambarkan sangat paradoks yang menyentak kesadaran pembaca. Di tengah konflik, justru yang mengingatkan kehidupan ialah kehadiran rumah bordil. 

Rumah bordil di tengah hutan yang menjadi medan pertempuran itu adalah satu-satunya yang mengingatkan bertapa kehidupan masih berharga, tulis Seno dalam novel. 

Juga bagaimana adegan para istri di salah satu pemberhentian yang naik ke kapal bukan melabrak para pelacur, justru naik untuk belajar mengapa para pelacur itu mampu membuat suami mereka berbahagia selepas turun dari Perahu Cinta. Fenomena ini kemudian menyadarakan Tumirah bahwa hampir dalam banyak hal perempuan kalah.

Mengapa perempuan yang begitu pandai selalu jadi korban, bahkan dianggap paut dikorbankan? Karena perempuan berpikir seperti lelaki memikirkan mereka, bukan berpikir sebagaimana seharusnya perempuan memikirkan diri mereka sendiri. (hal. 68)

Hal-hal yang bersifat paradoksal menjadi hal menarik, termasuk bagaimana hidup yang disimbolkan lajunya perahu di atas aliran sungai justru diwakili oleh para pelacur yang selama ini menyandang makna negatif. Bukan mereka yang suci dan berbaju serba putih yang justru hadir di akhir lantas membawa kehancuran. 

Bahkan dengan bahasa cukup keras, Tumirah tidak menyerahkan doa dan berkat kepada agama ketika salah seorang pelacur wafat. Sebab agama bisa diartikan sebagai yang diciptakan dan konsensus manusia. Menurut Tumirah, “bukan agama atau petugas agama yang mampu memberkati, melainkan Tuhan, yang bahkan tidak beragama bukan? Kami hanya bisa mendoakan.” (hal.195)

Menggoyang-goyang Kehidupan

Tapi apakah kehidupan itu sebetulnya, jika bukan perjalanan itu sendiri, pengembaraan dan petualangan tanpa akhir…” (hal.152)

Perahu Cinta dengan lampion merah adalah perjalanan hidup, menyusuri sungai dan ragam perjumpaan dan kemudian berakhir dengan kehancuran. Dalam perjalanan hidup itulah manusia akan mereguk makna atau setidaknya memandang hidup tidak dengan hitam-putih. Seno Gumira Ajidarma dan Para Pelacur-nya telah berhasil menggoyang-goyangkan kesadaran pembaca. Tidak hanya kisah perjalanan, tetapi juga makna dan peran pelacur yang selama ini nista dan haram-jadah. Tumirah, Supiah, dan para pelacur lainnya dipilih untuk menyampaikan pesan penting perihal menjalani hidup. Dan tentu, melempar simbol-simbol yang tidak bisa dicerna dalam sekali pembacaan. Mungkin kita seperti seorang pendekar muda berkuda putih yang turut mengirin dari tepian sungai Perahu Cinta, seolah memahami betul apa itu hidup dan aliran kehidupan, nyatanya sesekali tersesat dan buta juga. []

Di situs Jawa Pos: https://www.jawapos.com/buku/013650200/perahu-cinta-martabat-dan-hidup-yang-tidak-hitam-putih

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 23, 2023 20:11

December 10, 2023

Aroma Bawang

Sumber Gambar: Unsplash/elijahlychik

Semenjak itu aku membenci rumah sakit, terlebih rumah sakit untuk orang-orang miskin yang menyediakan sebuah ruangan besar berisikan enam hingga delapan ranjang. Hanya sehelai gorden yang memisahkan masing-masing ranjang. Cita-citaku semenjak itu berubah, semua-mua aku kerjakan agar bila suatu saat aku sakit, aku tidak harus tinggal di ruangan besar yang digunakan bersama di rumah sakit. Bersua dan menghabiskan 24 jam dengan orang-orang yang tidak kukenal. Aku enggan. Aku malas. Aku ketakutan.

Ibuku mengaduh suatu pagi, lututnya kesakitan. Dia, sebagaimana perempuan tua pada usianya, memang kerap mengeluhkan sendi entah itu di lutut atau di pergelangan kaki yang linu dan kesakitan setiap berdiri sehabis duduk mengupas bawang—ibuku petani bawang dan tidak mau mendelegasikan semua pekerjaan kepada orang lain, dia harus tetap terlibat dalam setiap proses. Kupikir dan berulang kali kusampaikan, dia perempuan yang sudah bau bawang ditambah bau minyak urut. “Mending bau wangi, Bu,” kataku yang kerap disambut dengan layangan tangan.

Sehabis sarapan, ibu meminta diantar ke rumah sakit terdekat. Dan aku, seperti biasa berhalangan, sebab aku tidak tinggal sekota dengan ibu. Munir, kemenakan ibu, yang mengantar. Cerita lengkap dan detail kejadiannya baru kuketahui dua hari kemudian, tetapi sore selepas jam kerja, Munir menelepon mengabarkan kalau ibu dirawat di rumah sakit. 

“Sebab linu di lututnya?” aku takut bukan sebab perkara minyak sendi, tetapi sesuatu yang mematikan tumbuh di lutut ibu.

“Bukan. Lututnya baik-baik saja. Tetapi tangannya.”

“Tangannya juga linu?”

“Bukan. Ketika hendak pulang dari rumah sakit, bude mampir membeli rambutan dan mangga,” memang sedang musim rambutan dan mangga. Dan meski ibu tidak menggemari dua buah itu, sebab rambutan kerap jadi sarang semut dan mangga paling enak adalah ketika sudah dijus, tapi ibu kerap membeli buah dan semua jenis kudapan dalam jumlah banyak. Tiada lain untuk para pekerja di rumah yang dari pagi hingga Magrib membantu mengupas bawang. “Bude tidak mau dibantu mengangkat dua plastik besar mangga dan rambutan.”

“Dia keseleo, atau bagaimana?” suaraku mulai tidak sabar.

“Bukan. Bude terjatuh, kemudian tangan kirinya menjadi tumpuan.”

“Astaga….!” Mataku mengernyit, membayangkan luka yang dirasakan ibu.

“Tulang hastanya mencuat.”

“Sekarang bagaimana?” aku mulai khawatir.

“Bude sudah ketawa-ketiwi. Katanya besok sudah mau pulang.”

“Tidak boleh. Jangan sampai pulang, sebelum aku melihatnya langsung. Dan memastikan semua baik-baik saja.”

“Kan Jakarta jauh….”

Meski jauh, esok paginya aku sudah sarapan nasi pecel dalam pincuk daun jati di depan rumah sakit tempat ibu dirawat. Langit di kabupaten lebih biru dari langit Jakarta. Udara sama-sama penuh timbal dan karbon monoksida, hanya mungkin kadarnya yang lebih rendah dari jalanan Jakarta. Munir kuminta pulang, sekaligus menyampaikan pesan kepada semua orang yang bekerja mengupas bawang dan para tetangga untuk tidak perlu menjenguk ibu sendiri-sendiri apalagi berombongan. Selain itu akan menganggu istirahat ibu, kamar ibu juga tidak seorang diri seperti yang kupikirkan. Munir juga punya tugas tambahan; memastikan bawang-bawang sudah selesai dibersihkan sebelum lembab dan jamur merusak panen.

Perihal kamar, aku meminta ibu untuk pindah ke kamar yang lebih baik. Minimal ibu bisa istirahat dengan tenang tanpa harus terganggu oleh riuh pasien di ranjang sebelah. Ibu kan yang sakit cuma tangan, nggak usah buang-buang duit. Ibu memang demikian. Kamu kalau balik sarapan, bawa gorengan yang banyak. Bagi-bagi ke pasien sebelah, atau setidaknya yang jaga mereka. 

Sebab kebaikan atau setidaknya keramahtamahan ibu ini, aku akhirnya berkenalan dengan Ranti Dewanti. Perempuan yang sudah menikah tiga kali dan diceraikan dua kali, sebab dari kelaminnya kerap keluar cairan busuk yang itu konon membuat dirinya tidak pernah hamil. Saat kutanya apa suami ketiganya tidak protes, Ranti Dewanti terkikik keras. 

“Suamiku yang ketiga ini tua. Tua sekali. Bahkan lebih tua dari bapakku,” jawab Ranti Dewanti. Kuperhatikan lelaki tua yang mengorok di ranjang. Kutaksir usianya 60-an awal, sebaya dengan ibu. 

“Tapi kan, lelaki punya hasrat yang abadi,” jawabku.

“Aaah, aku punya cara sendiri untuk itu.”

Aku menyodorkan mendoan dan sepincuk nasi pecel kepada Ranti Dewanti. Dia hendak menolak, yang kutahu memang demikianlah pakem basa-basi ketika ditawari makanan dari orang asing. Ibuku dari ranjangnya menyuruh, bahkan akan marah kalau Ranti Dewanti menolak. Ranti Dewanti menerima kemudian gantian mengulurkan dua buah pisang rebus yang montok dan masih hangat. 

Pagi itu kami berdua bercakap-cakap. Ranti Dewanti sudah seminggu menjaga ayahnya yang entah sakit apa. Setiap diperiksa dokter, hanya ditemukan gula dan tekanan darah tinggi yang mencuat. Sisanya baik-baik saja. Jantungnya apik. Paru-parunya meski aus, bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Pun ginjal, pankreas, hati, usus, dan bagian-bagian dalam lainnya. Namun, ayahnya kerap mengeluhkan sakit menusuk di dekat pusarnya. 

“Seperti ada pisau yang menyayat-nyayat,” imbuh Ranti Dewanti.

“Apa nggak dibawa ke rumah sakit yang lebih besar saja,” usulku. Sebab rumah sakit kabupaten, pikirku tidak memiliki fasilitas selengkap, misalnya, rumah sakit di provinsi. 

“Ayah dibawa ke sini, sebab sudah seminggu juga di rumah sakit Semarang. Dan tidak membuahkan apa-apa, selain dua ekor sapi jantan harus kami jual.”

“Lantas, kata dokter apa?”

“Mungkin sejenis penyakit tua yang ajaib.”

Frasa ajaib ini kemudian aku simpan sampai berhari-hari kemudian. Yang entah mengapa kuyakini menjadi biang segala yang muncul di malam harinya. Ranti Dewanti minta undur diri untuk mandi dan memintaku menjaga kalau-kalau lelaki tua di ranjang terbangun. Untung sampai dia selesai mandi dan tubuhnya wangi sabun murahan, lelaki tua itu masih ngorok cukup keras.

***

Lelaki tua di samping ranjang ibuku, tepat pukul sepuluh malam, ketika aku sedang membuka laptop untuk memeriksa surel, berteriak sekencang-kencangnya. Benar-benar kencang, seolah tenaganya dicurahkan semuanya. Ranti Dewanti sedang rakaat terakhir solat Isya di tengah ruangan. Aku terhenyak dan menyaksikan ibu juga terhenyak kaget. Enam orang lain dan para penjaga masing-masing juga terhenyak. Gorden tipis warna biru tidak cukup kedap menyerap teriakan lelaki tua itu.

“Inggih… Kanjeng Ratu! Saya siap. Saya siap mengabdikan jiwa raga saya!” lelaki tua itu cukup keras berteriak.

Aku menutup laptop, kemudian berbisik kepada ibu. Ada apa ini, ibu? Ibu menggeleng. Tapi lekas meraih tasbih. Telunjuk kanannya memutar-mutar biji tasbih. Kupikir semua orang di ruangan itu sama takutnya denganku. Apakah ini tanda lelaki tua sedang di tubir kematian? Ataukah dia hanya terbangun sebab mengigau atau mimpi buruk? 

Ranti Dewanti tanpa membuka mukena apalagi melipat sajadah, gegas menghampiri tubuh bapaknya. Aku pun membuka lebar-lebar kain pembatas ranjang ibu dan ranjang lelaki tua itu. Dia tidak seperti pagi tadi yang begitu layu, lemas. Lelaki tua itu kini sudah berdiri tegak menjulang, tangannya sedekap di dada. Matanya melotot, hanya tampak bagian yang berwarna putih. Ranti Dewanti mengelus-ngelus dan melafazkan kalimat-kalimat doa.

“Pak….. Istigfar, Pak…. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Laaa Ilaha Illallah!” wajah Ranti Dewanti tidak berubah. Tetap tenang. Bibirnya bergerak-gerak. Sedang lelaki tua itu benar-benar tidak menggubris apa-apa yang dilakukan oleh Ranti Dewanti. 

“Kanjeng Ratu, kehadiran Kanjeng Ratu sungguh hamba rindukan. Kanjeng Ratu… Kanjeng Ratu…”

“Pak… Pak… Istigfar, Pak.”

Lelaki tua itu berhenti sejenak. Tangannya lunglai di sisi tubuh. Aku berusaha memencet-mencet tombol panggilan suster. Dan entah tombol itu tidak berfungsi atau bagaimana, tidak ada yang muncul dari pintu. Suster dan dokter seperti budeg, tidak mendengar apa pun malam itu. Seharusnya teriakan lelaki tua ini sudah cukup mengguncang rumah sakit. 

Ranti Dewanti kembali tenang, ketika lelaki tua itu tidak lagi meracau aneh-aneh. Tetapi beberapa jenak kemudian lelaki tua itu menangis kencang sekali. 

Hiiiihiiihiiihiii…. Kanjeng Ratu, jangan tinggalkan hamba. Kanjeng Ratu….”

Sunyi sejenak. Kipas angin di empat pojok ruangan menampar-nampar dingin di tengkukku. Menyapu-nyapu seperti embusan napas seseorang. Ranti Dewanti masih tak henti melafazkan kalimat-kalimat suci. Aku memeluk ibu. Ibuku pun membaca hafalan-hafalan surat alquran. Aku hanya berpikir, adegan apa ini? Mungkinkah lelaki tua itu kesurupan sesuatu di ujung usianya?

Berkali-kali, bergantian. Dia teriak-teriak. Kemudian menangis tergugu seperti anak kecil. Semua orang terjaga, meski tidak semua membuka pembatas kain birunya. Aku yang menyaksikan Ranti Dewanti menangisi dan melantunkan kalimat zikir pun tak bisa berbuat apa-apa. Setengah jam kemudian, dokter dan suster jaga datang menyuntikkan obat penenang atau obat tidur tidak kupahami. Hanya saja, sejenak kemudian lelaki itu terduduk kemudian terbaring. Lantas tertidur. Entah kelelahan atau memang efek dari obat yang disuntikkan.

“Maafkan, bapakku, ya.”

Aku menggeleng, sambil menyodorkan sebotol teh kemasan dingin. Kupikir dia pasti butuh sesuatu yang menenangkan diri dan mendinginkan kepala.

“Apa dia sering begitu?”

“Sejak sakit, baru seminggu terakhir ini. Setiap malam. Suster dan dokter sampai bosan,” jawab Ranti Dewanti. Ah, pantas panggilanku tidak dihiraukan. “Mereka bilang ini semua efek dimensia. Penyakit tua.”

Aku masih mengangguk-angguk. “Tapi, orang di kamar ini berpikir bapakku kena teluh atau setidaknya ada tangan-tangan tidak terlihat yang membuatnya demikian.”

“Kamu yang kuat….”

Aku tertidur di sleeping bag tidak jauh dari ranjang ibu. Selimut tipis aku kemulkan rapat ke tubuhku. Samar mataku menangkap jam dinding di atas pintu, pukul setengah dua belas malam. Ibuku sudah lelap, tangannya masih diperban. Mataku diayun kantuk. Aroma obat, wangi pengharum ruangan, dan lotion anti nyamuk menyerbu hidung. Di batas tidur, mendadak aku mencium aroma bawang. Aku tersenyum. Ini adalah aroma masa kecilku, aroma rumahku, aroma hangat hasil sublimasi keringat ibu. Aroma bawang yang membuatku bisa kuliah dan bekerja di Jakarta. Juga aroma yang membuat ibuku sekarang harus dirawat. Aroma itu semakin pekat menyerbu. Seolah sedompol bawang kupas diletakkan di depan mukaku. Dadaku mulai sesak. Aku menggapai-gapai sesuatu yang tidak nyata. Aku membuka mata. Tepat di mukaku, wajah lelaki tua itu menyeringai. Hanya warna putih yang memenuhi liang matanya, hidungnya kembang kempis. Aku menghidu dari aroma bawang yang kuat dari rongga mulut dan liru yang menetesiku. 

“Kanjeng Ratu, ini anakmu. Ini anak yang selama ini kamu nantikan… Kanjeng Ratu….”

Aku berteriak sekencang yang kubisa. Semua orang terbangun kecuali Ranti Dewanti. 

***

(Belum sempat melanjutkan cerita, kekasihku yang ada di depan meja, di restoran ayam AW, menimpali.

“Seharusnya tokoh utama membenci aroma bawang,” timpal Sukhi.

“Mana mungkin. Bawang itu sumber rejeki keluarganya. Cukup dia menjadi benci dan bersumpah tidak akan mau tinggal di kamar ramai-ramai seperti itu lagi.”

“Kamar campur seperti itu memang kadang ajaib.”

“Dan menyeramkan. Aku pun sepertinya akan ikut membencinya, nomor satu sekarang. Bikin runyam ketemu orang-orang aneh seperti itu.”

Sukhi mengelus rambutku, kemudian mencium keningku. “Tenang kamu aman. Meski itu buruk dan runyam. Tapi seluruh hidupmu tetaplah tidak seburuk hidup eksil.”

Aku terhenyak. Untung bukan sebab aroma bawang.) []

).

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 10, 2023 05:03

December 4, 2023

Suara Tunggal dari Bali

Belakangan, Bali riuh dibicarakan sebab tingkah-polah oknum turis asing yang semakin ajaib, untuk tidak menyebutnya kurang menyenangkan. Bali adalah undangan agung bagi mereka, hingga apa pun akan dilakukan untuk tetap tinggal di pulau penuh pesona itu. Citra Bali sangat “turis” dan keragaman destinasi wisata memang ibarat tanda lahir yang tidak akan bisa dipisahkan. Bali dalam kacamata wisata hanya memiliki cerita tunggal; potongan surga penuh pesona. Eksotisme baik berupa alam, budaya, adat istiadat, dan kehidupan masyarakat menjadi daya tarik turis. Pokok-pokok yang menjadi identitas Bali ini juga yang dalam pengantar penulis buku Malam Pertama Calon Pendeta ini menyimpan persoalan kompleks. 

Gde Aryantha Soethama dalam pengantar buku ini menulis, “…sejak lama pula orang-orang tahu kehidupan adat dan kasta di Bali adalah sumber konflik di tengah masyarakat.” Dalam pengantar ini secara tersurat disampaikan bahwa sudah sejak lama sastrawan Bali menulis perkara tata kehidupan adat eksotis sekaligus menyimpan persoalan yang berlapis. Pilihan lokus penceritaan menjadi sesuatu yang krusial. Perlukah menjadi pembeda atau sekadar mengikuti apa yang sudah jamak dilakukan oleh kebanyakan penulis Bali, dan mengimani cerita tunggal di kacamata umum. 

Tujuh belas cerita pendek dalam buku ini masih mengupas konflik-konflik adat yang terjadi di Bali. Gde Aryantha Soethama masih memandang perkara adat, kelas, strata yang mengakar di kehidupan masyarakat Bali sebagai persoalan penting. Kelas lebih tinggi tidak boleh menikah dengan kelas yang lebih bawah, lebih mulia dan kurang mulia sebuah kasta, hingga perkara-perkara adat yang terselip dalam keseharian masyarakat Bali.

Cerpen yang juga dijadikan tajuk buku, “Malam Pertama Calon Pendeta”, menegaskan apa yang khalayak umum pahami perihal kasta di Bali. Aji Punarbawa yang lahir dari garis brahmana “dipaksa” untuk menikahi gadis dari keluarga brahmana untuk yang kedua kali. Meninggalkan istri, Krining, dan cinta sejatinya yang bukan dari brahmana. Sebab keluhuran griya mereka harus dikembalikan, dengan menjadikan Aji seorang pendeta yang kelak akan membaca tumpukan lontar berdebu di griya mereka. Skenario ini ditentang Aji, namun justru disokong oleh Krining. Seorang brahmana pantang merendahkan derajat perempuan (hal.40). 

Namun, sudut pandang penuh ironi ditampilkan Gde Aryantha Soetama. Meski dari kasta lebih rendah, Krining menjadi kunci pengembalian kemuliaan griya. Dia juga menjadi penentu jadi-atau-tidaknya Aji Punarbawa sebagai pendeta. Ironi yang berhasil dengan cantik dipertajam oleh penulis.

“Sekarang saya punya kesempatan untuk dihargai. Sungguh luar biasa, ketika para brahmana meminta pendapat saya, membujuk dan memelas agar saya sedia berkorban. Mereka akhirnya harus mengakui, yang mengembalikan wibawa kependetaan dan kesucian Griya Rangkan adalah seorang perempuan biasa.” (Hal.44)

Perlawanan kasta juga kentara dalam cerpen “Ordil Jadi Gancan”. Ordil membakar peralatan upacara ngaben ayah kandungnya, yang kebetulan tidak menikahi Ibu Ordil sebab beda kasta. Namun, siapa saja yang berusaha melakukan perlawanan atas demarkasi kelas akan bernasib seperti Ordil. Harus berlari-lari, dikejar, dan diburu, bahkan harus mengubah identitasnya. Ordil harus menjadi orang baru, menjadi pohon pisang gancan.

Demarkasi-demarkasi kelas yang demikian juga disampaikan dengan cantik dan satiris dalam beberapa cerpen yang lain. Cerpen “Surga untuk Petani” lebih tajam menyayat mereka yang selama ini meneguhkan kemuliaan ditentukan oleh status dan kasta. Di akhirat, seorang pendeta ternyata tidak berhasil masuk surga. Sebaliknya petani justru lenggang kangkung masuk surga. Kontradiksi antara kasta tinggi yang ketulusannya kamuflase dihadapkan dengan kelas bawah yang sepanjang hidup jujur, penuh pengabdian. 

“Petani menyerahkan seluruh hidupnya untuk bercocok tanam, menghamba dan mengasihi ibu pertiwi. Dia bekerja tidak hanya untuk keluarganya, tapi bagi semua orang, termasuk dirimu.” (hal.6)

Krining, Ordil, dan sosok petani memberi pesan yang gamblang. Gde Aryantha Soethama ingin memaknai ketidakberdayaan kasta dan kelas. Bahwa struktur sosial hanyalah bikinan manusia yang tidak serta merta menentukan kemuliaan seseorang. Ia yang tampak tidak berhaga justru menjadi kunci dan sumber kemuliaan.

Ironi dalam bentuk lain juga diejawantahkan sosok suci yang tidak selalu suci. Pendeta atau setidaknya orang dekat dengan agama digambarkan berseberangan. Dalam cerpen “Belukar Pantai Sanur” yang kebetulan berlatar masa pandemi Covid-19, beberapa orang memanfaatkan kewajiban menutup wajah dengan masker untuk menipu penjaga pantai. Dan salah satu tokoh yang memakai daster putih dan meminta izin untuk menabuh genta sebagai ritual doa, justru terlibat dalam transaksi sabu-sabu.

Demikianlah salah satu fungsi sastra. Cerpen tidak hanya menangkap fenomena yang tersurat oleh pancaindera, tetapi juga mengebor hingga noumena, kedalaman karakter dan hal-hal yang mungkin disembunyikan oleh kebanyakan. Gde Aryantha Soetama telah berhasil memotret fenomena dan noumena dari kehidupan masyarakat Bali.

Gde Aryantha Soethama menangkap fenomena-fenomena adat yang terhampar. Juga menyingkap lapis-lapis yang disembunyikan, kerak-kerak persoalan yang selama ini ditutup oleh glamor turis Bali.

Wajah Bali yang Tunggal

Bali dan daya tarik wisatawan adalah lem paling kuat. Bahkan jauh sebelum era gawai, Miguel Covarrubias dalam buku klasiknya Island of Bali (1937) telah menanamkan imagi eksotisnya akan Bali. Bagaimana orang-orang yang begerak gemulai mengikuti ritme alam, ibarat gerakan balerina cumi-cumi di bawah laut. Belum lagi adat istiadat dan ratusan upacara yang membuat dogma-dogma Covvarrubias mendarah daging. Bali termasuk alam, manusia, dan adat istiadatnya adalah halaman surga.

Belum lagi ketenaran film Eat, Pray, Love (2010), semakin mempertebal anggapan Bali memberi ketenangan dan menjanjikan terpenuhinya dahaga akan rasa damai. Bukan sekadar tempat rekreasi, Bali juga menawarkan pengalaman penuh spiritual.

Dalam cerpen “Pangus Ukulele”, Pak Bondo seorang kaya raya asli Bondowoso pindah ke Ubud untuk mengobati insomnia, berharap Bali memberinya ketenangan. Meminta rumahnya dihiasi penjor agar nuansa Galungan ajeg, membawa damai. Pak Bondo adalah perwujudan orang-orang yang meniatkan healing ke Ubud. Dan lagi-lagi terperangkap oleh wajah tunggal Bali yang turistik.

Sudut pandang berbeda tampak dalam cerpen “Joged Timuhun”. Justru kehadiran proyek turisme ditentang oleh para penari timuhun, dengan alasan itu akan merusak kesakralan pura. Tokoh-tokoh dalam cerpen ini melakukan protes, agar kesakralan pura tetap dinomorsatukan.

Eksotisasi Bali jelas memiliki nilai ekonomis tinggi. Dogma Covarrubias yang telah menjadi legenda dan keimanan, kemudian beragam romantisasi yang mengafirmasi. Saya meyakini ini adalah buntut yang sulit sekali kepalanya kita pegang dengan erat-serat. Praduga saya, besar atau kecil, sastra dan tulisan yang mengetengahkan eksotisme Bali memiliki andil. 

Single story (cerita tunggal) belakangan menjadi perhatian banyak sastrawan. Chimamanda Ngozi Adichie sering menyampaikan betapa bahayanya cerita tunggal. Sebab diam-diam ia menjadi plester yang menutup beragam kemungkinan cerita lain. Dan apakah Bali sudah menjadi cerita tunggal, sebab yang dikisahkan oleh dalam karya-karya sastra berlatar Bali tidak jauh-jauh dari perkara adat, perbedaan kasta, dan sedikit menyerempet ketimpangan akibat turisme? Bila melihat karya-karya sastra yang tampil di publik, saya rasa masih demikian untuk tidak menyebut semuanya. 

Pengantar Gde Aryantha Soethama mengafirmasi demikian; konflik paling nyata bagi penulis Bali ya perkara yang berhubungan dengan adat istiadat dan kasta. Maka jangan salahkan bila Bali akan tetap menjadi destinasi wisata dan tidak jarang membawa beberapa turis problematik. Mengutip kalimat Covvarrubias, “Tidak heran jika kelak Bali akan dicemari oleh turis-turis.”

Bahaya lain dari cerita tunggal adalah menjadi terkucilkannya penulis-penulis Bali yang kebetulan menggeser fokus kisah. Semua cerita dan semua persoalan manusia adalah valid. Bayang-bayang bahwa penulis Bali menulis kisah tentang adat dan budaya Bali telah menjadi umbra, dan tawaran-tawaran cerita lain tampak setipis pnumbra. Dan ini sudah dimulai sejak lama sekali. Gde Aryantha Soethama menyirit “anggapan” itu dimulai ketika cerpen “Ketika Kentongan Dipukul di Balai Banjar” yang dinobatkan sebagai cerpen terbaik Majalah Horison 1969. 

Sebagai pembaca, saya justru berharap akan ada suara-suara lain yang menawarkan Bali dari kacamata lain. Sehingga Bali tidak melulu hadir sebagai “Last Paradise” yang menyimpan seonggok persoalan di pojok-pojok pekat ritual. Cerita tunggal yang selama ini terlalu kuat, harus mulai diberi tawaran lain. Bila peluang ini dibuka, mungkin banyak penulis Bali yang berani menuliskan apa saja, tanpa ketakutan bayang-bayang “harus” menulis perihal adat-istiadat Bali.

Sudah banyak cerita yang bertema-berkonflik adat dan kasta Bali yang diutarakan oleh penulis Bali. Tentu lebih banyak cerita lagi yang mungkin tercecer di pojok-pojok Bali, yang belum dimulakan. 

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 04, 2023 12:28

December 1, 2023

Manusia Soliter dan Problematika Berat Badan

Naskah yang semula berjudul Berat, didapuk sebagai pemenang kedua sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2021. Ketika terbit ada sedikit penyesuaian judul menjadi Bagaimana Cara Mengurangi Berat Badan (Penerbit Banana, 2023), yang sekaligus menjadi novel kedua Amalia Yunus setelah Tutur Dedes: Doa dan Kutukan (Penerbit Banana, 2022). Ada yang menggelitik secara sekilas-pandang dari novel ini, tebalnya tidak begitu meneror dan tema plus judulnya yang seketika membuat orang berhenti. Berhenti untuk menerka kemungkinan dalam novel akan didedah cara jitu menurunkan berat badan, sekaligus manggut-manggut tertampar.

Novel ini dibuka dengan pantikan pertanyaan, kematian bersih itu yang bagaimana? Kematian bersih adalah tidak perlu ada muntahan darah, tubuh terpotong, atau ledakan serpihan daging manusia. Kematian bersih, seperti yang harus dihadapi tokoh utama dalam novel ini, sejenis kematian perlahan sebab obesitas. 

Tokoh kamu sebagai tokoh utama dalam novel ini, divonis oleh dokter hidupnya tidak akan lebih dari dua tahun. Sebab berat badan yang tidak terkendali, morbidly obese. Yang kemudian mengganggu kesehatan, salah satu yang dikisahkan adalah sesak napas dan kehilangan kesadaran hingga harus dibopong oleh sang kekasih dengan kursi roda khusus. 

…hingga ia menjatuhkan bom di mukamu: Jika kamu tidak mulai bertindak sungguh-sungguh, jika kamu tidak melakukan apa-apa terhadap berat badanmu, kamu mungkin tidak akan pernah sampai ke usia dua puluh dua. (hal.10)

Maka, tokoh utama perempuan ini mencoba melakukan beberapa hal, yang seperti dugaan pembaca tidak akan berhasil. Operasi bariatrik yang ditawarkan, justru menebar ketakutan selain juga sangsi perihal kesuksesan dan momok biaya yang mahal. Hingga kemudian tokoh perempuan utama ini bertemu dengan sebuah program realiti show televisi XXXL, sejenis program yang merekam orang dengan obesitas ekstra yang dikarantina untuk menurunkan berat badan.

Meski sempat ditentang oleh sang kekasih, yang digambarkan sebagai support system yang selama ini, tokoh perempuan dalam novel ini tetap mengikuti program. Dan berhasil menurunkan berat badan cukup ekstrem, meski tidak keluar sebagai pemenang dari program televisi itu.

Apakah Hanya Perkara Berat Badan?

Tentu tidak boleh disebut dengan hanya. Benar bahwa data yang dicatat Kemenkes RI, misalnya, 13,5% penduduk Indonesia mengalami kelebihan berat badan dan ada sebanyak 28,7 % mengalami obesitas berdasarkan skala Indeks Massa Tubuh (IMT). Penyebab ini beragam, mulai dari pola makan yang tidak seimbang, kurang aktivitas, hormonal, dan genetik. Tokoh perempuan dalam novel ini mengalami genetik dan pola makan yang luar biasa besar. Juga sebab pekerjaannya sebagai freelancer dan hidup terkungkung dalam apartemen, kadang membuat nafsu makannya tidak terkontrol.

Sebagai novel jebolan sastra, tentu Bagaimana Cara Menurunkan Berat Badan tidaklah mungkin ditempatkan sekadar buku how to atau tips menurunkan berat badan. Memang ada beberapa tips dalam buku ini, tapi itu tentu bukan lokus utama yang menarik.

Novel ini mendedah persoalan krusial dan genting perempuan (bahkan juga termasuk laki-laki) di sosial kita kebanyakan, sebab di beberapa suku dan negara mereka yang berbadan ekstra besar justru mendapatkan penghormatan yang tinggi. Tapi norma kebanyakan, tubuh besar, obesitas identitik tidak cantik, sumber penyakit, bahkan tidak menarik.

Persoalan personal ini kemudian diketengahkan dengan apik oleh Amalia Yunus kemudian merembet perihal kebebasan perempuan, penerimaan diri, hingga stigma sosial atas standar kecantikan perempuan. Tokoh perempuan dalam novel ini menghadapi kenyataan bahwa kekasihnya selama ini sumber ketergantungan dia. Rasa aman dan nyaman dia tergantung pada sang kekasih. Ketika kekasihnya menjauh, justru kesadarannya bangkit. Bahwa perempuan harus bebas menentukan pilihan jalannya sendiri.

Novel ini juga seketika mengingatkan saya pada slogan, personal is political. Slogan yang kemudian menjadi dasar banyak gerakan feminist dan protes atas penomorduaan persoalan personal dalam diri perempuan. Amalia Yunus lewat novel ini sadar betul, bahwa perkara berat badan memang sangat pribadi sekaligus menyimpan konstruksi sosial yang mengerak.

Bagaimana tubuh perempuan ditentukan oleh norma sosial. Bagaimana perempuan tidak bebas menentukan apa yang dibutuhkan tubuh. Juga bagaimana body shaming kerap melatar-belakangi keterpurukan lebih dalam. Orang-orang secara otomatis melihat orang plus size lambat dalam berpikir (hal.47), salah satu contoh stigma atas orang berbadan gemuk.

Novel ini jelas bukan sekadar perkara menurunkan berat badan. Coba tengok sebuah adegan mengerikan nan goreketika tokoh perempuan bermimpi dia mati dan menyaksikan beberapa laki-laki, termasuk kekasihnya, kesulitan mengangkat.

Kita mesti memotong-motong mayatnya, katanya sambil menyorongkan gergaji listrik. (hal.31)

Keunikan novel tidak lebih dari 200 halaman ini adalah sudut pandang orang kedua. Secara teknis, Amalia Yunus memilih risiko untuk menggunakan sudut pandang “kamu” yang rawan membosankan dan tampak mendakwahi. Pilihan ini tentu bukan tanpa pertimbangan. Novel yang tidak tebal membuatnya aman. Bayangkan bila novel ini sepanjang 300 halaman, pasti pembaca akan seperti ditunjuk-tunjuk sepanjang pembacaan.

Akhir novel ini adalah sesuatu yang menarik. Amalia Yunus menngurung kembali tokoh utama di apartemen sebab di tengah program XXXL, pandemi Covid 19 datang. Dia seolah kembali terlempar di awal, namun berhasil mengatasi kesendirian. Dia lahir sebagai manusia soliter, yang bukan hanya terbebas dari “cengkeraman” sang kekasih. Tetapi juga berhasil memilih jalan terbaik versi dirinya.

Satu pertanyaan selepas membaca ini, bila tema ini ditulis oleh laki-laki, mungkin diskusinya akan sangat berbeda. Bisa jadi bukan apresiasi, tetapi cacimaki sebab mendadak akan dipenuhi nada body shaming dan mengekalkan standar kecantikan perempuan. Biarlah ini dijawab oleh yang ahli.

Novel pendek Amalia Yunus ini, patut dijadikan bahan diskusi. Selain temanya yang sangat ‘lokal’ dan tampak remeh, nyatanya berhasil mengetengahkan beberapa persoalan. Termasuk bagaimana perempuan bersikap atas tubuhnya sendiri, yang bahkan Tuhan pun tidak memilikinya 100%. []

 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 01, 2023 01:04

April 11, 2022

Arum Manis, Akhirnya….

Akhirnya saya mau menerbitkan buku. Kumpulan cerpen “Arum Manis”. Kumpulan cerpen ini adalah kumpulan cerpen perdana dan bolehlah saya menyayanginya seperti anak pertama. Berisi beberapa cerpen yang sudah dimuat media, majalah, menang lomba, dan tentu ada cerpen yang baru. Temanya ditautkan oleh judul Arum Manis dan covernya. Sesuatu yang besar itu kadang sebenarnya hanyalah sesendok gula, a.k.a hidup ini semuanya kamuflase dan topeng belaka.

Dan di buku ini pula, saya akan membongkar fakta bahwa saya menggunakan beberapa nama pena untuk beberapa publikasi cerpen. Entah kenapa saya dulu suka sekali dengan nama pena, mungkin salah satunya adalah dengan nama pena punya kesempatan banyak publikasi.

Bukunya akan segera terbit dan masuk masa pre-order. Semoga bisa dinikmati banyak orang.

Salam saya
Teguh Afandi yang untuk fiksi saya menulis dengan Teguh Affandi dan beberapa nama pena lain.

2 likes ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on April 11, 2022 19:52

February 11, 2022

Melarat dan Membenci Kemapanan

Orwell benar-benar menyindir. Menyindir yang mendewakan uang. Juga menyindir yang kerap terbuai glorifikasi bernama idealisme.

PADA 21 JANUARI 2021, tepat 70 tahun pasca berpulangnya George Orwell (25 Juni 1903-21 Januari 1950), menandai karya-karya Orwell masuk ke ranah public domain, lepas dari aturan copyrights. Animal Farm dan 1984, dua karya monumental Orwell pun akan menjadi milik umum dan semua berhak menerbitkan. Setidaknya pada 2021 dan 2022 ini beberapa karya Orwell terbit dalam edisi bahasa Indonesia.

Penerbit Bentang Pustaka menerbitkan kembali 1984 dengan penerjemah Landung Simatupang, juga versi bahasa Indonesia pertama dari Keep the Aspidistra Flying hasil alih bahasa Anton Kurnia. Penerbit Gramedia Pustaka Utama menerbitkan serentak tiga karya Orwell, Animal Farm dan Down and Out in Paris and London dengan penerjemah Djokolelono; juga Coming Up for Air yang diterjemahkan oleh Berliani M. Nugrahani. Juga beberapa versi terjemahan Animal Farm oleh beberapa penerbit lain. Kegairahan menghadirkan kembali Orwell ini harus dirayakan. Bukan soal kehebatan dan ketokohan karya-karya Orwell semata yang kadang masih relevan hingga kini. Juga jeweran telak kepada yang bandel dan tidak tertib menerbitkan karya-karya di luar public domain, tanpa memperhatikan legalitas hak cipta.

Novel Keep the Aspidistra Flying terbit pertama kali tahun 1936, satu dekade sebelum dua mahakarya Orwell. Dan buku ini menjadi edisi pertama dalam bahasa Indonesia. Dalam buku setebal 300 halaman ini, kita akan dibuat superjengkel dengan Gordon Comstock. Dialah tokoh utama yang begitu membenci uang, kemapanan, dan kemakmuran. Menurutnya menjadi melarat, lapar, dan terhina setidaknya dalam asumsinya adalah jalan “terbaik” menjalani hidup. Comstock digambarkan sebagai penyair miskin yang bekerja sebagai pustakawan cum penjaga toko buku.

Comstock sebagaimana sudah kita duga dibuai dengan idealisme penuh utopia. Bermula dia yang dilahirkan dari keluarga miskin dan serbagagal. Dikisahkan keluarganya hampir semua gagal, mati muda, melarat. Dan hanya dia seorang, Comstock yang memiliki peluang berkehidupan layak. Justru Comstock tidak memilihnya.

Cover oleh Wulang Sunu, dan penerbit telah menempatkan penerjemah, Anton Kurnia, di halaman sampul.

Comstock memang pernah menjadi copy-writer di sebuah agensi. Gegas ia hengkang sebab tahu, semua manusia termasuk yang bekerja bersamanya adalah menghamba kepada tuhan bernama uang.

Uang telah meningkat menjadi semacam agama. […] Uang adalah sesuatu yang dulu kita sebuat Tuhan. Baik dan buruk tidak ada artinya lagi; yang berarti hanyalah kegagalan dan kesuksesan. (hal. 51)

Comstock benci dan muak betul dengan sistem kapitalisme, kekayaan, atau dalam bahasa yang sangat sederhana uang. Sistem yang menomorduakan kemanusiaan. Bahkan dalam satu kalimat lain, seseorang bukanlah manusia seutuhnya, kecuali ada uang di sakunya (hal.177). Nilai manusia benar-benar berdasarkan kepemilikan uang. Tanpa pernah ditelisik, jangan-jangan miskin dan melaratnya memang secara struktural dibuat miskin dan melarat.

Tanpa uang, kau tidak dapat dicintai meskipun bisa berbicara bahasa manusia dan bahasa malaikat. (hal.15)

Comstock keluar dari pekerjaan di agensi dan memilih menjadi penjaga toko buku dengan gaji sangat minim, yang bahkan digambarkan di awal cerita, kerap kali hanya menyisakan angan-angan untuk merokok. Namun, kebencian Comstock ini sama tingginya dengan egonya ingin dihargai sebagai manusia. Dia tetap harus bergaya perlente, enggan dibantu materi oleh kawan-kawannya, termasuk Rosemary, kekasihnya. Hal lain yang mengesalkan adalah sikap berada di pusara tapi tidak mau teriak perubahan. Kau melawan kapitalisme, tetapi kau tidak mau menerima sosialisme sebagai satu-satunya alternatif yang mungkin (hal.105). Comstock menjawab protes kawannya dengan bilang, menolak satu bukan berarti menerima yang lain.

Gordon Comstock tampak seperti avatar dari Orwell sendiri. Orwell sendiri pernah menghadapi masa-masa susah sebagai penulis dan pekerja paruh waktu di toko buku Hampstead. Bukunya yang lain, Down and Out in London and Paris, juga kerap dikaitkan dengan kisah hidup Orwell dan Comstock dalam buku ini. Namun nyatanya, Orwell hidup di tengah keluarga mapan dan karier sebagai penulis sukses, berbeda nasib dengan Comstock. Itulah mungkin sebabnya, Comstock tampak “malu-malu” memilih berdiri di kutub yang jelas. Selalu ambivalen. Dia menolak menjadi kaya, tetapi di akhir diam-diam mengidolakan aspidistra—tanaman yang disebut sebagai simbol orang berkelas.

Manusia dewasa ini, seperti ramalan Orwell dalam buku ini, tidak jauh berbeda dengan suasana sosial London 1930-an latar waktu kisah Comstock ini. Mendewakan materi, dan menjadi khayali bila nirmateri. Orang-orang seperti Orwell pastilah ada. Mereka yang memilih menepi dari pusara materialisme yang menguasai seluruh elemen kehidupan. Bahkan di ranjang pengantin jari dewa uang mengganggu! (hal.172)

Selain mendewakan uang, manusia (setidaknya di era 1930-an, untuk tidak serampangan membandingkan dengan yang sekarang) tidak adil menilai seni. Orwell, lewat mulut sinis Comstock, menyindir bagaimana sastra dan seni yang lain, tetap kalah oleh uang. Orwell yang bekerja dengan buku mengamati orang-orang yang datang tanpa semangat, seolah seni dan sastra adalah pikiran terakhir manusia yang mendewakan uang.

Semuanya jungkir balik, ketika Comstock mendapatkan cek atas pemuatan puisi. Uang yang cukup besar itu membuatnya mendapatkan surga satu malam. Dia makan mewah dengan kawan juga Rosemary. Kemudian mabuk-mabukan dan membikin onar. Di sinilah, kejengkelan saya seperti mendidih di ubun-ubun. Apalagi pasca membuat onar itu Comstock tidak juga mengerti betul posisinya, selain angan-angan idealisme. Ketika Rosemary hamil, barulah kita tahu Comstock tetaplah manusia yang tidak bisa lepas dari jerat benda bernama uang.

Novel ini betul-betul satire yang sebenarnya. Comstcok tokoh di tengah yang tahu dia tidak bisa mengubah. Dia juga tidak seanarkis, Ben Cash, tokoh dalam film Captain Fantastic (2016) yang kabur dari dunia yang dia benci. Comstock adalah manusia seperti kita pada umumnya. Nyinyir membenci sistem, dibuai utopia idealisme, tapi bila sudah betul-betul terjedot tembok yang tak bisa dilompati, kemungkinan putar balik itu ada.

Orwell benar-benar menyindir. Menyindir yang mendewakan uang. Juga menyindir yang kerap terbuai glorifikasi bernama idealisme.[]

Tulisan ini dimuat di Koran Sindo, 12-13 Februari 2022.
1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on February 11, 2022 18:44

December 13, 2020

Aman, Kiri, dan Nama-Nama Binatang

Jawa Pos, 13 Desember 2020.








Esai-esai dalam buku ini
membuka lapisan dasar interaksi manusia
sebagai pengguna bahasa dan
betapa kaya sekaligus cairnya bahasa itu sendiri.



 


BAHASA tidak hanya menunjukkan bangsa, bahkan tidak pula sekadar menentukan harga, bila meminjam istilah Samsudin Adlawi dalam buku ini. Bahasa dengan sengaja juga menunjukkan politik dan maksud tertentu si pengguna.


Kita mengalami perubahan istilah dari jongos, babu, pembantu rumah tangga, hingga asisten rumah tangga. Sebab, setiap istilah yang dipergunakan memiliki maksud tertentu.


Situasi dan sejarah membuat sebuah kata maupun frasa dapat memiliki maksud tidak sekadar makna kamus sendiri. Misalnya, aman dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan bebas dari bahaya; bebas dari gangguan (pencuri, hama, dan sebagainya). Namun, oleh sebuah rezim, kata aman-amankan-amanken justru bahaya sekaligus membawa rasa tidak aman.


Sebab, bila kata tersebut sudah dipergunakan, itu berarti akan ada yang ditahan, dijebloskan penjara, atau bahkan dihilang-musnahkan. Contoh lain, kata kiri tidak hanya menunjukkan arah.


Adlawi dalam esai Metamorfosis ’’Kiri’’ membedah bagaimana asal muasal kiri begitu menyeramkan dalam bahasa politik kita dan selalu dikaitkan dengan kelompok tertentu. “Terminologi ’kiri’ sewaktu-waktu bisa menjelma menjadi hantu. Sebab, kata ’kiri’ masih sangat sensitif bagi bangsa ini” (halaman 71).


Atau, bagaimana beberapa hewan dalam khazanah berbahasa kita justru mewakili hal-hal lain di luar sosok fauna itu sendiri. Dalam esai Adlawi Binatang Perkaya Bahasa disebutkan bahwa “Banyak kosakata untuk istilah dan ungkapan dalam bahasa Indonesia berasal dari binatang. Istilah atau ungkapan yang menggunakan nama binatang ini kebanyakan dipakai untuk mewakili ekspresi, negatif maupun positif” (halaman 9).


Kedekatan binatang dengan istilah buruk tentu hadir dengan kesadaran bahwa ras manusia di atas kelompok binatang. Maka, tidak aneh bila dalam keseharian istilah-istilah yang memakai nama binatang cenderung berarti kurang baik.


Bahkan, dalam karya sastra kita akan menemukan kecenderungan yang demikian pula. Ulat, misalnya. Larva bagian dari metamorfosis serangga ini beberapa kali dipergunakan sebagai metafora kerakusan dan sifat buruk manusia.


Misalnya, dalam cerpen Ulat dalam Sepatu karya Gus Tf Sakai, Ulat Bulu dan Syekh Daun Jati milik Agus Noor, atau cerpen Ulat Daun Emas besutan Muna Masyari. Kita akan menemukan ulat ialah manifesto karakter hayawaniah manusia dan pola demikian juga lahir dalam percakapan sehari-hari kita.


Perkembangan istilah dalam percakapan yang ditangkap Adlawi juga kadang melompat ke berbagai domain. Misalnya, mengawinkan kata mi dan setan. Lahirnya bukan sebagai mi milik setan si makhluk gaib, melainkan mi yang bila dimakan punya sensasi kesetanan karena begitu pedas.


Bagaimana singkatan ala jalanan menjadi riuh dalam percakapan. Corona yang berarti Comunitas Rondo Merana, pamer paha yang adalah padat merayap tanpa harapan. Di Jogja kita kenal penyederhanaan jakal, jamal, dan monjali, misalnya, untuk Jalan Kaliurang, Jalan Magelang, dan Monumen Jogja Kembali.


Bahasa Indonesia, meski beberapa masih dalam tataran percakapan, begitu cerdas dengan adaptif terhadap apa-apa yang tumbuh di sosial. Misalnya, bahasa dagadu dan bahasa walikan Malang pun sekarang bukan lagi hal asing.


Sebab, bahasa secara individu juga cerdas dan begitu cair. Dan, manusia sebagai ras cerdas penghuni pucuk kelas tak lagi memusingkan wolak-walik dan makna sebuah frasa yang mungkin berlapis-lapis.


Dalam 28 esai ini, Adlawi merangkum fenomena kebahasaan dan menguraikan dengan bahasa yang gamblang. Tuntutannya sederhana bila sekadar memasukkan prokem atau frasa atau istilah tertentu dalam kamus kita.


Esai-esai dalam buku ini justru membuka lapisan dasar interaksi manusia sebagai pengguna bahasa dan betapa kaya sekaligus cairnya bahasa itu sendiri. Bahasa itu hidup, dibayangi banyak makna, terus beranak pinak, sekaligus mengandung pilihan politik yang tak bisa dihindari.


Sebagai orang yang setiap hari berhadapan dengan teks, buku ini adalah oase sekaligus wisata bahasa yang menggembirakan. Dibahasakan laiknya sebuah feature ringan surat kabar, tetapi memotret bagaimana interaksi berbahasa kita.


Tentu 28 esai dalam buku ini bukan rangkuman dari semua fenomena. Yang dihadirkan dalam buku Makan Kapal Selam ini adalah teaser agar pembaca, peneliti, maupun penggila bahasa mengulik dan merangkum lebih jauh dan mendalam. (*)



Identitas Buku


MAKAN KAPAL SELAM | Samsudin Adlawi
Gramedia Pustaka Utama | November 2020 (Edisi Buku Digital)
9786020648415 | 137 halaman




1 like ·   •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 13, 2020 21:50

December 3, 2020

Jagat Cilik Bernama Minimarket

Dimuat di Ruangliterasi.com





DALAM sebuah artikel yang dirilis electricliterature, Sayaka Murata dimasukkan dalam delapan penulis perempuan modern yang patut diperhitungkan. Sebagai pembanding dalam daftar tersebut disebut nama-nama yang sudah lebih dulu mengorbit di dunia (baca: karyanya diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan diterima dengan baik), Banana Yoshimoto dan Yoko Ogawa.





Gadis Minimarket bisa dibaca sekali duduk. Namun, pergulatan yang dialami tokoh perempuan bernama Keiko Furukura dijamin akan terus bergema dalam kepala. Yang dialami Keiko adalah yang kerap juga mendera manusia modern sekarang. Di ambang status quo antara mengimani yang diyakini atau menyesuaikan kredo normal masyarakat.









Keiko Furukura selalu dianggap aneh dan tidak diterima oleh lingkungan. Di Taman Kanak-kanak, ketika di halaman tergeletak bangkai burung kecil, reaksi Furukura jauh berbeda dengan teman-teman sekolahnya. Furukura berkata ke ibunya, “Ayo kita makan dia! Ayah suka yakitori, jadi nanti malam kita makan ini saja.” (Hal. 10)





Atau ketika Furukura menyaksikan dua teman lelakinya bertengkar, bukannya melerai, justru dia menghantam kepala salah satu dari mereka hingga berdarah. Dalihnya itu adalah cara paling cepat untuk melerai mereka. Keluarga dan kawan-kawannya berusaha mengobati Furukura. “Keluargaku menyayangi dan mencintaiku, dan karena itulah mereka selalu mengkhawatirkan aku dan ingin menyembuhkanku,” aku Furukura.





Tidak diterima sebab dianggap abnormal, Furukura baru menemukan lingkungan kecil yang mampu dia kuasai ketika dia mulai bekerja paruh waktu di minimarket Smile Mart tidak jauh dari rumah dan stasiun Hiiromachi dibuka.





Dunia kecil minimarket adalah dunia sisipan yang teratur. Menata barang, melayani pelanggan, sapaan-sapaan yang hampir senada setiap waktu, memindai barcode, menghitung total belanja, menyorongkan kembalian, atau menawari menu-menu promo.





Selain ritme hidup yang hampir sama polanya, ruang dan interaksi yang bisa dibilang terbatas membuat Furukura berhasil mengadopsi kebiasaan orang agar dia setidaknya berperilaku seperti orang lain dan dianggap normal.





Diriku saat ini adalah hasil bentukan orang­-orang di sekitarku. Tiga puluh persen berkat Izumi, 30 persen berkat Sugawara, 20 persen berkat manajer, dan sisanya berkat orang­-orang dari masa lalu, seperti Sasaki yang berhenti kerja setengah tahun lalu dan Okasaki, penyelia kami hingga tahun lalu.





Hingga delapan belas tahun bekerja sebagai pegawai paruh waktu, minimarket adalah jagat kecil Furukura di mana dia dinilai normal oleh kebanyakan kawan kerja dan pengunjung minimarket.





Normal baru yang dirasakan Furukura selama menjadi pegawai paruh waktu di minimarket nyatanya tidak membuat orang lain berhenti mengusik. Masih saja muncul pertanyaan-pertanyaan mengganggu dari kolega atau keluarga besar: bagaimana mungkin perempuan usia 36 tahun, masih saja menjadi pegawai paruh waktu di minimarket? Dan selama 18 tahun? Mengapa tidak mencari pekerjaan tetap? Mengapa belum menikah?





Apa yang dialami Furukura sejalan apa yang pernah Sartre singgung, l’enfer c’est les autres; neraka dunia berwujud orang lain. Cara pandang orang lain akan memaku kita pada satu titik tertentu, kemudian mengaburkan kendali atas diri kita sendiri hingga terpuruk tanpa daya dan menyerah pada cara pandang orang lain.





Terlebih kemunculan pegawai laki-laki magang baru, Shiraha yang lagi-lagi mengguncang ketunakan jagat cilik milik Furukura. Dia adalah yang berusaha menyesuaikan kredo normal meski diakuinya sudah terlambat. Shiraha yang dengan jelas menyatakan maksud menjadi pegawai magang untuk mencari pasangan hidup memengaruhi Furukura untuk menengok lagi standar kenormalan masyarakat. Yakni dengan menikah, berkeluarga, dan bekerja mapan tidak lagi sebagai pegawai paruh waktu. Rahimmu juga milik desa. Kau tak akan dipedulikan karena rahimmu tak berguna, bujuk Shiraha.





Tidak ada yang berubah dalam tatanan masyarakat sejak zaman batu. Garis demarkasi antara lelaki dan perempuan, bahwa kodrat manusia harus menikah, bahwa pandangan orang lain lebih sering mengganggu daripada membantu, dan bahwa seleksi alam dan alienasi kerap terjadi kepada mereka yang memilih jalan sedikit berbeda dengan standar kenormalan.









Dunia normal adalah dunia yang tegas dan diam-diam selalu mengeliminasi objek yang dianggap asing. Mereka yang tak layak akan dibuang. (Hal. 81)





Membaca Gadis Minimarket akan sedikit mengubah cara pandang kita terhadap minimarket dan kehidupan sekaligus kredo normal. Dunia kecil minimarket digambarkan dengan detail-detail kecil yang menarik, sekaligus metafora pelarian atas kehidupan yang serba harus dinormal-seragamkan.





Furukura dan Shiraha adalah dua manusia yang boleh jadi merupakan representasi manusia modern pada umumnya. Sanksi sosial atas pilihan yang sedikit berbeda kerap menyudutkan. Bila Furukura menemukan jagat kecilnya (minimarket) sebagai tempat pelarian dari demarkasi sosial, pada dunia kenyataan hal demikian sungguh dicari. Pada akhirnya manusia akan berdialog dengan diri sendiri dan bernegosiasi sampai batas mana menerima atau mengampuni standar normal pada masyarakat. Dan yang demikian merupakan pergulatan sepanjang hidup manusia. []









Identitas buku
GADIS MINIMARKET | 
Penulis: Sayaka Murata
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta | Edisi: Pertama, Juli 2020
Tebal: 160 halaman | ISBN: 9786020644394





[image error] sumber: instagram bukugpu
 •  0 comments  •  flag
Share on Twitter
Published on December 03, 2020 17:11