Manusia Soliter dan Problematika Berat Badan

Naskah yang semula berjudul Berat, didapuk sebagai pemenang kedua sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2021. Ketika terbit ada sedikit penyesuaian judul menjadi Bagaimana Cara Mengurangi Berat Badan (Penerbit Banana, 2023), yang sekaligus menjadi novel kedua Amalia Yunus setelah Tutur Dedes: Doa dan Kutukan (Penerbit Banana, 2022). Ada yang menggelitik secara sekilas-pandang dari novel ini, tebalnya tidak begitu meneror dan tema plus judulnya yang seketika membuat orang berhenti. Berhenti untuk menerka kemungkinan dalam novel akan didedah cara jitu menurunkan berat badan, sekaligus manggut-manggut tertampar.
Novel ini dibuka dengan pantikan pertanyaan, kematian bersih itu yang bagaimana? Kematian bersih adalah tidak perlu ada muntahan darah, tubuh terpotong, atau ledakan serpihan daging manusia. Kematian bersih, seperti yang harus dihadapi tokoh utama dalam novel ini, sejenis kematian perlahan sebab obesitas.
Tokoh kamu sebagai tokoh utama dalam novel ini, divonis oleh dokter hidupnya tidak akan lebih dari dua tahun. Sebab berat badan yang tidak terkendali, morbidly obese. Yang kemudian mengganggu kesehatan, salah satu yang dikisahkan adalah sesak napas dan kehilangan kesadaran hingga harus dibopong oleh sang kekasih dengan kursi roda khusus.
…hingga ia menjatuhkan bom di mukamu: Jika kamu tidak mulai bertindak sungguh-sungguh, jika kamu tidak melakukan apa-apa terhadap berat badanmu, kamu mungkin tidak akan pernah sampai ke usia dua puluh dua. (hal.10)
Maka, tokoh utama perempuan ini mencoba melakukan beberapa hal, yang seperti dugaan pembaca tidak akan berhasil. Operasi bariatrik yang ditawarkan, justru menebar ketakutan selain juga sangsi perihal kesuksesan dan momok biaya yang mahal. Hingga kemudian tokoh perempuan utama ini bertemu dengan sebuah program realiti show televisi XXXL, sejenis program yang merekam orang dengan obesitas ekstra yang dikarantina untuk menurunkan berat badan.
Meski sempat ditentang oleh sang kekasih, yang digambarkan sebagai support system yang selama ini, tokoh perempuan dalam novel ini tetap mengikuti program. Dan berhasil menurunkan berat badan cukup ekstrem, meski tidak keluar sebagai pemenang dari program televisi itu.
Apakah Hanya Perkara Berat Badan?
Tentu tidak boleh disebut dengan hanya. Benar bahwa data yang dicatat Kemenkes RI, misalnya, 13,5% penduduk Indonesia mengalami kelebihan berat badan dan ada sebanyak 28,7 % mengalami obesitas berdasarkan skala Indeks Massa Tubuh (IMT). Penyebab ini beragam, mulai dari pola makan yang tidak seimbang, kurang aktivitas, hormonal, dan genetik. Tokoh perempuan dalam novel ini mengalami genetik dan pola makan yang luar biasa besar. Juga sebab pekerjaannya sebagai freelancer dan hidup terkungkung dalam apartemen, kadang membuat nafsu makannya tidak terkontrol.
Sebagai novel jebolan sastra, tentu Bagaimana Cara Menurunkan Berat Badan tidaklah mungkin ditempatkan sekadar buku how to atau tips menurunkan berat badan. Memang ada beberapa tips dalam buku ini, tapi itu tentu bukan lokus utama yang menarik.
Novel ini mendedah persoalan krusial dan genting perempuan (bahkan juga termasuk laki-laki) di sosial kita kebanyakan, sebab di beberapa suku dan negara mereka yang berbadan ekstra besar justru mendapatkan penghormatan yang tinggi. Tapi norma kebanyakan, tubuh besar, obesitas identitik tidak cantik, sumber penyakit, bahkan tidak menarik.
Persoalan personal ini kemudian diketengahkan dengan apik oleh Amalia Yunus kemudian merembet perihal kebebasan perempuan, penerimaan diri, hingga stigma sosial atas standar kecantikan perempuan. Tokoh perempuan dalam novel ini menghadapi kenyataan bahwa kekasihnya selama ini sumber ketergantungan dia. Rasa aman dan nyaman dia tergantung pada sang kekasih. Ketika kekasihnya menjauh, justru kesadarannya bangkit. Bahwa perempuan harus bebas menentukan pilihan jalannya sendiri.
Novel ini juga seketika mengingatkan saya pada slogan, personal is political. Slogan yang kemudian menjadi dasar banyak gerakan feminist dan protes atas penomorduaan persoalan personal dalam diri perempuan. Amalia Yunus lewat novel ini sadar betul, bahwa perkara berat badan memang sangat pribadi sekaligus menyimpan konstruksi sosial yang mengerak.
Bagaimana tubuh perempuan ditentukan oleh norma sosial. Bagaimana perempuan tidak bebas menentukan apa yang dibutuhkan tubuh. Juga bagaimana body shaming kerap melatar-belakangi keterpurukan lebih dalam. Orang-orang secara otomatis melihat orang plus size lambat dalam berpikir (hal.47), salah satu contoh stigma atas orang berbadan gemuk.
Novel ini jelas bukan sekadar perkara menurunkan berat badan. Coba tengok sebuah adegan mengerikan nan goreketika tokoh perempuan bermimpi dia mati dan menyaksikan beberapa laki-laki, termasuk kekasihnya, kesulitan mengangkat.
Kita mesti memotong-motong mayatnya, katanya sambil menyorongkan gergaji listrik. (hal.31)
Keunikan novel tidak lebih dari 200 halaman ini adalah sudut pandang orang kedua. Secara teknis, Amalia Yunus memilih risiko untuk menggunakan sudut pandang “kamu” yang rawan membosankan dan tampak mendakwahi. Pilihan ini tentu bukan tanpa pertimbangan. Novel yang tidak tebal membuatnya aman. Bayangkan bila novel ini sepanjang 300 halaman, pasti pembaca akan seperti ditunjuk-tunjuk sepanjang pembacaan.
Akhir novel ini adalah sesuatu yang menarik. Amalia Yunus menngurung kembali tokoh utama di apartemen sebab di tengah program XXXL, pandemi Covid 19 datang. Dia seolah kembali terlempar di awal, namun berhasil mengatasi kesendirian. Dia lahir sebagai manusia soliter, yang bukan hanya terbebas dari “cengkeraman” sang kekasih. Tetapi juga berhasil memilih jalan terbaik versi dirinya.
Satu pertanyaan selepas membaca ini, bila tema ini ditulis oleh laki-laki, mungkin diskusinya akan sangat berbeda. Bisa jadi bukan apresiasi, tetapi cacimaki sebab mendadak akan dipenuhi nada body shaming dan mengekalkan standar kecantikan perempuan. Biarlah ini dijawab oleh yang ahli.
Novel pendek Amalia Yunus ini, patut dijadikan bahan diskusi. Selain temanya yang sangat ‘lokal’ dan tampak remeh, nyatanya berhasil mengetengahkan beberapa persoalan. Termasuk bagaimana perempuan bersikap atas tubuhnya sendiri, yang bahkan Tuhan pun tidak memilikinya 100%. []
