Migran
Polisi menemukan sebuah truk yang ditinggalkan orang di sebuah desa Austria yang sepi, di tepi jalan raya antara Wina dan Budapest. Bau basing menyeruak. Dengan segera diketahui: ada 5o mayat yang membusuk di dalam truk itu. Bangkai para migran. Diduga orang-orang ini mati karena tersekat, kehabisan oksigen, dalam bak tempat mereka bersembunyi atau disembunyikan, ketakutan dan berharap untuk bisa menembus wilayah Austria.
Nahas telah jadi rutin dalam kehidupan manusia yang tak lagi bertanahair ini — mereka yang berjalan jauh untuk mengubah nasib. Hanya beberapa hari sebelum truk ditemukan di desa Parndorf itu, di Laut Tengah 40 orang tewas bertimbun-timbun dalam kapal yang lima jam sebelumnya meninggalkan pantai Lybia menuju Italia. Asap dari ruang mesin menerus menerobos ke paru mereka di ruang yang berjejal-jejal dan kepanasan itu.
Nasib buruk dan dan impian indah adalah bagian yang lazim dalam sejarah — itu juga yang menyebabkan migrasi dan pengungsian terjadi. Dari zaman ke zaman.
Tapi kini kita hidup dengan tiga paradoks. Pertama, inilah masa ketika teknologi mendekatkan manusia dari pelbagai tempat yang berbeda, tapi di pihak lain makin sulit manusia berpindah tempat. Tahun 2015 mencatat 300 ribu orang meninggalkan negerinya dan bergerak untuk berpindah ke Eropa — dan ceritanya hanya tragedi. Ada yang tewas, ada yang ditangkap dan dikurung dalam karantina-karantina, ada yang berdiri setengah putus asa di pagar perbatasan yang dibangun baru.
Kita tahu mengapa mereka pindah. Tapi agaknya inilah paradoks kedua: di zaman yang katanya dibentuk “globalisasi” ini kita makin sukar untuk “imagine, there is no country…” Membayangkan tak ada lagi gerbang imigrasi, tak ada lagi visa, tak ada penjaga perbatasan? Kini di banyak sudut Eropa petugas imigrasi bersenjata tampak siap, dengan paranoia yang beberapa tahun yang lalu tak tampak.
Paradoks ketiga ada pada kenyataan bahwa manusia, terutama yang miskin, tak bisa melintasi paranoia itu, ketika kapitalisme bergerak dalam sekejap mata menyeberangi wilayah. Guncangan ekonomi RRT menggugurkan pasar saham hampir di seluruh dunia persis ketika ribuan imigran yang melarat dihadang di Calais dan di Macedonia. Saya tak bisa benar-benar “imagine, there is no country”.
Tapi apa pula arti country? “Negeri”? Atau “negara”?
Seorang Indonesia, dengan bahasa yang tumbuh dalam sejarah, agaknya segera tahu bahwa “negeri” tak harus disatukan perbatasan nasional.
Sejarawan Anthony Reid, seorang penelaah yang tekun tentang masa lalu politik Indonesia, menulis sebuah buku yang layak dibaca: Imperial Alchemy (2010). Ia memperkenalkan istilah “ethnie”, yang pengertiannya tak sama dengan “nation” dan tak sama pula dengan “race”. “Ethnie” adalah sekelompok manusia yang punya perasaan atau kesadaran yang kuat bahwa mereka punya persamaan — a strong sense of being similar. Di antara mereka mudah dibangun solidaritas karena mereka merasa punya nama kolektif yang sama, mithos tentang nenek-moyang yang sama, beberapa bagian sejarah dan tradisi yang sama, di sana-sini juga bahasa dan agama yang sama. Tak kurang dari itu, ada keterkaitan mereka dengan sebuah wilayah, di masa lampau atau sekarang.
Hal penting yang dikemukakan di sini: wilayah itu, (marilah kita sebut sebuah “negeri”), tampak satu terutama karena situs dan pusat yang sama-sama dianggap sakral, atau dihormati dan ditakuti, bukan karena perbatasan nasional yang tegas.
“Negara” dengan perbatasan nasionalnya datang kemudian. Kita tahu “negara [nasional]” lahir dengan berapi-api menentang imperialisme. Tapi dalam menentukan perbatasan sebenarnya ia bersenyawa dengan ketentuan imperialisme. Memang, para penghuni wilayah yang kemudian disebut “negara” itu tak dengan sendirinya merasa pas dengan konstruksi baru itu. Tapi “negara” punya manfaatnya sendiri: pengelola kesejahteraan dan penjaga keamanan. Setidaknya, para penghuni punya tempat untuk menuntut untuk itu.
Reid terutama berbicara tentang Asia Tenggara. Tapi hari-hari ini agaknya kita bisa memakai analisanya untuk wilayah lain. Ketika “negara” tak tampak lagi bermanfaat, Sultan, seorang imigran Sudan yang dengan susah payah mencoba memasuki Inggris, bertanya siapa yang menentukan perbatasan, selain aksiden sejarah?
Pertanyaan itu juga penting bagi mereka merasa berada dalam satuan “ethnie” yang dipertautkan agama atau kenangan kolektif. Ketika mereka hendak membangun satu “negara”, mereka juga sebenarnya hendak menggariskan perbatasan — sesuatu yang tak kekal, tapi hari-hari ini terbukti mendatangkan penolakan, paranoia, dan kematian.
Goenawan Mohamad
28 Agustus 2015
Goenawan Mohamad's Blog
- Goenawan Mohamad's profile
- 506 followers
