Goenawan Mohamad's Blog
September 18, 2015
Metropolis
Ada sebuah kota fantasi yang terbelah. Tapi barangkali tak istimewa. Tiap kota besar selalu terbelah.
Di satu lapis, ruang hidup dibentuk penduduk yang kaya-raya; di lapis lain, orang-orang yang miskin dan terpojok. Di satu sisi, ada bagian yang selalu ingin diperlihatkan, sebagai scene; di sisi lain, bagian yang hendak disembunyikan, obscene.
Metropolis, karya Fritz Lang yang termashur, menampilkan keterbelahan itu dengan gamblang — meskipun kota dalam film ini cuma sebuah fantasi tentang masa depan. Diproduksi pada 1927, film bisu ini bercerita tentang sebuah kota raya nun pada tahun 2026, yang berdiri dengan bangunan dan infrastruktur yang di manapun di dunia waktu itu belum pernah ada.
Tapi pesan moralnya amat tua.
Di balik gedung-gedung megah yang menjulang ke langit dan jalan-jalan raya yang terbentang jauh di atas tanah, kekuasaan berada di tangan keras satu orang: John Fredersen. Ia bukan tokoh politik. Ia pemilik modal. Ia tampak sendirian, tanpa saingan, tanpa bergandengan tangan, (atau berhadapan), dengan kekuasaan lain. Bahkan di layar putih itu, kita mendapatkan kesan sebuah kota besar yang amat lengang. Tak ada manusia berkerumun. Tak ada Negara. Fredersen Dewa Modal Yang Maha Tunggal.
Tapi sejak film ini bermula kita tahu, ada yang mengerikan dan menyedihkan di balik itu: ribuan pekerja yang tak berwajah tampak menggerakkan seantero metropolis dari sebuah ruangan mesin di dunia bawah.
Mereka, seperti kemudian tampak dalam film Modern Time Charlie Chaplin, bekerja dengan murung di celah keperkasaan mesin. Mereka adalah barisan panjang yang berseragam dan berjalan kaku seperti boneka. Hidup mereka diarahkan waktu yang terukur persis. Dengan disiplin yang absolut. Tanpa senggang. Tanpa percakapan.
Film ini memang sebuah imajinasi tentang masa depan yang mencemaskan, sebuah dystopia. Bertahun-tahun setelah karya Fritz Lang, kita temukan kembali thema itu dalam film seperti Blade Runner dan Children of Men: masa depan adalah kegelapan. Kelak adalah neraka. Harapan dihabisi dengan anti-utopia.
Tapi tiap dystopia pada dasarnya sebuah kritik tentang hidup di hari ini. Tak ada masa depan yang tak disemai sekarang. Fritz Lang dan filmnya hidup sezaman dengan para pelukis Ekspresionis Jerman di masa Republik Weimar, setelah Perang Dunia I. Pada dua dasawarsa awal abad ke-20 itu, seniman-seniman ini menyaksikan ambruknya kehidupan justru di tengah optimisme sebuah kota modern.
Grosz, misalnya, melukis Berlin dalam Großstadt (1916-1917): dengan warna merah muram di angkasa, metropolis itu, Berlin, tampak sebagai ruang tanpa akhlak. Kanvas Grosz menampilkan secara karikatural orang-orang kaya dengan perut menggelembung; lelaki, berpakaian necis di sebuah kafe yang menatap perempuan yang duduk hampir telanjang; pria dengan wajah babi yang berciuman mulut dengan wanita bugil…
Seperti Metropolis Fritz Lang, ada bayang-bayang kesalihan di sini: uang adalah akar mala dan kekejian, kata Injil. Fritz Lang menampilkan alegori dari Alkitab tentang pelacur Babilonia dan angkuhnya menara Babil; Großstadt juga mengumandangkan kembali kecaman agama kepada tubuh dan syahwat — meskipun Grosz seorang komunis, dengan sikap antikapitalis yang sengit. Mungkin karena yang hendak diperlihatkannya sebenarnya sebuah kota yang ingin menyembunyikan bagian dirinya sendiri yang obscene.
Ia pernah mengatakan, ia sendiri seperti sosok-sosok yang digambarnya; di satu saat ia “orang kaya… yang memadati perutnya dengan makanan dan menenggak sampanye.” Tapi di saat lain ia juga orang yang berdiri di luar pintu, di guyur hujan, mengemis. “Aku seakan-akan terbelah dua.”
Persoalannya: apa yang akan terjadi dengan keterbelahan ini? Apa yang bisa dilakukan? Revolusi? Baik Fritz Lang maupun Grosz mengelak.
Grosz kemudian pindah ke Amerika, bosan dengan kanvasnya sendiri yang karikatural. Dalam Metropolis, konflik antara Fredersen, sang superkapitalis, dan para buruhnya yang tertindas, tak diselesaikan dengan pembrontakan. Metropolis akhirnya hanya sebuah melodrama.
Sang Dewa Kapital yang digambarkan tak punya hati kemudian jadi insyaf karena rasa sayang kepada anaknya yang tunggal, Freder. Seperti Sidharta Gautama, Freder dilindungi di istana agar tak pernah melihat penderitaan. Tapi suatu ketika ia bertemu dan jatuh cinta kepada Maria, perempuan muda pelindung si miskin. Seperti Gautama, Freder berubah. Ia memihak yang ditindas.
Tapi film ini diakhiri dengan jabat tangan. Yang semula sebuah dystopia, berujung pada utopia. Dengan gampang.
Dalam banyak hal, Metropolis — yang pekan lalu diputar di Teater Jakarta, dengan iringan musik hidup dari Orkestra Babelberg, sebagai awal festival German Season — adalah sebuah prestasi sinematik yang mengagumkan, yang mendahului masanya. Tapi ia juga sebuah cerita yang itu-itu saja: membawakan petuah tua.
Ajaran moral sering sangat menyederhanakan sejarah, seakan-akan hidup hanya dihuni ide-ide yang sudah jadi. Tapi Metropolis cocok dengan itu: karya ini megah tapi tampak lebih mengutamakan gambar bidang-bidang yang tertib, ketimbang apa yang tak terduga-duga dalam manusia. Di awal film, orang-orang yang di bawah itu ditertibkan Fredersen dan kekuasaannya. Di akhir film, mereka ditertibkan Maria dan kemuliaannya.
Si lemah tetap tak berwajah, tak bernama. Jangan-jangan mereka tak dianggap hidup, hanya jembel dalam sebuah kota yang terbelah.
Tak mengherankan bahwa Partai Nazi bertepuk tangan untuk Metropolis.
Goenawan Mohamad
September 12, 2015
Foto Itu…
… and the grave
Proves the child ephemeral…
— W.H. Auden
Foto itu — foto yang mengharu-biru perasaan itu, foto yang tak ingin kita lihat itu, foto yang ditakutkan akan membawa mimpi buruk bagi orang-orang lembut hati di seluruh dunia itu — dengan segera jadi penanda kecemasan kita hari ini. Mayat seorang bocah berumur tiga tahun telungkup di garis pantai. Jidatnya yang rapuh dan kecil tercelup ke ujung ombak yang menghanyutkan tubuhnya kembali ke wilayah Turki. Warna biru celana pendeknya dan merah kausnya seakan-akan memanggil-manggil ke seantero Semenanjung Bodrum.
Kemudian diketahui ia bernama Aylan. Dari Suriah. Bersama kakaknya, Galip, yang berumur lima tahun dan ibunya, Rehan, ia tenggelam ketika perahu yang membawa mereka terbalik. Mereka menuju Pulau Kos, di wilayah Yunani, empat kilometer saja jaraknya dari sana, tapi tak sampai. Hanya si ayah, Abdullah, yang lepas dari bencana. Ada 12 orang pengungsi dalam dua kapal yang penuh, dan delapan di antaranya anak-anak.
Tak mudah kita untuk bertanya, apalagi menjawab, apa yang akan terjadi berikutnya pada bapak yang malang itu. “Masa depan saya hilang”, hanya itu yang dikatakannya setelah memakamkan jasad anak-anak dan isterinya. Ia kembali ke Suriah.
Hari buruk itu 2 September 2015, menjelang musim gugur Yunani. Abdullah pernah inginkan masa depan dan musim Kanada yang tenang: ia meninggalkan tanah kelahirannya yang dihancurkan perang yang kejam antara ISIS dan tentara pemerintah dan pasukan pembrontak dan pasukan Kurdi dan entah apa lagi. Tapi Kanada, dengan birokrasi yang dingin hati, menolak Abdullah dan anak isterinya masuk.
Mereka pun mencoba mencari negeri lain, lewat sebuah ujung Turki, mencoba menyeberangi laut Aegia, mencapai pulau tempat kelahiran Hipokrates, bapak kedokteran, di wilayah Yunani itu. Mereka seperti ribuan pengungsi yang kini menabrak pagar Republik Hungaria, menerobos tepi-tepi Eropa — barisan harapan yang berubah jadi barisan perkabungan yang panjang. Perkabungan atas rubuhnya ribuan rumah asal dan runtuhnya bumi kelahiran. Perkabungan untuk orang-orang yang terusir, Timur Tengah yang remuk redam, Afrika yang dihantam kebengisan, negeri yang dirobek sengitnya perlawanan terhadap kekuasaan yang zalim, dicincang mata-gelap fanatisme agama, dijahanami kerakusan memperoleh wilayah, minyak bumi, dan posisi, disulut dendam yang tersimpan bertahun-tahun.
Kita, jauh dari sana sekalipun, mau tak mau ikut dalam barisan itu. Bukan cuma untuk Aylan. Kita juga murung untuk Abdullah yang berkata, “masa depan saya hilang”. Sebab apa gerangan yang akan tiba nanti dengan harapan-harapan manusia yang patah — setelah dunia menghela nafas lega karena perang nuklir tak jadi meletus 25 tahun yang lalu, tapi ternyata hidup tak lebih jauh dari putus asa?
Foto itu, foto di pasir basah itu. Aylan.
“Tiap anak lahir dengan pesan bahwa Tuhan belum hilang harapan kepada manusia”, konon Rabindranath Tagore pernah berkata. Penyair besar Bengali ini selalu punya frase-frase yang canggih dan cerah, yang manis — dan agak memabukkan. Tapi mungkin karena ia belum menyaksikan Aylan kecil tergeletak dengan muka tersungkur. Aylan yang datang dengan pesan yang baik tapi tiba-tiba tenggelam.
Di pantai semenanjung itu, adakah Tuhan masih belum hilang harapan dan semangat kepada manusia? Sebaliknya masih belum hilangkah semangat manusia di hadapan Tuhan, setelah anak-anak dengan cepat dan mudah jadi korban kekuatan-kekuatan besar yang brutal — di dunia yang tak mereka pilih, tak mereka pahami, seperti mereka juga tak memilih dan memahami pesan Tuhan — jika pun itu ada?
Barangkali pesan itu, kalaupun ada, memang keras, muram. Tapi sejarah selalu menunjukkan bahwa pada saat yang sama yang keras dan muram itu juga mengundang sebuah komitmen: yang lahir akan bisa segera hilang, yang tak bersalah atau pun yang berdosa tak akan bertahan, tapi yang hidup layak dipertahankan.
Hanya mereka yang pernah berada dalam barisan harapan dan perkabungan saja yang bisa mengalami kontradiksi itu dengan teguh dan diam: keteguhan yang berbisik seperti doa.
Saya kira itulah yang ada dalam baris-baris “Lullaby”, Nina Bobok, yang ditulis Auden dalam tahun-tahun yang terancam perang dan kematian, antara 1930-1940-an. Ia tak bisa membawakan optimisme Tagore. Tapi ia juga jauh dari kegetiran kepada hidup, meskipun di dunia yang cidera.
Barangkali kita bisa membaca “Lullaby” dan teringat Aylan yang tersenyum dalam foto bersama Galip sebelum ayah-ibunya berangkat mengungsi:
… kubur
mengingatkan betapa sementara
anak itu. Tapi di pelukanku
sampai fajar datang
biarlah makhluk yang hidup, telentang
fana, berdosa, tapi
indah, sepenuhnya.
Goenawan Mohamad
September 2, 2015
Migran
Polisi menemukan sebuah truk yang ditinggalkan orang di sebuah desa Austria yang sepi, di tepi jalan raya antara Wina dan Budapest. Bau basing menyeruak. Dengan segera diketahui: ada 5o mayat yang membusuk di dalam truk itu. Bangkai para migran. Diduga orang-orang ini mati karena tersekat, kehabisan oksigen, dalam bak tempat mereka bersembunyi atau disembunyikan, ketakutan dan berharap untuk bisa menembus wilayah Austria.
Nahas telah jadi rutin dalam kehidupan manusia yang tak lagi bertanahair ini — mereka yang berjalan jauh untuk mengubah nasib. Hanya beberapa hari sebelum truk ditemukan di desa Parndorf itu, di Laut Tengah 40 orang tewas bertimbun-timbun dalam kapal yang lima jam sebelumnya meninggalkan pantai Lybia menuju Italia. Asap dari ruang mesin menerus menerobos ke paru mereka di ruang yang berjejal-jejal dan kepanasan itu.
Nasib buruk dan dan impian indah adalah bagian yang lazim dalam sejarah — itu juga yang menyebabkan migrasi dan pengungsian terjadi. Dari zaman ke zaman.
Tapi kini kita hidup dengan tiga paradoks. Pertama, inilah masa ketika teknologi mendekatkan manusia dari pelbagai tempat yang berbeda, tapi di pihak lain makin sulit manusia berpindah tempat. Tahun 2015 mencatat 300 ribu orang meninggalkan negerinya dan bergerak untuk berpindah ke Eropa — dan ceritanya hanya tragedi. Ada yang tewas, ada yang ditangkap dan dikurung dalam karantina-karantina, ada yang berdiri setengah putus asa di pagar perbatasan yang dibangun baru.
Kita tahu mengapa mereka pindah. Tapi agaknya inilah paradoks kedua: di zaman yang katanya dibentuk “globalisasi” ini kita makin sukar untuk “imagine, there is no country…” Membayangkan tak ada lagi gerbang imigrasi, tak ada lagi visa, tak ada penjaga perbatasan? Kini di banyak sudut Eropa petugas imigrasi bersenjata tampak siap, dengan paranoia yang beberapa tahun yang lalu tak tampak.
Paradoks ketiga ada pada kenyataan bahwa manusia, terutama yang miskin, tak bisa melintasi paranoia itu, ketika kapitalisme bergerak dalam sekejap mata menyeberangi wilayah. Guncangan ekonomi RRT menggugurkan pasar saham hampir di seluruh dunia persis ketika ribuan imigran yang melarat dihadang di Calais dan di Macedonia. Saya tak bisa benar-benar “imagine, there is no country”.
Tapi apa pula arti country? “Negeri”? Atau “negara”?
Seorang Indonesia, dengan bahasa yang tumbuh dalam sejarah, agaknya segera tahu bahwa “negeri” tak harus disatukan perbatasan nasional.
Sejarawan Anthony Reid, seorang penelaah yang tekun tentang masa lalu politik Indonesia, menulis sebuah buku yang layak dibaca: Imperial Alchemy (2010). Ia memperkenalkan istilah “ethnie”, yang pengertiannya tak sama dengan “nation” dan tak sama pula dengan “race”. “Ethnie” adalah sekelompok manusia yang punya perasaan atau kesadaran yang kuat bahwa mereka punya persamaan — a strong sense of being similar. Di antara mereka mudah dibangun solidaritas karena mereka merasa punya nama kolektif yang sama, mithos tentang nenek-moyang yang sama, beberapa bagian sejarah dan tradisi yang sama, di sana-sini juga bahasa dan agama yang sama. Tak kurang dari itu, ada keterkaitan mereka dengan sebuah wilayah, di masa lampau atau sekarang.
Hal penting yang dikemukakan di sini: wilayah itu, (marilah kita sebut sebuah “negeri”), tampak satu terutama karena situs dan pusat yang sama-sama dianggap sakral, atau dihormati dan ditakuti, bukan karena perbatasan nasional yang tegas.
“Negara” dengan perbatasan nasionalnya datang kemudian. Kita tahu “negara [nasional]” lahir dengan berapi-api menentang imperialisme. Tapi dalam menentukan perbatasan sebenarnya ia bersenyawa dengan ketentuan imperialisme. Memang, para penghuni wilayah yang kemudian disebut “negara” itu tak dengan sendirinya merasa pas dengan konstruksi baru itu. Tapi “negara” punya manfaatnya sendiri: pengelola kesejahteraan dan penjaga keamanan. Setidaknya, para penghuni punya tempat untuk menuntut untuk itu.
Reid terutama berbicara tentang Asia Tenggara. Tapi hari-hari ini agaknya kita bisa memakai analisanya untuk wilayah lain. Ketika “negara” tak tampak lagi bermanfaat, Sultan, seorang imigran Sudan yang dengan susah payah mencoba memasuki Inggris, bertanya siapa yang menentukan perbatasan, selain aksiden sejarah?
Pertanyaan itu juga penting bagi mereka merasa berada dalam satuan “ethnie” yang dipertautkan agama atau kenangan kolektif. Ketika mereka hendak membangun satu “negara”, mereka juga sebenarnya hendak menggariskan perbatasan — sesuatu yang tak kekal, tapi hari-hari ini terbukti mendatangkan penolakan, paranoia, dan kematian.
Goenawan Mohamad
28 Agustus 2015
Wallace
Ilmu dimulai dengan sifat seorang anak yang takjub.
Dalam salah satu catatannya, Alfred Russel Wallace — orang Inggris yang bersama Charles Darwin menemukan “teori evolusi” — menyatakan betapa ia, baik seorang anak, terkesima melihat kumbang. Kumbang adalah “keajaiban di tiap ladang”. Siapa yang tak mengenalnya “melewatkan sumber kesenangan dan keasyikan yang tak pernah pudar”.
Kesenangan dan keasyikan itulah yang membuat Wallace bertahun-tahun mengamati mahluk hidup dari pelbagai jenis dan habitat. Meskipun ia bukan ilmuwan dalam arti yang lazim. Karena orang tuanya jatuh miskin, pada umur 14 ia harus putus sekolah. Kemudian ia pindah ke wilayah Wales membantu kakaknya yang punya usaha suvei pertanahan.
Di pedalaman itulah ia terpikat kehidupan tumbuh-tumbuhan. Ia mulai menelaah pelbagai tanaman dengan penuh antusiasme. “Siapa yang pernah melakukan sesuatu yang baik dan besar kalau bukan seorang yang antusias?” ia pernah berkata.
Pada usia 25 ia berangkat ke rimba Brazil, di sekitar Sungai Amazon dan Rio Negro — menjelajah lebih jauh.
“Di sini, tak seorang pun, selama ia punya perasaan kepada yang tak tepermanai dan yang sublim, akan kecewa”, tulisnya dari belantara tropis itu. Ia seakan tak bisa berhenti menyebut pepohonan besar yang rimbun, akar dan serat yang tergantung-gantung, burung langka dan reptil yang cantik.
Keajaiban, kata orang, tak ada lagi di dunia modern. Tapi pesona? Bagi Wallace, pesona itu bukan tentang sesuatu yang magis. Ketika kemudian ia menemukan seekor kupu-kupu di Pulau Bacan, Indonesia, ia terpukau menatap sayapnya: “…jantungku berdebar hebat, darah naik ke kepalaku, dan aku merasa seperti akan pingsan”.
Ia seperti seorang sufi yang menemukan tanda-tanda Tuhan, atau penyair yang tergerak melahirkan sajak.
Tak mengherankan bila sejumlah seniman merespons dengan ketakjuban baru pelbagai spesimen Wallace dalam “Pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam” di Galeri Salihara (15 Agustus-15 September) — sebuah pameran yang menarik: persentuhan seni dan ilmu.
Tapi berbeda dari bagi perupa, bagi Wallace, seperti patutnya sikap ilmuwan, ketakjuban menghadirkan alam sebagai “problem”; tak ada misteri. Problem adalah sesuatu yang dilemparkan di depan kita untuk dipecahkan. Wallace beranjak dari pesona ke dalam tanya. Dalam hal ini, ia seorang penggugat doktrin, juga doktrin agama.
Mengapa hewan-hewan di Papua dan di Kalimantan berbeda, meskipun kedua wilayah itu beriklim sama dengan geografi yang mirip? Mengapa ada persamaan dunia hewan di Australia dan Papua, meskipun alam yang satu gurun dan yang lain hutan tropis?
Adakah spesies X satu varietas dari Y? Apa beda antara “spesies” dan “varietas?” Adakah “varietas yang permanen”? Bukankah “varietas yang permanen” sebuah konsep yang mustahil? Bukankah dalam alam perbatasan kabur dan dalam evolusi, perbedaan hanya aksidental?
Januari 1858, di ulang tahunnya yang ke-35, dalam penjelajahannya Wallace sampai di Ternate; ia tinggal di sebuah rumah rusak yang disediakan seorang Belanda penguasa pulau. Ia datang untuk menemukan jawab. Suatu hari, dalam keadaan demam, ia terus merenungkan problem ini: teori evolusi yang dirumuskannya mengatakan spesies berubah, tapi bagaimana dan mengapa mereka berubah jadi spesies baru dengan kekhususan yang jelas? Mengapa mereka bisa beradaptasi penuh dengan modus hidup yang berbeda?
Dalam dua jam yang meriang, Wallace merumuskan jawabannya. Dua malam berikutnya ia tuliskan lengkap teori “seleksi alami” dengan survival of the fittest yang termashur itu. Ia telah menjelaskan mekanisme perubahan spesies dalam proses evolusi.
Itu juga yang ditemukan Darwin, setelah hampir 20 tahun sebelumnya menyiapkannya — meskipun tak pernah mempublikasikannya. Satu kebetulan yang bersejarah terjadi. Pada 1 Juli 1858, di pertemuan para ilmuwan London, penemuan Darwin dan Wallace dibacakan. Darwin sendiri tak bisa hadir karena berkabung atas kematian anaknya. Wallace berada nun jauh di timur.
Beberapa penulis kemudian mengatakan, Darwin hanya mengambil alih buah pikiran Wallace. Dalam The Heretic in Darwin’s Court yang ditulis Ross A. Slotten tentang riwayat ilmuwan otodidak yang hampir mati di Ternate itu, disebutkan Darwin memang cemas ketika ia membaca surat Wallace yang memaparkan teorinya — cemas kalau orisinalitas teorinya diragukan. Tapi Wallace tak berkata begitu. Baginya, pengarang The Origin of Species itu penemu sejati teori evolusi.
Tampaknya, bagi Wallace, yang terpenting bukan keunggulan diri. Teorinya belum tentu jawab terakhir. Ia bahkan menelaah apa yang oleh para ilmuwan dalam zaman positivisme itu dianggap “takhayul”: pertemuan manusia dengan dunia roh. Wallace, yang menolak jawaban agama yang mengaku paling benar tentang hidup, juga menolak ilmu yang ogah bertanya tentang mati. Keberaniannya adalah ingin tahu.
Goenawan Mohamad
24 Agustus 2015
August 9, 2015
Gurun
Di sebuah gurun pasir, seorang penggembala menyingkir dari kemarahan seorang Nabi. Dalam kisah terkenal Jalaluddin Rumi ini — dalam kitab Masnawi — Musa mendengar doa yang aneh dari mulut penggembala itu: “Oh, Tuhan, di manakah Kau? Bolehkah aku jadi sahaya-Mu, menjahit kasut-Mu dan menyisir rambut-Mu? Bolehkah aku mencuci baju-Mu dan membasmi kutu-Mu dan membawakan-Mu susu?…”
Bagi Musa, doa yang terlampau bergelora itu awal kekafiran: menyamakan Tuhan dengan manusia yang butuh air susu adalah sikap yang kurang ajar.
Maka Musa berteriak: “Sumbat mulutmu dengan kain!…Kalau kau tak hentikan tenggorokanmu memuntahkan kata-kata seperti itu, api akan datang dan membakar orang-orang…”
Mendengar itu si penggembala berhenti berdoa. “Ah, Musa. telah kau bakar sukmaku dengan penyesalan…”.
Ia pun merobek gamisnya dan seraya nafasnya melenguh dalam, ia menengok ke ujung gurun dan dengan seketika pergi.
Di saat itu, demikian dikisahkan Rumi, Tuhan menegur Musa: “Telah kau pisahkan hamba-Ku dari Aku. Engkau datang untuk merukunkan, atau untuk meretakkan? Jangan kau memisah-misahkan; hal yang Aku benci adalah perceraian. Telah kuberikan kepada tiap orang bentuk ekspresi yang tersendiri…Aku tak tergantung pada kemurnian maupun najis, tak tergantung pada kemalasan maupun kegairahan sembahyang”.
Mendengar teguran Tuhan, Musa bergegas lari ke tengah gurun mengejar sang penggembala. Ketika mereka bertemu lagi, sang Nabi memberitahu kabar gembira itu: “Sudah datang perkenan Tuhan: kau tak perlu mencari aturan atau cara untuk sembahyang. Ungkapkan saja apa yang dikehendaki hatimu”.
Tapi — dan ini yang tak disangka-sangka dari dongeng Rumi ini — sang penggembala menjewab: “Ah, Musa, aku telah melampaui itu: aku kini tenggelam, berendam, dalam air mata tangisku.”
Sang penggembala tak hendak kembali ke dalam acuan Musa. Nabi itu tetap bertumpu pada “perkenan”, perizinan, sabda. Dengan kata lain: rumusan hukum. Sang penggembala lebih menyukai keakraban yang total dengan Tuhan yang dicintainya. Masnawi Rumi tampaknya menunjukkan bahwa Musa — yang dalam Alkitab dikisahkan sebagai penerima 10 AturanTuhan — tak memahami sepenuhnya apa yang dikatakan Tuhan: “Mereka yang memperhatikan aturan berbicara dan berperilaku adalah satu hal; mereka yang terbakar oleh cinta [kepada Tuhan] adalah hal lain”.
Sang penggembala tak mau menyerah kepada jalan yang dianggap linear: hukum. Ia memilih tinggal di gurun. Di tengah bentangan pasir dan batu karang itu, batas-batas tak jelas. Juga tak penting. Garis lurus bisa ditarik tanpa ada Barat atau Timur. Ke arah mana menghadap Tuhan? “Di dalam Kaabah,” tulis Rumi, “perlukah kepastian kiblat”?
Saya pernah membaca sebuah pembahasan yang menganggap gurun dalam bagian Masnawi ini sebagai sebuah kiasan yang penting ketika berbicara tentang iman — yang sering disederhanakan dan disebut sabagai “agama.”
Beberapa ratus tahun setelah Rumi, Derrida menampilkan lagi imaji itu. Dalam La Religion, ketika membahas pengalaman religius manusia, ia menyebut “gurun di dalam gurun”: ketika manusia mengalami secara total “ketiadaan”, ketika aku, dalam pengalaman mistis itu, seakan-akan hilang tanpa jejak, lebur dalam haribaan Yang Lain.
“Gurun di dalam gurun” itu, sebagaimana umumnya agama-agama, mengandung janji, pengharapan yang “messianik”: nun nanti di ufuk sana, di bawah kaki langit, ada yang Lain ke mana kita tabah dan tawakal akan sampai. Tapi janji itu tak bisa digambarkan lebih dulu. Ia mengisyaratkan sesuatu yang tak terhingga.
Bersama itu, “gurun di dalam gurun” itu juga khôra: “tempat” yang bukan tempat, sesuatu yang sama sekali beda dari apapun juga. Dengan kata lain, dalam iman selalu terkandung hal-hal yang tak bisa diringkas tapi memanggil kita untuk terus menerus mencari. Bersama itu pula kita mengenal dan menghargai apa yang mustahil namun bernilai — misalnya janji Keadilan yang akan datang.
Dengan demikian iman mengandung keberanian — yang umumnya pudar ketika diringkus jadi sebuah sistem dan ditertibkan dengan hukum-hukum yang menjaga jalan lurus. Dalam The Prayers and Tears of Jacques Derrida: Religion Without Religion, John D. Caputo menggambarkan “agama” dalam pemikiran Derrida sebagai “sebuah iman tanpa dogma yang maju dengan risiko di dalam malam yang gelap pekat.”
Malam di gurun….
Jauh dari padang pasir, hidup di antara pantai kepulauan dan samudra, mungkin bagi kita lebih pas metafora lain untuk menggambarkan iman yang tanpa dogma: lautan. Iman yang tak dibatasi sistem adalah samudra yang merupakan kancah gerak yang tak penah berhenti. Arah hanya dikenal di bintang-bintang. Ombak seakan-akan itu-itu juga, tapi sesungguhnya senantiasa beda, berubah. Itu sebabnya lautan, yang menampung air dari pelbagai sungai, sebenarnya tak pernah bernama, sampai datang para penakluk dan pembuat peta.
Iman memang kemudian diberi label (“Islam”, “Kristen”, “Yahudi”, “Hindu”, dan sejenisnya). Ia diletakkan dalam sebuah peta. Tapi ibarat lautan, ia tetap mengandung risiko. “Unggahlah muatan dan berangkatlah berlayar,” tulis Rumi. “Tak seorang pun bisa tahu pasti akankah kapal tenggelam atau sampai ke pelabuhan.”
Dalam ketakpastian itulah keyakinan, atau iman, menyatakan diri. Itu berarti ia lebih kuat ketimbang konsep dan ajaran. “Berapa banyak lagi kalimat-kalimat, konsep dan kiasan? Aku inginkan api yang membakar, membakar, membakar” — Masnawi 2: 1760.
Goenawan Mohamad
3 Agustus 2015
Tiga Huruf
Tiga aksara muncul enam kali dalam Qur’an, Alif Lam Mim — dan orang bertanya-tanya apa artinya.
Tafsir pun datang silih berganti. Ada yang mengatakan bahwa bentuk tiga huruf itu melambangkan jalan hidup manusia. Ada pula yang membacanya sebagai bagian dari “matematika” Tuhan dengan angka-angka.
Saya tak tahu mana yang benar.
Alif yang bergandeng dengan Lam dan bergandeng lagi dengan Mim itu agaknya menunjukkan betapa tak tepermanainya hubungan antara yang yang maha-tak-tergambarkan dan bahasa manusia.
Sering dikatakan hubungan itu terjadi dalam wahyu. Wahyu datang dan jadi pengalaman religius yang intens, yang tak dapat diulangi, yang hanya bisa dirasakan sendirian dan mampu mengubah hidup seseorang: “the individual pinch of destiny“, dalam kata-kata William James. Wahyu turun dan sang penerima menadahnya dengan gentar gemetar, terguncang terpesona. Tak ada kata-kata.
Tapi tak untuk selama-lamanya. Pada suatu saat kemudian, si penerima wahyu akan membutuhkan kata-kata. Memang, seorang yang baru berada dalam sebuah pengalaman religius bisa memilih diam bersama ketak-mampuannya — atau keengganannya — bercerita. Tapi kemudian bisa saja ia merasa perlu memakai bahasa — juga buat dirinya sendiri — agar pengalamannya yang unik itu tak sekedar sekali terjadi dan sudah itu tak bisa ditengok kembali.
Bahasa adalah perekam. Itulah sebabnya catatan harian ditulis, pengalaman dikisahkan, puisi digubah. Dengan itu orang ingin menghadirkan kembali apa yang dialami, meskipun tentang hal yang sebenarnya tak dapat dihadirkan kembali. Jalaludin Rumi pernah mengatakan ada “rahasia yang tak terungkapkan” dan itu adalah Cinta, tapi pada saat yang sama ia menulis berpuluh baris tentang “rahasia” itu.
Dengan kata lain, ada “rahasia yang tak terungkapkan” namun rahasia itu terasa mendesak agar diungkapkan. Ada cinta yang ibarat lautan tak bertepi tapi kemudian sesekali kita ingin menengoknya kembali. Ketegangan selalu terjadi dalam diri seseorang yang berada dalam hubungan yang akrab dan bergelora: sang pencinta tahu kata-kata tak mampu menguraikan kegandrungannya, namun pada saat yang sama ternyata ia membutuhkan daya verbal untuk merekonstruksi dan “membaca” kegandrungan itu. Mirip ketika kita terbangun tidur yang lelap dan mencoba menyusun sebuah narasi yang utuh dari kegalauan mimpi.
Yang sering kita lupa: ketika narasi terbentuk, kita sebenarnya telah membuat tafsir. Menengok kembali dan mengutarakan pengalaman kita adalah membuat interpretasi.
Tiap penerima wahyu melakukan itu. Ia gentar, gemetar dan terpesona, tapi ia tak mau terus menerus demikian. Wahyu itu pun jadi teks, dan teks itu sekaligus sebuah ta’wil. Ada seorang penelaah Qur’an yang mengungkapkan: al-wajh al-akhtar li al-nass. Interpretasi adalah sisi lain teks. Tak ada teks yang tak diinterpretasikan.
Tak selamanya itu membuat yang diinterpretasikan jadi transparan dan kekal. Interpretasi bekerja dalam sejarah: tiap manusia, juga para nabi, menafsir apa yang diwahyukan kepadanya dari sebuah ruang tertentu, waktu tertentu. Selamanya perlu kerendahan-hati, selamanya contingent, selamanya nisbi.
Tiga huruf itu, Alif Lam Mim memang hadir seakan-akan sebuah gudang perbendaharaan ilmu yang tak kunjung kita dapatkan kunci pembukanya. Tak ada kamus, juga perbendaharaan kata para sufi, yang bisa menerjemahkannya: dalam kitab-kitab suci selalu ada campuran, bahkan “pergulatan”, antara bahasa “sunyi” dan bahasa publik — seperti dalam puisi.
Dalam pergulatan itulah puisi — juga dalam kitab suci — sering mengejutkan, kadang aneh dan sulit, dan sering menyebabkan sebuah kalimat dianggap bagaikan seunggun teka-teki yang bisa dipecahkan dengan prosedur analisis.
Tapi puisi bukan cangkriman. Alif Lam Mim bukan teka-teki yang jawabnya bisa didapat dengan memeras otak. Mungkin ia sentuhan yang sayup-sayup lembut agar kita kembali ke dalam pengalaman religius yang tak sepenuhnya bisa diuraikan. Di depan tiga huruf itu kita bukan pikiran yang sepenuhnya mengerti.
Goenawan Mohamad
13 Juli 2015
July 12, 2015
Frankfurt Book Fair 2015: Bukan Cuma Sastra dan Sastrawan
Oktober 2015 nanti, Indonesia akan hadir di Pekan Raya Buku Frankfurt, atau Frankfurt Buchmesse, tak hanya dengan membawa sekitar 8000 buku. Tak hanya juga dengan sekitar 70 orang pengarang – sastra dan non-sastra. Tapi dengan warna-warni rempah-rempah, dengan karya-karya kuliner tujuh orang chef Indonesia terkemuka, antara lain William Wongso, sang maestro.
Pavilyun – tempat negeri yang jadi Tamu Kehormatan memajang dunia kreatifnya –yang di tahun 2015 ini didesain Muhammad Thamrin, seorang arsitek dari Bandung, ada beberapa “pulau”. Inilah ruang untuk memamerkan keragaman Indonesia. Salah satunya “Pulau Rempah”, “Island of Spice”, “Insel der Gewürze”: pusat program kuliner kita.
Di ruang yang dibuat seperti café dan restauran itu para tamu bisa menikmati kopi luwak, kopi Toraja dan Sumatra, teh yasmin, dan lain-lain. Tapi unsur buku penting. Tiap pukul 2:00 siang, akan diluncurkan buku karya tokoh kuliner Indonesia, disertai ceramah tentang masakan dan bahan-bahannya. Tentu saja ada kesempatan pengunjung buat mencicipi makanan Indonesia..
Di sana juga, di dalam wadah yang mirip lesung, dipamerkan lebih dari 50 rempah-rempah dalam warna-warni asli: pelbagai cabe, jahe, merica, beras yang tak hanya putih.
Sementara itu, di luar Paviliun, di balai yang disebut Gourmet Gallery, tiap hari – di saat makan siang – para chef terkemuka kita akan mempertunjukkan kemahiran. Selain William Wongso, juga Bondan Winarno, Petty Elliot, Vindex Tengker, Sandra Djohan, Bata Pattiradjawane.
Mereka ini sejak 14 Oktober akan masak di pelbagai restoran terkemuka, misalnya di Freitagskuche MMK (Museum Moderne der Kunst), Villa Kennedy, dan Freitagskuche Mainzer.
Di dekat Gourmet Gallery akan ada gerai buku masakan Indonesia. Juga “dapur penjelajahan makanan”: murid-murid sekolah dari seluruh Eropa, umur 12 sampai 18 tahun, akan ambil bagian dalam kelas memasak dengan menu bermacam-macam.
Komite Kuliner juga punya kreasi lain: Sastra Kaki Lima.
Untuk itu dua buah gerobak angkringan dibuat di Jakarta dan kini sudah dalam perjalanan dengan kapal laut ke Jerman. Gerobak itu nanti akan diparkir berpindah-pindah di beberapa bagian kota Frankfurt, untuk ikut serta dalam perayaan “Open Book” yang diselenggarakan Bagian Kebudayaan kota itu. Di sebelah gerobak, di mana orang akan menikmati makanan pinggir jalan Indonesia, sastrawan Indonesia dan sastrawan Jerman akan membaca karya atau bercerita. Sastrawan Jerman yang akan ikut adalah mereka yang bulan-bulan ini tinggal di pelbagai tempat di Indonesia. Goethe Institut mendatangkan mereka untuk diminta menuliskan karya tentang negeri “Guest of Honour” 2015 ini.
Narsisus
Narsisus jatuh cinta kepada dirinya sendiri dan tak lama kemudian mati. Pada umur 15, anak berwajah rupawan itu dibawa ibunya ke hadapan Tiresias sang penujum.
Dalam Metamorfosis, puisi Ovidius yang digubah di sekitar Roma pada abad ke-4 Sebelum Masehi, digambarkan peramal yang buta itu mengucapkan sesuatu yang aneh: “Bila anak ini tak kenal dirinya sendiri, ia akan hidup panjang…”
Syahdan, Narsisus pun jadi lelaki dewasa,dan perempuan dan pria pada jatuh cinta kepadanya. Tapi tak ada yang ia acuhkan. Juga makhluk cantik yang biasanya menggoda: para bidadari bumi yang berdiam di rimba dan sungai.
Salah satu dari mereka adalah Gema. Pada suatu hari, ia melihat Narsisus berburu melintasi ladang-ladang yang jauh.Ia terpikat. Ia ikuti lelaki itu ke manapun dengan sembunyi-sembunyi. Cintanya membakar diri, “ibarat api membakar belerang,” tapi ia hanya diam. Ia tak bisa merayu. Bidadari itu telah dikutuk seorang dewi; ia tak bisa bicara, ia cuma mampu mengulang suara orang lain.
Dan itulah yang terjadi ketika Narsisus tersesat. Pemburu itu berteriak: “Siapa di sekitar sini?”. Dari semak-semak Gema pun bersuara, mengulang: “Sekitar sini?”.
Tak bisa lain.Tiap kali Narsisus bicara, hanya ulangan kata-katanya yang menjawab. Sampai akhirnya ia berseru, “Mari, ke sini berdua!”.
“Berdua…!” suara Gema terdengar — dengan berbahagia sekali, sebab itulah satu-satunya kalimat yang sesuai dengan hatinya. Ia pun muncul dari semak-semak, langsung memeluk Narsisus.
Tapi laki-laki itu mengelak, pergi.
Bidadari itu malu dan sedih dan mengembara jauh.Tubuhnya jadi kurus, tinggal tulang. Akhirnya, seperti dikisahkan Metamorfosis, tulang itu jadi batu. Gema hanya hidup sebagai suara yang tertinggal — suara yang tak bisa mengungkapkan keinginannya sendiri.
Memang, Narsisus menyebabkan banyak hati yang patah. Sebab itu dewi Nemesis berniat menghukumnya: waktu berburu, lelaki tampan itu diarahkan jalannya. Ia sampai ke sebuah palung yang bening, dikelilingi lumut dan rumput yang lembut. Kepanasan dari perjalanan dan dirundung haus, Narsisus menelungkup ke arah air, ingin meraupnya. Tapi ketika ia menatap ke palung itu, “rasa haus yang lain terbangun”. Sebuah pemandangan memukaunya. Ia kagum dan jatuh cinta kepada apa yang dilihatnya: paras yang sangat tampan. Ia mencium bayangan itu, ia mengulurkan tangannya ke dalam air. Tentu saja tak ada yang dapat disentuhnya.
Tapi Narsisus tetap menatap. Ia merasa bayangan itu ingin dikecup, ingin membalas peluk, dan selalu bersamanya. Bila ia senyum, bayangan itu juga tersenyum. Bila ia menangis, tampak yang di permukaan air itu menangis.
“Pandir, kenapa kau coba tangkap bayangan yang melintas, sia-sia? Apa yang kau cari tak ada di mana-mana…Yang tampak olehmu hanya bayangan bentuk yang dipantulkan: tak ada bagian dirimu yang ada di dalamnya. Ia datang dan tinggal bersamamu, pergi bersamamu, jika kau bisa pergi!”.
Narsisus pun berangsur-angsur sadar: ia, yang kasmaran kepada dirinya sendiri, tak tahu apa yang harus dilakukannya.
Dalam putus asa, air matanya menetes. Tetesan itu menggerakkan permukaan telaga, dan bayangan itu lenyap. Ia kehilangan. Ia menanti. Menatap.
Dalam keadaan teramat lelah, ia terkapar di tepi palung itu. Dan datanglah kematian, menutup mata yang indah itu untuk selama-lamanya.
Dan itulah nujum Tiresias: ketika pemuda rupawan itu mengenali dirinya sendiri, umurnya tak panjang….
Kini, 2000 tahun kemudian, perempuan, lelaki, bangsa, agama, dan entah apalagi, boleh menyimak kisah ini: “mengenali diri sendiri”(“aku adalah dia”, kata Narsisus memandang ke bayangannya), mengandung ilusi yang serius.
Tapi narsisme biasa menyusup ke dalam diri kita, sering dalam ekspresi yang lamat-lamat: kita merasa berhasil menemukan “jati diri”, atau kita ingin mendapatkannya seraya terus menerus hanya menatap diri. Atau, untuk memakai kata-kata Ovidius tentang Narsisus, kita menghasratkan diri sendiri.
Perlukah kita katakan, di zaman selfie ini, zaman orang-orang mengabadikan tampang, bahwa narsisme adalah jalan singkat ke pelbagai kematian?
Sebab wajah yang kita lihat di cermin (dan di kamera) adalah gambar yang menyesatkan. Sejak seorang bocah melihat dirinya sendiri di sana — dalam “tahap cermin”, menurut psikoanalisis Lacan — ia sebenarnya hanya, untuk mengulang kalimat dalam Metamorfosis, menangkap “bayangan yang melintas”. Perspektifnya “sia-sia”. Bentuk yang dipantulkan kaca itu sebenarnya tak menyimpan bagian dari diri kita.
Tapi apa boleh buat: sejak kecil kita dibentuk oleh konvensi, khususnya dalam bahasa dan kebutuhan sementara untuk mengukuhkan “aku” dan “engkau”. Akhirnya itulah yang tak kita sadari menjebak kita: ada subyek, ada obyek.
Kita pun membangun dunia berdasarkan ilusi bahwa ada “aku” yang utuh, “mereka” yang pasti. Kita alpa bahwa yag ada adalah, dalam kata-kata Lacan, “bayang-bayang ego yang bergerak terus.” Kita lupa, kita bisa mengidentifikasikan sesuatu hanya karena ada “yang-lain”, yang “bukan-aku”. “Anjing” dikenal sebagai “anjing” karena ia bukan “kucing”, bukan “kancil”, bukan “macan”… Tak ada definisi.
Dengan kata lain, anjing dan aku mendapatkan bentuk karena kami tak sendiri. Narsisme identitas, narsisme “jati diri”, pada tiap perempuan, lelaki, bangsa, agama, dan “aku” apa saja, melupakan ini: yang tragis bermula dengan Narsisus yang sendirian di tepi kolam.
Bahkan ia tak ingin disertai Gema.
Goenawan Mohamad
July 3, 2015
Frankfurt Book Fair 2015: Barong Banyuwangi, Dwiki, Djadug dan Angkringan
2015 adalah tahun ke-70 kemerdekaan Indonesia. Perlu satu peringatan khusus.
2015 Indonesia akan tampil di Frankfurt am Main sebagai “Tamu Kehormatan” dalam Frankfurt Book Fair, dengan mendatangkan sekitar 8000 buku, 30 lebih penerbit dan 70 pengarang dari pelbagai jenis karya, juga para penggiat buku, bersama dengan sekitar 20 seminar dan diskusi panel yang akan menghadirkan pembicara Jerman dan Indonesia.
Frankfurt Book Fair 2015, dengan kata lain, bukan hanya kesibukan sastra…
Di samping itu: pameran seni rupa, arsitektur, fotografi, film, animasi, komik, naskah kuno Nusantara.
Juga dunia kuliner Indonesia.
**
Acara sudah dimulai akhir Juni yang lalu di Köln dan Berlin: sebuah seminar bersama tentang masalah diaspora Muslim dan integrasi nasional, yang menghadirkan Dr Syafiq Hasyim dan Dr Luthfi Assyaukani dari Indonesia, dan Dr Claudia Derich dan Dr. Mohand Khorchide dari dua universitas Jerman.
Pada hari itu juga tampil Aktor Iman Soleh dan Dalang Atjep Hidayat, dalam kombinasi puisi dan kecapi, membawakan “Air, Burung, Nenek Moyang” yang mempesona hadirin.
Dua pengarang terkenal kita, Okky Madasari, membacakan fragmen dari karyanya yang diterjemahkan ke bahasa Jerman dengan judul, “Seelen in Ketten” dan Triyanto Tiwikromo yang versi Jerman dari karyanya berjudul, “Der elfte Heilige“.
Kedua sastrawan itu juga tampil di Literatur Haus di Berlin dengan hadirin yang penuh.
**
Dari Juni, ke Agustus.
Menjelang akhir Agustus, di Museum Arsitektur Jerman akan diadakan pameran karya 12 arsitek Indonesia – sebuah tinjauan kembali atas hubungan iklim tropis dan arsitektur. Pameran akan berlangsung setidaknya sampai November, dan direncanakan dikelilingkan ke kota lain, termasuk salah satu kota di Belanda. Saya akan bicara lebih detail tentang ini dalam posting nanti.
Di minggu ke-3 Agustus juga Indonesia akan hadir dalam Festival Museum Uferfest – sebuah festival tahunan yang rata-rata dihadiri sekitar 2 juta orang selama tiga hari. Festival akan bertempat di sepanjang Sungai Main, di seberang deretan museum.
Indonesia, sebagai Tamu Kehormatan Frankfurt Buchmesse, mendapatkan posisi istimewa, dengan memperoleh ruang seluas 800 meter persegi. Komite Nasional FBF 2015 akan mendatangkan rombongan Barong Banyuwangi yang juga akan mengadakan parade. Musikus Dwiki Darmawan akan tampil beserta para musisi Eropa, berselang-seling dengan presentasi “Kua Etnika” Djaduk Feriyanto. Jika tak ada aral melintang, penyanyi tenar Bonita dkk akan manggung.
Fesival akan diramaikan dengan dua DJ dari Jakarta – dan juga irama dangdut.
Tak kurang dari itu, Indonesia akan menyajikan beberapa jenis kuliner. Dua buah kereta angkringan – untuk berjualan bakso dan sate, misalnya — khusus dibuat untuk itu, dan sekarang dalam perjalanan melalui kapal menuju Frankfurt.
Mudah-mudahan semua lancar….
Frankfurt Book Fair 2015: Seni Rupa Indonesia di Frankfurt
Di dinding ini saya pernah uraiakan sedikit tentang buku-buku Indonesia yang akan dipasang dalam Pekan Raya Buku di Frankfurt, dalam Frankfurt Book Fair. Sekarang saya akan menceritakan yang lain.
Setiap negara yang dipilih jadi “Tamu Kehormatan”, Guest of Honour, diharapkan menghadirkan kreasi bangsanya di bidang kreatifitas, tak hanya dalam sastra. Dalam tahun 2015 ini, Indonesia akan memamerkan karya arsitektur, seni rupa, fotografi, tari, dan musik.
Saya mulai dengan Seni Rupa.
Akan dibuka pertengahan September (dan kemudian diresmikan pertengahan Oktober), pameran akan ditutup awal Januari tahun depan. Ia akan diisi oleh empat perupa yang terkenal: Eko Nugroho, Jompet, Joko Avianto, dan grup Tromarama. Mereka akan menampikan karya ukuran besar. Tempatnya di Galeri Kunstverein, Frankfurt.
Eko Nugroho akan membuat mural di dinding galeri melintasi dua lantai – hingga dapat tampak dari luar, lewat kaca-kaca gedung itu. Eko sangat terkenal di bidang ini dan telah menampilkan karanya di pelbagai negara di Eropa.
Jompet akan mengisi seluruh ruangan dengan instalasinya – yang merupakan kombinasi yang mengejutkan antara pelbagai elemen, biasanya yang mengandung masa lalu dan masa kini.
Sebuah ruangan lain akan diisi karya grup Tromarama – yang salah satu anggotanya perupa perempuan, Febie Babyrose. Karya grup yang dibentuk di tahun 2004 ini menggabungkan pelbagai macam medium: menghadirkan gema kebudayaan kota besar kini.
Joko Avianto terkenal dengan instalasi bambunya. Di façade galeri yang terletak di sudut alun-alun (Röme) kota Frankfurt itu Joko akan membentuk satu sosok besar dengan 15.000 batang bambu.
Hari-hari ini bambu itu sedang dalam perjalanan dengan kapal laut dari pelabuhan Semarang menuju pelabuhan Hamburg– setelah diuji di laboratorium ITB tentang ketahanannya dalam api. Dari Hamburg batang-batang bambu itu akan diangkut ke Frankfurt dengan transportasi darat.
Instalasi ini akan dibangun selama beberapa hari. Bisa dibayangkan proses itu akan jadi atraksi tersendiri: penghuni kota Frankfurt akan menyaksikan prosesnya.
Kurator pameran adalah Asikin Hasan dan Rizki Ahmad Zaelani. Dukungan penuh diberikan Tubagus Andre, direktur Galeri Nasional. Keempat karya itu merupakan hasil seleksi bersama dengan Franziska Nori, direktur Kunstverein. Nori, meskipun ia mengaku tak tahu senirupa Indonesia, telah membaca banyak, dan sejak mula ia mengusulkan karya Joko, Eko dan Jompet – dan itu cocok dengan pilihan kurator Indonesia.
Karya yang akan ditampilkan tidak banyak, untuk memudahkan pengelolaannya, tapi diharapkan impresif. Tampaknya memang akan demikian.
Goenawan Mohamad's Blog
- Goenawan Mohamad's profile
- 506 followers
