Jessica Huwae's Blog: Jessica Huwae - Posts Tagged "javier"
Javier
Menulis memang adalah pekerjaan yang sunyi dan riuh sekaligus. Riuh karena karakter-karakter yang kulahirkan dan kutiupkan napas hidup itu begitu gaduh dan tidak sabar untuk menyatakan diri mereka, menceritakan apa-apa saja yang terjadi dalam hidup mereka, mengeluarkan perasaan mereka yang terdalam. Namun ada kalanya pekerjaan ini tidak memberikanku apa-apa kecuali kesunyian yang membuatmu hampir-hampir merasa gila.
Saat-saat itulah aku merindukan kehadiran Duma. Aku merindukan rengkuhan hangatnya. Matanya yang menatapku seakan-akan aku adalah poros dunianya. Dan senyumnya yang seakan-akan berkata bahwa hidup akan baik-baik saja. Bahwa aku akan tetap menghasilkan karya yang baik, dan dia atau pun dunia tetap menunggu karya-karya terbaikku.
Kelak, baru kutahu bahwa dunia tak pernah menunggu. Seperti ilalang, hari ini kau ada dan esok kau sudah dilupakan orang. Namun terlebih dari itu, aku merindukan logikanya. Aku merindukan realita hidup yang tiada bosan ia lemparkan ke pangkuanku setiap hari.
Termasuk kenyataan bahwa pada akhirnya kami tidak dapat bersama.
Setiap hari kami berjalan menuju arah yang berbeda dan kian menjauh. Sampai satu hari itu datang. Saat aku harus memeluk, mengusap air mata yang turun di wajahku sendiri dan kemudian melepasnya pergi—tanpa ia menoleh sekali pun ke arahku, yang berdiri sambil menatap dengan harap-harap cemas di belakangnya. Menengoklah duma, lihat ke belakang, bisikku perlahan. Lihat aku yang menatapmu dengan perasaan yang merana.
Namun Duma terlalu bersemangat untuk pergi.
Aku menyaksikan punggungnya yang menjauh dan semakin mengecil dari hadapanku. Ada rasa takut yang seketika menyergap, akankah aku melihatnya kembali? Akankah ia peduli akan apa-apa yang kurasa lagi? Atau semuanya benar-benar selesai sampai di sini? Ini adalah hal terberat yang harus ditanggung oleh manusia yang pernah berpasangan dan mengalami dinamika hidup berpasangan. Kau lumpuh sebelah.
Suka tidak suka, mau atau tidak mau mengakuinya. Karena sejak saat itu kau harus menanggung sisa rasamu sendiri—karena kau tidak tahu apakah ia masih peduli padamu, masih secara hikmat menyebut namamu dalam doa-doa malamnya menjelang tidur—atau kau hilang lenyap dari ingatannya begitu saja? Lenyap bersama angin malam yang merayap pelan menuju langit lepas. Meninggalkan dirimu dengan perasaan kebingungan. Padahal kadang kau belum benar-benar siap untuk melepaskan. Kau butuh penutupan. Kau butuh akhir. Agar kau bisa menutup lubang-lubang hatimu. Agar kau bisa menghayati arti sebuah pengakhiran dan mengubur harapanmu dalam-dalam. Demi kebaikanmu sendiri. Tapi bukankah perpisahan memang selalu lebih berat bagi yang ditinggalkan? Ada rasa sesak seperti gelembung-gelembung asam yang memenuhi ruang-ruang di dadamu. Rasanya begitu janggal dan pengap. Dan di saat itulah kau baru memahami arti frasa “setengah mati” karena rasanya memang sungguh demikian. Kau masih hidup, walau sebagian dirimu telah mati.
Dengan caranya, Duma mencoba membantuku menutup salah satu lubang-lubang itu. Seorang pria berkacamata dengan wajah yang memiliki aura ningrat dan perut yang agak maju, segera turun dan membukakan pintu mobilnya. Dengan segera ia menyambut satu tas besar, koper dan sebuah kamera SLR yang menggantung di leher Duma. Tipe pria siaga. Tidak terlalu tampan atau mengesankan memang, namun setidaknya ia tanggap akan kebutuhanmu—dan mau memerhatikan setiap naik turun emosimu bagaikan pahlawan yang bertugas menjaga kota.
Setidaknya itu yang diungkapkan Duma di hari-hari terakhir menjelang perpisahan kami. Seharusnya Duma mencari pria berdarah merah. Jangan biru. Sesalku. Golongan pria berdarah biru itu dingin, kaku dan membosankan. Mereka memuja ritual dan hirarki, terperangkap dalam sangkar kelas-kelas yang mereka ciptakan sendiri. Tentu saja Duma tidak mendengarkanku. Ia tampaknya ingin buru-buru berlalu. Meninggalkan aku, yang mungkin adalah mimpi buruk baginya—dan juga keluarganya.
(Currently working on #Javier, my next writing project. Hopefully I'll manage to publish it this year)
Saat-saat itulah aku merindukan kehadiran Duma. Aku merindukan rengkuhan hangatnya. Matanya yang menatapku seakan-akan aku adalah poros dunianya. Dan senyumnya yang seakan-akan berkata bahwa hidup akan baik-baik saja. Bahwa aku akan tetap menghasilkan karya yang baik, dan dia atau pun dunia tetap menunggu karya-karya terbaikku.
Kelak, baru kutahu bahwa dunia tak pernah menunggu. Seperti ilalang, hari ini kau ada dan esok kau sudah dilupakan orang. Namun terlebih dari itu, aku merindukan logikanya. Aku merindukan realita hidup yang tiada bosan ia lemparkan ke pangkuanku setiap hari.
Termasuk kenyataan bahwa pada akhirnya kami tidak dapat bersama.
Setiap hari kami berjalan menuju arah yang berbeda dan kian menjauh. Sampai satu hari itu datang. Saat aku harus memeluk, mengusap air mata yang turun di wajahku sendiri dan kemudian melepasnya pergi—tanpa ia menoleh sekali pun ke arahku, yang berdiri sambil menatap dengan harap-harap cemas di belakangnya. Menengoklah duma, lihat ke belakang, bisikku perlahan. Lihat aku yang menatapmu dengan perasaan yang merana.
Namun Duma terlalu bersemangat untuk pergi.
Aku menyaksikan punggungnya yang menjauh dan semakin mengecil dari hadapanku. Ada rasa takut yang seketika menyergap, akankah aku melihatnya kembali? Akankah ia peduli akan apa-apa yang kurasa lagi? Atau semuanya benar-benar selesai sampai di sini? Ini adalah hal terberat yang harus ditanggung oleh manusia yang pernah berpasangan dan mengalami dinamika hidup berpasangan. Kau lumpuh sebelah.
Suka tidak suka, mau atau tidak mau mengakuinya. Karena sejak saat itu kau harus menanggung sisa rasamu sendiri—karena kau tidak tahu apakah ia masih peduli padamu, masih secara hikmat menyebut namamu dalam doa-doa malamnya menjelang tidur—atau kau hilang lenyap dari ingatannya begitu saja? Lenyap bersama angin malam yang merayap pelan menuju langit lepas. Meninggalkan dirimu dengan perasaan kebingungan. Padahal kadang kau belum benar-benar siap untuk melepaskan. Kau butuh penutupan. Kau butuh akhir. Agar kau bisa menutup lubang-lubang hatimu. Agar kau bisa menghayati arti sebuah pengakhiran dan mengubur harapanmu dalam-dalam. Demi kebaikanmu sendiri. Tapi bukankah perpisahan memang selalu lebih berat bagi yang ditinggalkan? Ada rasa sesak seperti gelembung-gelembung asam yang memenuhi ruang-ruang di dadamu. Rasanya begitu janggal dan pengap. Dan di saat itulah kau baru memahami arti frasa “setengah mati” karena rasanya memang sungguh demikian. Kau masih hidup, walau sebagian dirimu telah mati.
Dengan caranya, Duma mencoba membantuku menutup salah satu lubang-lubang itu. Seorang pria berkacamata dengan wajah yang memiliki aura ningrat dan perut yang agak maju, segera turun dan membukakan pintu mobilnya. Dengan segera ia menyambut satu tas besar, koper dan sebuah kamera SLR yang menggantung di leher Duma. Tipe pria siaga. Tidak terlalu tampan atau mengesankan memang, namun setidaknya ia tanggap akan kebutuhanmu—dan mau memerhatikan setiap naik turun emosimu bagaikan pahlawan yang bertugas menjaga kota.
Setidaknya itu yang diungkapkan Duma di hari-hari terakhir menjelang perpisahan kami. Seharusnya Duma mencari pria berdarah merah. Jangan biru. Sesalku. Golongan pria berdarah biru itu dingin, kaku dan membosankan. Mereka memuja ritual dan hirarki, terperangkap dalam sangkar kelas-kelas yang mereka ciptakan sendiri. Tentu saja Duma tidak mendengarkanku. Ia tampaknya ingin buru-buru berlalu. Meninggalkan aku, yang mungkin adalah mimpi buruk baginya—dan juga keluarganya.
(Currently working on #Javier, my next writing project. Hopefully I'll manage to publish it this year)
Published on May 12, 2014 01:18
•
Tags:
book, draft, excerpt, javier, jessica-huwae
An Excerpt From Javier (Soon, 2014)
Ia mengingatkan akan diriku sendiri saat masih kuliah dulu. Saat kami punya begitu banyak waktu luang untuk mempertanyakan segala sesuatu, mengukur segala sesuatu, menimbang segala sesuatu—menguji teori terhadap segala sesuatu.
Waktu seakan tidak pernah habis. Satu-satunya kekhawatiran kami adalah menjadi tua, dungu, dan membosankan. Itu sebabnya kami menenggelamkan diri dengan begitu banyak buku—meleburkan diri dalam diskusi-diskusi yang (kami pikir) bermutu atau kadang-kadang berakhir buntu.
Kadang kami tak sabar untuk buru-buru mentas dan menaklukkan dunia. Kelak kami tahu, bahwa kami lah yang sebenarnya ditaklukkan. Dan tahun-tahun kami di bangku universitas tidak pernah mempersiapkan kami untuk itu. Untuk menerima kenyataan bahwa dunia adalah tempat yang dingin dan kejam. Saat kami berpikir telah merdeka dari kewajiban mengerjakan tugas dan membaca buku-buku kuliah, saat itulah sebenarnya kepolosan dan kebebasan kami terenggut.
Kami adalah orang yang menunduk dan takluk. Yang mengenakan kemeja kerah putih dan dasi korporasi; mengaburkan nilai-nilai yang pernah dengan begitu ideal kami anut. Lantas kami menghabiskan tahun-tahun di depan kami dengan nostalgia. Berseru, Oh indahnya masa-masa yang penuh kebebasan itu. Namun sebenarnya kami tidak pernah ingin benar-benar kembali.
Karena hidup idealis adalah hidup yang sunyi dan sepi. Bangku kuliah tidak mempersiapkanmu untuk berjuang di jalan yang tidak populer itu. Biaya dan keringat yang kau habiskan saat di bangku universitas adalah untuk mempersiapkanmu untuk memperoleh pekerjaan dan jabatan yang membanggakan, kendaraan dengan interior yang empuk dan pendingin yang nyaman, keluarga yang memandangimu dengan penuh cinta karena kebutuhan mereka tercukupkan, jalan-jalan ke Disneyland, Lego Land—dan bukan untuk membentuk dirimu yang seutuhnya. Lihatlah dirimu yang sekarang—dan dirimu saat kau masih memiliki sinar itu di matamu.
Bukankah engkau yang menanam jarak terhadap dirimu sendiri? (Javier, Coming Soon 2014)
Waktu seakan tidak pernah habis. Satu-satunya kekhawatiran kami adalah menjadi tua, dungu, dan membosankan. Itu sebabnya kami menenggelamkan diri dengan begitu banyak buku—meleburkan diri dalam diskusi-diskusi yang (kami pikir) bermutu atau kadang-kadang berakhir buntu.
Kadang kami tak sabar untuk buru-buru mentas dan menaklukkan dunia. Kelak kami tahu, bahwa kami lah yang sebenarnya ditaklukkan. Dan tahun-tahun kami di bangku universitas tidak pernah mempersiapkan kami untuk itu. Untuk menerima kenyataan bahwa dunia adalah tempat yang dingin dan kejam. Saat kami berpikir telah merdeka dari kewajiban mengerjakan tugas dan membaca buku-buku kuliah, saat itulah sebenarnya kepolosan dan kebebasan kami terenggut.
Kami adalah orang yang menunduk dan takluk. Yang mengenakan kemeja kerah putih dan dasi korporasi; mengaburkan nilai-nilai yang pernah dengan begitu ideal kami anut. Lantas kami menghabiskan tahun-tahun di depan kami dengan nostalgia. Berseru, Oh indahnya masa-masa yang penuh kebebasan itu. Namun sebenarnya kami tidak pernah ingin benar-benar kembali.
Karena hidup idealis adalah hidup yang sunyi dan sepi. Bangku kuliah tidak mempersiapkanmu untuk berjuang di jalan yang tidak populer itu. Biaya dan keringat yang kau habiskan saat di bangku universitas adalah untuk mempersiapkanmu untuk memperoleh pekerjaan dan jabatan yang membanggakan, kendaraan dengan interior yang empuk dan pendingin yang nyaman, keluarga yang memandangimu dengan penuh cinta karena kebutuhan mereka tercukupkan, jalan-jalan ke Disneyland, Lego Land—dan bukan untuk membentuk dirimu yang seutuhnya. Lihatlah dirimu yang sekarang—dan dirimu saat kau masih memiliki sinar itu di matamu.
Bukankah engkau yang menanam jarak terhadap dirimu sendiri? (Javier, Coming Soon 2014)
Published on September 22, 2014 21:53
•
Tags:
2014, bentangpustaka, javier, jessica-huwae, lit, novel, romance, upcoming-book
Jessica Huwae
Sipping juices and writing under The Jakarta's sun.
Sipping juices and writing under The Jakarta's sun.
...more
- Jessica Huwae's profile
- 32 followers
